53. Tak Dipercaya

961 56 2
                                    


Megan menatap wajah mungil Kiano yang masih terpejam. Terlelap dengan sangat tenang. Di area sekitar bibir Kiano terlihat lebih memerah tapi keadaan putranya sudah jauh lebih baik. Megan yakin saat Kiano terbangun, rasa gatal di mulut putranya juga sudah sembuh. Dokter mengatakan sudah memberikan obat anti alergi dan semuanya akan baik-baik saja.

"Megan?" Suara feminim dari arah belakang Megan mengalihkan lamunan wanita itu. Melihat Jelita yang melangkah masuk dengan membawa kantung pakaian yang dipesannya. Juga kantung plastik yang entah apa isinya di tangan lain. Jelita meletakkan dua kantung itu ke meja dan berjalan menyeberangi ruangan menghampiri dirinya. Memeluk dan mengelus pundaknya, selalu seperti yang Megan butuhkan.

"Apa keadaannya baik-baik saja?"

Megan mengangguk pelan. "Kau membawanya?"

"Ya."

Megan mengurai pelukan Jelita dan bangkit berdiri.

Saat itulah Jelita menyadari keganjilan di pergelangan tangan Megan. Membelalak melihat perban yang melilit pergelangan tangan wanita itu berdarah. “Megan, tanganmu.”

Mengikuti arah pandangan Jelita dan berkerut kening baru menyadari rasa sakit di pergelangan tangannya itu. Sepertinya jahitan di sana sedikit terluka.

Dan tepat, pada saat itu pintu ruang perawatan Kiano terbuka dan Mikail muncuk dari balik pintu. Pandangan pria itu langsung bertatapan dengan kedua mata Megan, lalu beralih pada Jelita. Dan berpindah pada pergelangan tangan Megan yang tampaknya sedang diamati oleh Jelita. Tampak ada noda darah yang menghiasi perban tersebut. Membuat mata Mikail melebar.

Megan segera menariknya dan bergegas menyeberangi ruangan untuk mengambil pakaian ganti yang dibawakan Jelita dan bergegas masuk ke kamar mandi.

"Ada apa?"  tanya Jelita menyadari tatapan menyelidik Mikail padanya.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Megan menelponku."

"Ponselnya rusak."

Kedua mata Jelita melebar penuh heran. Rupanya Mikail tahu dan tak bertanya lebih jauh. "Dia meminjam ponsel orang lain. Aku tak tahu siapa.".

"Aku akan mencari tahunya kalau begitu." Ketegasan dalam kalimat Mikail  cukup menjelaskan ancaman pria itu tak membutuhkan bantahan. Dan terdengar berlebihan di telinganya.

Mikail berjalan masuk, menghampiri meja tempat Jelita meletakkan kantung plastik. Pria itu membuka untuk memeriksanya dan memutuskan itu bukan sesuatu yang berbahaya. Lagipula, Megan memang membutuhkannya demi suasana hati wanita itu menjadi lebih baik. Tidak berapi-api seperti sebelumnya. Hingga akan melayangkan pukulan ke arah Alicia.

"Apa kau tidak akan pulang?" tanya MMikail dengan tatapan mengarah lurus ke tempat Jelita berdiri di samping ranjang pasien Kiano. "Sepertinya kami butuh waktu untuk bersama keluarga kecil kami."

Jelita hanya terpaku akan pengusiran Mikail dan masih cukup waras untuk tidak menentang pria satu ini. Maka tanpa menunggu satu detik lebih lama lagi, Jelita pun berpamit dan meninggalkan ruangan itu.

Mikail kemudian berjalan ke ranjang Kiano dan menatap wajah putranya dengan desah kelegaan. Tangannya mengelus punggung tangan Kiano dengan sentuhan lembut. Dan lagi-lagi hembusan rendah lolos dari mulut dan kedua lubang hidungnya. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa Kiano sudah tertangani dengan baik.

"Ke mana Jelita?" tanya Megan dengan nada yang terdengar penuh tuduhan daru balik punggung Mikail.

"Dia pergi," jawab Mikail tanpa membalikkan badannya.

"Kau yang mengusirnya?"

Kali ini pertanyaan Megan berhasil membuat Mikail berbalik dan langsung menatap ke arah kedua mata Megan berjalan ke arah pintu.

"Kita harus bicara, Megan!" tegas Mikail.

Langkah Megan terhenti. "Aku tidak membutuhkannya," jawabnya ketus. Memangnya untuk apalagi mereka bicara jika Mikail dengan mudahnya memercayai Alicia ketimbang dirinya.  Semudah itu. Megan bahkan hampir tak bisa memercayai bagaimana cara Mikail mencampakkannya tepat di hadapan Alicia. Wanita yang jelas-jelas telah membahayakan nyawa putranya.

Mikail terdiam. Lebih memilih mengalah ketimbang keduanya ribut di ruang perawatan Kiano. Membiarkan Megan keluar setelah mengambil tas di nakas dan kembali sepuluh menit kemudian.

Saat kembali ke ruang perawatan Kiano, wanita itu sama sekali tak bicara padanya. Hanya duduk menunggu di pinggiran ranjang Kiano, dengan kegelisahan yang masih memekati wajah wanita itu.

Dan kegelisahan itu memudar setelah Kiano terbangun satu jam kemudian.

Mikail yang duduk di sofa bergegas menghampiri keduanya, tetapi Kiano langsung memanggil Megan dan mengulurkan kedua lengan pada wanita itu.

Megan pun memanjat baik ke ranjang dan membawa putranya dalam pangkuannya. Memeluknya erat-erat.

"Mama?" Kiano bergumam lemah, semakin menenggelamkan wajahnya di pelukan sang mama. Sedangkan Mikail hanya berdiri samping tempat tidur. Mengamati bagaimana cara Kiano yang begitu membutuhkan Megan ketimbang dirinya. 

Tentu saja semua itu mengusik dirinya, tetapi pemikirannya terhenti ketika melihat noda darah yang menghiasi perban di pergelangan tangan Megan semakin melebar.

Mikail berpikir keras, bagaimana cara wanita itu mendapatkan luka tersebut dan teringat ketika ia menahan pergelangan wanita itu ketika akan melayangkan tamparan di wajah Alicia. Mikail menyadari bahwa luka itu pasti karena genggamannya yang terlalu kuat, sehingga jahitan di pergelangan tangan Megan yang belum mengering terluka lagi.

Entah apa yang dipikirkannya. Saat itu kepalanya dipenuhi kekhawatirannya terhadap Kiano. Hingga tanpa sadar telah menyakiti wanita itu. Dan tak sampai di situ, setelah itu ia malah pergi dan sibuk mengkhawatirkan keadaan Alicia. Menenangkan Alicia dan akhirnya berhasil membawa Alicia pulang ke rumah dan beristirahat.

Sekali lagi Mikail mendesah dengan gusar mengingat semua itu, pun dengan rasa bersalah dirinya untuk Megan.

Setelah menghabiskan makan malam dan minum obat dengan suapan tangan Megan, akhirnya Kiano kembali terlelap dengan elusan lembut Megan di ujung kepala putra mereka.

“Kau harus mendapatkan perawatan dokter, Megan," ucap Mikail menghampiri Megan yang baru saja menurunkan kedua kakinya ke lantai.

Megan hanya diam, duduk di kursi dan kembali memosisikan tubuhnya di samping ranjang pasien. Yang memberinya pandangan yang tepat ke arah wajah Kiano. Enggan kegiatannya terganggu.

Mikail mengambil pergelangan tangan Megan dan menarik wanita itu berdiri. Tetapi Megan dengan keras menyentakkan tangan pria itu. "Aku bisa mengurusnya sendiri, Mikail. Kau tak perlu repot-repot mengkhawatirkanku!" desis Megan.

Wajah Mikail seketika mengeras dan wajahnya merah padam. "Apa?"

"Aku tak butuh perhatianmu," ucap Megan dengan jengkel. Berhasil menarik pergelangan tangannya dari genggaman Mikail dan kembali duduk di kursinya. Tetapi baru saja ia berhasil mendaratkan pantatnya di kursi, kepalanya mendadak pusing dan terasa berat. Seolah ribuan jarum di tusukkan secara bersamaan ke pusat kepalanya.

Mikail menggeram. "Apa kau merajuk hanya karena aku melarangmu memukul  Alicia?"

Megan memejamkan matanya sekali, berusaha mengurai pusing di kepala nya yang datang semakin intens. Beraninya pria itu berpikir bahwa dirinya merajuk karena Alicia. Megan sudah berhasil berdiri dengan kedua kakinya ketika membalas tatapan Mikail. Tetapi pusing di kepalanya menjadi tak tertahankan dan mendadak ia merasakan tubuhnya melayang dan hilang ditelan kegelapan. Tanpa sepatah kata pun berhasil keluar dari bibirnya.

Mikail menangkap tubuh Megan, dan terkejut dengan keras melihat darah yang mengalir dari perban di pergelangan tangan Megan hingga menetes ke lantai.

Still In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang