59. Keraguan Masa Lalu

2.9K 348 20
                                    

Pengakuan Megan pun kontan membuat Mikail membeku. Dan ketegangan terbentang di antara keduanya. Tekanan tangan Mikail di paha Megan perlahan berkurang dan pria itu bergerak mundur. Hingga punggung menempel di sandaran sofa. "K-kau ... apa?" Suara Mikail tercekat dengan keras.

Megan membuang wajahnya dengan mata terpejam. Dan tentu saja ia bisa merasakan amarah yang membludak di tubuh Mikail. Tak hanya itu, sekarang Mikail pun akan memandangnya dengan tatapan jijik. Bahkan malam ini Mikail akan mengusirnya dari kamar ini. Sebelum pria itu mengusirnya dan ia mendapatkan luka yang lebih banyak, lebih baik Megan meninggalkan tempat ini lebih dulu demi mengurangi resiko sakit hati yang lebih banyak.

"Hanya itu yang bisa kuberikan padamu, Mikail. Kumohon jangan mengambil lebih banyak dariku." Megan bangkit berdiri dan langsung berjalan ke arah pintu.

"Mau ke mana kau, Megan?"

Megan tak menggubris, dan ia sudah berhasil membuka pintu hanya untuk kembali tertutup dan Mikail mengunci pintu tersebut. Memasukkan kunci ke dalam saki celana. "Pembicaraan ini belum selesai, Megan."

Rasa panas menjalar di kedua kelopak matanya. "Tolong, Mikail. Kumohon, biarkan aku sedikit bernapas. Biarkan ..."

"Aku tak akan mempertanyakannya lagi tentang ini. Kau akan mendapatkan waktumu hanya di dalam ruangan ini."

"Aku tak ingin melihatmu, Mikail. Aku tak tahan kau melihatku seperti itu."

"Seperti apa?"

"Tatapan kekecewaanmu."

Mikail menghela napas pendek. "Ya, kau harus maklum, Megan. Istriku mengaku pernah tidur dengan saudaraku. Bagaimana mungkin aku tidak terkejut dan kecewa. Pikirkan jika kau yang berada di posisiku."

Megan terdiam.

"Aku tahu kau tak menginginkan hal itu terjadi dan aku sangat mengenal Marcel. Itu sudah cukup bagimu untuk mengerti situasimu. Apakah ini tidak cukup bagimu?"

Megan menggeleng. Bagaimana mungkin semua itu cukup bagi dirinya. Seluruh tubuh Megan bergetar hebat, tetapi ia mencoba menguatkan hatinya dengan mengepalkan kedua tangannya. Tak sanggup menatap wajah Mikail. "Aku tidur dengannya, Mikail. Dan tujuan Marcel tidak sesederhana itu."

Mikail maju satu langkah, Megan beringsut menjauh dengan tatapan wanita itu yang mulai tampak kebingungan. Mikail bergerak lebih maju lagi dan menangkap pundak Megan.

"Kau tahu apa artinya itu, Mikail."

Cengkeraman tangan Mikail semakin menguat. Menahan Megan untuk tetap pada tempatnya.

"Kiano. A-aku ..." Suara Megan berubah menjadi isakan pelan. Dan semua ingatannya mendadak bercampur aduk, membuatnya semakin bingung. "Marcel berhasil mendapatkan yang diinginkannya dariku. Aku tak tahu dia anak siapa."

"Dia anakku."

"Aku tak tahu." Megan menggeleng-gelengkan kepalanya, keduanya kakinya melemah dan jatuh ke lantai. Punggungnya bergetar oleh isakannya yang semakin dalam.

"Aku tahu dia anakku, Megan."

"Aku tak yakin, Mikail. Aku tak yakin pada diriku sendiri. Bagaimana mungkin kau bisa semudah itu memutuskannya. Dari mana kau mendapatkan keyakinan itu? Karena kau begitu memercayai saudaramu itu?"

Mikail memegang kedua pundak Megan, berusaha menenangkan wanita itu yang semakin terisak. "Tenanglah, Megan."

Megan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa tenang. Aku baru saja mendapatkan napasku dengan Kiano. Aku tak mungkin bisa tenang jika dia kembali ke kehidupanku."

"Karena kau menikahiku, akulah yang harus bertanggung jawab atas derita Marcel. Kalian menjebakku dalam lingkaran ini dan aku benar-benar kewalahan. Dia menghancurkanku. Melakukan segala cara untuk menghancurkanku."

Mikail menyadari. Keanehan sikap Megan sejak ia mengetahui kehamilan wanita itu. "Sshhh ... Kau tahu kau selalu memilikiku untuk melindungimu, Megan. Kau tak perlu memikirkan apa yang dikatakan oleh Marcel. Itulah yang diinginkannya darimu dan sekarang kau memberikannya. Kau harus yakin pada dirimu sendiri."

"Dan bagaimana jika Kiano benar-benar anaknya?"

Mikail memeluk Megan. Mengelus kepala wanita itu dengan lembut dan mengecup dalam-dalam ujung kepala Megan dengan penuh kelembutan. "Itu tidak akan pernah terjadi. Kiano anak kita. Dia buah hati kita berdua."

"Tapi ..."

"Tidak ada tapi, Megan. Pikirkan apa yang membawaku ke rumah ini. Karena ikatan darah tak pernah berbohong. Itulah alasanmu kembali ke rumah ini bersama kami berdua." Mikail sedikit mengurai pelukannya, merangkum wajah Megan dan sedikit mendongakkan kepala istrinya agar keduanya bisa saling pandang. Menyalurkan kekuatannya untuk Megan. Ujung jemarinya menyeka basah yang menetes di kedua mata wanita itu. "Kau hanya perlu meyakini semua itu."

"Dia sudah mengotoriku, Mikail."

Mikail mengangguk sekali. Tangan Marcellah yang kotor, dan bukan Megannya. "Apakah karena itu kau menolak kehamilanmu?"

Megan merasakan napasnya yang tertahan di tenggorokan. Perlahan dan mulai membuatnya kesulitan bernapas. "Maafkan aku, Mikail. Aku benar-benar tak siap dengan kehamilan itu. Aku... aku sungguh minta maaf. Aku tak bisa menghadapi keraguanku."

"Apa karena itu kau tak ingin menatap wajah Kiano setelah melahirkannya? Karena keraguanmu?"

Megan terdiam. Ya, salah satu alasannya, jawabnya dalam hati

Terkadang ia merasa begitu ingin membenci Kiano karena kemungkinan Kiano anak Marcel jelas memengaruhi pikirannya. Akan tetapi, semua kebencian yang berusaha ia lemparkan pada Kiano. Menjadi sia-sia ketika ia melihat wajah Kiano malam itu. Kebenciannya raib seketika dan digantikan kerinduan yang begitu mendalam.

Kening Mikail berkerut tipis akan jawaban yang tak diucapkan oleh Megan, tetapi reaksi wajah Megan sudah memberinya jawaban yang cukup. Hatinya dipenuhi kemurkaan yang meluap-luap untuk Marcel. Tetapi sekarang bukan saat yang tepat untuk mengurus hal itu. Emosi Megan sedang tidak stabil dan saatnya ia berhenti menggali lebih banyak.

Mikail membungkuk dan menyelipkan kedua lengannya di balik punggung dan lutut Megan. Membawa wanita itu berdiri dan berbaring di tempat tidur. Yang langsung bergerak miring memunggungi dirinya. Mikail pun berjalan ke kamar mandi, dan saat keluar. Mata Megan sudah terpejam.

***

Cahaya hangat matahari yang menerobos masuk di antara celah gorden perlahan membangunkan Megan dengan cara yang lembut. Kedua mata wanita itu perlahan membuka dan berkedip beberapa kali demi menyesuaiakn pencahayaan di ruangan. Saat pandanganya kembali jelas, ia terbangun di ruang tidur Mikail. Kamar mereka. Akan tetapi, benaknya mendadak mengingat apa yang terjadi sebelum ia tertidur.

Pembicaraannya dan Mikail tentang Marcel. Tentang keraguan yang masih bercokol di ingatannya yang kembali mengambang ke permukaan. Kening Megan berkerut, kenapa dirinya masih berada di ruangan ini. Tidur di tempat tidur Mikail. Kenapa Mikail tidak mengusirnya?

Itu tidak akan pernah terjadi. Kiano anak kita. Dia buah hati kita berdua.

Kalimat Mikail kembali terputar di benaknya. Haruskah ia memercayai pria itu? Tetapi Marcel ...

Dan apa yang sedang dilakukan seorang Megan Ailee di gedung milik Mikail?

Marcel tahu dirinya telah kembali ke hidup Mikail dan pria itu tidak akan melepaskannya begitu saja. Begitu pun dengan Kiano. Marcel juga tahu tentang Kiano. Mendadak kegelisahan menyelimuti dadanya.

"Apa yang mengganggu pikiranmu pagi-pagi begini, Megan?"

Megan terlonjak dan menoleh ke samping, terkejut melihat Mikail yang berbaring miring dengan bertopang dagu menatap ke arahnya. "M-mikail?"

Mikail tersenyum. Tangannya terulur ke wajah Megan dan menyelipkan helaian rambut wanita itu ke belakang telinga.

Seluruh tubuh Megan membeku, dan untuk beberapa saat, keduanya saling pandang. Mikail bergerak mendekat, menipiskan jarak di antara wajah mereka. Keterdiaman Megan sebagai bentuk persetujuan wanita itu, yang membuat Mikail terus menutup udara di antara mereka. Membawa bibirnya menempel di bibir Megan.

Still In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang