44. Membayar Pengorbanan

2.4K 226 6
                                    

Suara gedoran bergema dengan keras memenuhi seluruh ruang kerja Mikail. Satu tangannya yang terkepal berada di meja dan tangannya yang lain menggenggam kuat ponsel yang menempel di telinga. Wajahnya merah padam, serasa dibakar mentah-mentah. Dan amarah bergemuruh memenuhi dadanya.

Beraninya Megan meninggalkan rumah tanpa seijinnya. Bahkan mengancam anak buahnya hingga tak berdaya dan lebih menuruti perintah wanita itu ketimbang dirinya.

"Tunggu di sana sampai dia kembali. Pastikan kau mengawasinya dengan ketat dan laporkan secara berkala padaku," desis Mikail tajam. Memungkasi panggilan dari seberang dengan membanting ponsel ke meja.

Ia mendorong tubuhnya bersandar ke belakang dengan mata terpejam. Entah butuh berapa puluh helaan hingga gemuruh di dadanya perlahan mereda.

Baru saja ia meninggalkan Megan dengan Kiano yang sedang menghabiskan kue di meja makan untuk mengantar makanan Alicia, saat ia kembali keduanya sudah tidak ada di sana. Mikail pun naik ke lantai dua dan melihat Megan yang sibuk membaca dongeng untuk Kiano. Tak ingin mengganggu kebersamaan ibu dan anak tersebut, Mikail pun pergi ke ruang kerjanya setelah mendapatkan beberapa panggilan penting. Segera setelah selesai dan pelayan yang membawakannya secangkir kopi datang dan memberitahu tentang kepergian Megan.

Panggilannya tidak dijawab oleh Tom, menandakan bahwa wanita itu telah mengambil alih ponsel Tom. Panggilannya pada nomor Megan pun tak diangkat. Lebih tepatnya sengaja tak diangkat.

Sekali lagi, Mikail menarik napasnya panjang dan dalam. Meredam kembali gemuruh amarahnya yang meluap-luap tak terkendali di dadanya memikirkan bahwa Megan melakukan pembangkangan ini demi pria lain. Nicholas Matteo.

Wanita itu benar-benar sengaja menjebakkan diri di antara jurang.

***

Nicholas tak melepaskan pandangannya sedikit pun dari Megan yang tengah duduk di samping kursinya.

"Kursi itu tak akan membuatmu nyaman, Megan. Duduklah di sofa. Atau berbaring di kasur." Nicholas melirik kasur kecil yang disediakan khusus untuk penjaga pasien.

Megan hanya menggeleng singkat. Meski pantatnya terasa kaku, nyaris kram karena berada di posisi yang sama selama dua jam. Dan entah apa yang akan dirasakannya hingga besok pagi.

Nicholas mengamati lebih dalam raut wajah Megan, menangkap ketidaknyamanan yang dirasakan sekaligus dengan konyolnya wanita itu berusaha sembunyikan. Satu-satunya hal yang diinginkan oleh Megan saat ini hanyalah pergi dari tempat ini, tetapi wanita itu bahkan tak berani menginginkannya karena apa yang sudah dilakukannya untuk menyelamatkan Megan beberapa hari yang lalu.

Sungguh, apa yang dilakukannya saat itu hanyalah salah satu bentuk reaksi tubuhnya, yang seolah sudah terbiasa memberikan seluruh perhatiannya kepada Megan. Dengan cara yang sepenuhnya. Hatinya sudah menjadi milik Megan, tahu siapa tuannya.

Megan yang merasa diamati begitu intens pun mengangkat wajahnya, menatap Nicholas yang arah pandangannya masih tetap sama mengarah kepadanya sejak ia duduk di kursi ini. Menatap ke arahnya. "Kau harus tidur, Nicholas." Suara Megan lebih lunak, pandangannya diselimuti kekhawatiran yang tulus untuk pria itu. Sejak ia datang, Nicholas sudah menghabiskan makan malam juga meminum obatnya.

"Apa kau akan pergi saat aku tidur?" tanya Nicholas dengan nada yang bercampur kegetiran.

Raut wajah Megan membeku. Kedua matanya berkedip. Menatap kedalaman mata Nicholas yang semakin membekukannya. "Tidak, Nicholas. Kau memintaku menemanimu sampai pagi di sini."

Senyum tipis tersungging di kedua ujung bibir Nicholas. Kata-kata singkat Megan berhasil membuat suasana hatinya lebih baik. Kepasrahan wanita itu akan keinginannya semata-mata karena hutang nyawa Megan padanya. Meski ia tak menginginkan semua perhatian Megan ini karena hutang nyawa tersebut, tetap saja keberadaan Megan di tempat ini sedikit banyak memengaruhi hatinya. Ia menyukai keberadaan wanita itu di sekitarnya. Dan bahkan hanya menatap wajah Megan saja sudah membuat perasaannya jatuh lebih baik sejak ia bangun dari komanya dan terkejut menemukan keadaannya jauh dari kata baik.

"Aku tak pernah menyesali apa yang kulakukan padamu, Megan." Suara Nicholas membuat perhatian Megan beralih kembali pada pria itu. "Meski aku tahu akan terbangun dengan keadaan yang lebih parah, aku tetap akan melakukan hal yang sama untukmu."

Kata-kata Nicholas menyentuh hati Megan dengan keras. Menggenggamnya dengan kuat hingga wanita itu kesulitan bernapas. Kedua pandangannya dikunci oleh Nicholas dengan kuat. Sama sekali tak memberi kesempatan sekecil apa pun baginya untuk berpaling. "Kenapa kau seperti ini, Nicholas?" tanya Megan dengan nada yang begitu lirih dan dipenuhi kepasrahan. "Kenapa kau tidak menjadi berengsek saja dan aku tetap membencimu seperti biasanya?"

Nicholas hanya terkekeh. "Itu keahlianku, bukan? Menjadi lebih berengsek dari yang kau perkirakan."

Megan terdiam. Ya, apa yang dilakukan Nicholas padanya kali ini tentu saja lebih dari sekedar kata berengsek. Yang mengejutkannya lagi dan lagi.

"Jika sebelumnya keberengsekanku membuatmu membenciku, kali ini kau tak akan bisa mengabaikanku."

Sekali lagi Megan dibuat terbungkam dengan kalimat Nicholas yang tepat pada sasaran. Menciptakan keheningan yang cukup panjang di antara keduanya.

"Jadi ... apa saja yang terjadi antara kau dan Mikail selama aku berada di rumah sakit? Apa kau benar-benar sudah memutuskan hubungan macam apa yang akan kau pilih untuk kalian berdua?"

Hati Megan benar-benar terasa seperti dicengkeram dengan keras. Matanya terpejam selama beberapa detik dan napasnya terhela dengan panjang dan berat. Sungguh, apa pun yang terjadi dengannya dan Mikail. Nicholas tak akan mengetahui darinya. Semua itu benar-benar menyiksanya dengan keras.

"Aku tak akan mengatakan apa pun, Nicholas."

Nicholas hanya menatap wajah Megan. Bukannya ia bodoh tak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, ia pun tak ingin melangkah lebih jauh untuk menggali jawabannya di sana. "Baiklah. Kalau begitu aku tak akan mencarinya dan hanya melakukan apa pun yang kulakukan padamu seperti sebelumnya."

Rasa panas menggenang di kedua kelopak mata Megan dan ia segera mengedipkan kedua matanya demi mengurai kaca di sana. Setetes air mata jatuh ke pipinya, yang membuat tangan Nicholas terulur untuk menyekanya.

Megan terkejut dengan sentuhan tersebut, pandangan mereka bertemu dengan begitu intens dan Megan bergerak menjauh. "A-aku akan berbaring di kasur saja," ucapnya kemudian dengan suara yang bergetar hebat.

Tangan Nicholas masih melayang di tempatnya ketika Megan bangkit berdiri dan melangkah ke kasur di sudut ruangan. Dari balik punggung wanita itu, Nicholas tentu bisa melihat tangan Megan yang bergerak menyeka air matanya sendiri. Dengan senyum getirnya, Nicholas menarik kembali tangannya. Tatapannya masih melekat erat, pada punggung Megan yang bergerak naik ke kasur. Bahkan saat berbaring pun, posisi wanita itu tetap memunggunginya.

Lama ruangan itu diselimuti dengan keheningan. Hingga kemudian Nicholas mengubah penerangan ruangan menjadi mode tidur. Lalu mengucapkan, "Selamat malam, Megan."

Megan yang berbaring di kasur hanya bisa memejamkan matanya dengan erat. Bibirnya membungkam dengan erat dan air mata mengalir tanpa suara. Kenapa semuanya menjadi semakin rumit? Kenapa Nicholas berubah? Kenapa dan kenapa dan begitu banyak tanya yang memenuhi benaknya. Tanpa satu pun jawaban.

Menjelang tengah malam, Nicholas masih belum terbangun. Pandangannya pun tak beralih dari punggung Megan yang masih dengan posisi yang sama selama beberapa jam terakhir. Dan ia tahu wanita itu sudah tenggelam dalam tidurnya beberapa saat yang lalu.

Senyum tersemat di antara celah bibirnya. Menikmati pemandangan tersebut hingga menjelang pagi adalah satu-satunya kebahagiaan yang bisa diambilnya dari Megan. Perhatian dan kekhawatiran Megan padanyalah satu-satunya hal yang masih tetap ia miliki. Dan ia tak akan mencari tahu apa pun yang terjadi antara Megan dan Mikail. Pun dengan kecurigaan yang begitu kental memenuhi dadanya.

Still In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang