54. Tak Butuh Perhatian

3.9K 416 23
                                    

Setelah dokter menangani infeksi jahitan pada pergelangan tangan Megan yang cukup serius dan menghentikan pendarahannya, dokter berpamit pada Mikail. Yang menunggu dengan resah di ujung tempat tidur. Mikail memberi anggukan singkatnya dan berpindah ke samping ranjang Megan, menatap wajah Megan yang pucat dan masih terlelap.

Wajah wanita itu terlihat begitu tenang dalam tidurnya. Dengan napas yang teratur dan terlihat begitu patuh. Tidak menjadi keras kepala dan begitu kacau. Membuat Mikail merasa begitu bersalah telah bersikap begitu keras dan melukai perasaan Megan.

“Maafkan sikap Megan, Alicia.” Mikail mendesah dengan gusar, pikirannya benar-benar kacau memikirkan keadaan Kiano. Pun setelah dokter mengatakan putranya tersebut baik-baik saja.

Kiano mendapatkan alergi itu dari Megan, seharusnya wanita itu menjadi lebih teliti dengan mempertanyakan hal ini terlebih dulu pada Alicia. Dan dia sudah memperingatkan Megan untuk bertanya pada Alicia.

“Tidak apa-apa, Mikail.” Alicia menghapus air mata di ujung mata menggunakan punggung tangan. Menampilkan raut pengertian yang dibuat-buat. “Mungkin dia merasa bersalah dan aku memahami sikapnya. Mungkin dia begitu terpojok dan terkadang memang lebih mudah melemparkan kesalahan ada orang lain. Aku baik-baik saja.

Mikail mengangguk singkat. Sangat khas Megan yang ia kenal. Sikap Megan memang terkadang begitu kekanakan dan lebih suka melindungi diri dengan melemparkan kesalahan pada orang lain. Mikail sangat memahami sifat Megan yang satu ini. Yang sebelumnya memang tak pernah Mikail permasalahkan, karena ia begitu mencintai Megan. Dulu. Sekarang, rasanya kemarahannya terhadap Megan karena wanita itu telah membuat anak mereka dalam bahaya. Ia benci setiap melihat orang terdekatnya berada dalam bahaya.

“Kau kembalilah. Saat Kiano terbangun, dia akan mencarimu.”

Mikail menatap raut letih dan pucat Alicia. Kemudian wanita itu memegang perutnya da meringis, seolah menahan rasa sakit. “Apakah perutmu sakit?” tanyanya sambil menahan pundak Alicia.

Alicia mengangguk pelan. “Hanya kaku. Sepertinya … sepertinya aku masih begitu syok dengan Megan yang ingin menamparku.”

Rasa bersalah menyelimuti dada Mikail. “Aku akan mengantarmu pulang.”

“Terima kasih, Mikail.”

Mikail menghela napas panjang dan berat, tangannya menyentuh perban di pergelangan tangan Megan. Mengingat bagaimana Megan mendapatkan luka sayatan itu di sana. Megan masih serapuh Megan yang dulu. Saat pertama kali merea bertemu, ketika menjadi kekasihnya, dan ketika menjadi istrinya. Yang selalu berhasil mendorong Mikail untuk mengulurkan tangan ke arah wanita itu. Menggerakkan nalurinya untuk memeluk dan melindungi wanita itu.

“Kiano?” Gumaman lirih dari ranjang pasien menyadarkan Mikail dari lamunannya. Pria itu melihat kelopak mata Megan yang bergerak-gerak pelan dengan bibir yang menggumamkan nama putra mereka berkali-kali. “Maafkan mama, Nak. Maaf.”

Mikail menyentuh pundak Megan dan mengelusnya lembut. Meredakan gemetar di tubuh Megan. Hingga sepenuhnya kedua mata Megan terbuka dan pandangan wanita itu menjadi jernih. Menatap wajahnya.

“Di mana ini?” tanya Megan sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan hanya menemukan warna putih. Ruang perawatan Kiano yang ia ingat memiliki warna pelangi di dindingnya. Ruang perawatan khusus anak. “Di mana Kiano?” tanyanya sambil berusaha bangun terduduk. Mengamati perban baru yang dililit di pergelangan tangannya sedangkan jarum infus yang ditempel di punggung tangannya yang lain. “Apa yang terjadi?”

“Lukamu mengalami infeksi.”

“Kiano?”

“Dia sedang istirahat di ruang perawatannya.”

Still In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang