Seluruh tubuh Megan membeku, dengan sudut matanya ia melirik ke arah Nicholas yang mencoba membagi konsentrasi antara dirinya dan jalanan di depan.
"Siapa?
Megan hanya menggeleng singkat dan menjawab dengan kebohongan, "Jelita." Yang disusul geraman dari seberang. Megan tak peduli meski ia bisa merasakan kemarahan Mikail. Ia bahkan bisa membayangkan seperti apa wajah pria itu. Gurat-gurat kemarahan yang menggaris dengan keras di seluruh permukaan wajah pria itu. Dengan kedua tangan yang mengepal dan menyusup desisan tajam pria itu, "Jelita kau bilang?"
Megan menelan ludahnya dan bulu kuduknya merinding. Ketakutan mulai memanjat naik ke dadanya. Tetapi kemudian wanita itu sadar bahwa Mikail bukan lagi suaminya. Yang bisa mengatur-atur kehidupan nya. Apalagi peduli apakah ia tidur dengan Nicholas atau tidak.
"Apa dia khawatir kau tidak pulang semalam?" tanya Nicholas lagi.
"Hmm, tapi aku sudah dewasa, bukan. Aku bisa melakukan apa pun yang kusuka," jawab Megan kemudian.
"Aku sedang dalam perjalanan pulang, Jelita. 10 menit lagi." Megan berpura menjawab, kemudian menutup panggilan tersebut dan memasukkan ponsel tersebut kembali ke dalam tas.
Nicholas terkekeh. "Dia hanya mengkhawatirkan mu, Megan."
Megan mengangguk dan tak sungguh-sungguh menjawab, "Aku tahu." Sembari menyandarkan kepala dan kembali mendapatkan posisi yang nyaman. Menatap jalanan di depan sambil mendengarkan celoteh Nicholas. Pada awalnya, Megan tak pernah menanggapi, tetapi kemudian pria itu berhasil memancing jawaban darinya. Seputar topik pembicaraan yang aman tentang pengalaman pemotretannya.
Tanpa terasa, waktu berlalu begitu saja dan mobil sampai di halaman teras gedung apartemenku.
"Tunggu," cegah Nicholas menahan pergelangan tangan Megan saat wanita itu hendak meraih gagang pintu dan membukanya.
Kening Megan berkerut, menoleh dan melihat Nicholas yang malah turun. Dan dengan lincahnya memutari bagian depan mobil dan membukan pintu untuknya.
"Turunlah," pintah Nicholas sembari mengulurkan tangan ke arah Megan.
Kerutan Megan semakin dalam, menatap antara wajah Nicholas dan telapak tangan pria itu. Dan setelah semua yang diberikan oleh Nicholas beberapa saat lalu, rasanya terlalu mudah membalas pria itu dengan menerima apa pun yang dilakukan dan diberikan pria itu. Megan pun membalas uluran tangan pria itu dan dengan seulas senyum membalas uluran tangan pria itu. Membiarkan Nicholas membantu nya turun dan menangkap pinggangnya dengan cekatan, kemudian menutup pintu di belakang dan membawanya masuk ke dalam lobi.
"Di sini saja, Nicholas." Megan berhenti dan memutar tubuhnya menghadap pria itu. Sekaligus mengurai lengan pria itu di pinggangnya. "Aku akan naik sendirian."
Nicholas terdiam, menatap rona di wajah wanita itu yang membuat pria itu menahan senyum.
"Kenapa?" tanya Megan dengan tatapan intens Nicholas. Wajahnya tertunduk sekilas, membuat gerakan yang disengaja tetapi terlihat tak disengaja. Tak yakin apakah usahanya berhasil atau tidak, kemudian tawa Nicholas menyela kembali.
"Aku tak tahu ternyata kau bisa menjadi pemalu seperti ini, Megan," canda Nicholas diselimuti tawa kecil.
Raut wajah Megan yang merah kemudian membeku. Kepalanya terdongak menatap wajah Nicholas yang posisinya jelas lebih tinggi dari tubuh mungilnya. "Aku bukan pemalu, Nicholas."
Nicholas tersenyum, mengangguk-angguk tetapi masih tak bisa menahan tawanya. Megan pun berbalik dan hanya butuh tiga langkah untuk menekan tombol di dinding. Tak lama pintu lift bergerak membuka dan Megan melangkah masuk. Pintu lift bergerak menutup dan naik.
Megan baru saja mengambil napasnya akan sikap Nicholas yang mau tak mau perlahan mampu menyentuh dinding hatinya. Sebelum kemudian semua itu lenyap, saat lift tiba-tiba berhenti di lantai yang tidak diinginkan oleh Megan.
Megan menatap tombol di dinding, melihat angka 2 yang menyala. Dan Megan ingat dengan jelas tidak menekan tombol itu. Pintu lift bergerak terbuka dan jawabannya segera ditemukan. Melihat tubuh tinggi Mikail berdiri menjulang memenuhi pemandangannya.
Wajah Megan membeku, tercengang dengan kemunculan pria itu yang sangat janggal. Kenapa pria itu ada di gedung apartemennya?
"Dia tidak naik mengantarmu ke apartemen?" tanya pria itu dalam dengusan tajam dan dengan kedua mata yang menajam. Menusuk tepat ke kedua mata Megan.
Megan bisa merasakan cemooh yang begitu kental dalam suara Mikail. Yang tidak di mengertinya, sama besar dengan kemarahan yang sekarang memekati seluruh permukaan wajah keras pria itu.
Megan sengaja membungkam. Apa pun itu tentang Nicholas sama sekali bukan urusan pria itu. Dan ditambah pertanyaan yang terdengar tidak formal, membuat Megan sendiri dongkol. Pria itu bisa sesuka hati merubah mode pembicaraan mereka. Formal ataupun tidak formal yang sangat tidak sopan dan begitu menjengkelkan.
Dan pertanyaan yang diajukan lewat ponsel dan sekarang, jelas terlalu jauh menginjak ranah pribadinya.
"Dan kau berbohong tentang diriku?" dengus Mikail lagi. Lagi-lagi dengan nada mencemoohnya.
Megan sedikit mendongakkan wajahnya, memberanikan diri menatap kedua mata Mikail dengan tak kalah tajammya. "Dari mana kau mendapatkan nomorku, Mikail?" Megan balik bertanya.
"Kenapa?"
"Apa pun urusan pribadiku sama sekali bukan urusanmu, Mikail," peringat Megan.
Mikail menggeram marah, dan dalam satu kedipan mata. Tubuh Mikail menutup jarak di antara mereka. Menangkap pinggang Megan dengan ringan dan mendorong punggung wanita itu di dinding lift. Pintu lift bergerak menutup, dan saat Megan menyadari tubuhnya sudah terhimpit oleh tubuh besar Mikail. Seluruh tombol lampu di dinding lift mati. Termasuk lantai tempat unit apartemennya berada.
Entah bagaimana Mikail melakukannya, Megan seketika menyadari bahwa Mikail Matteo jelas memiliki kuasa dan akses khusus terhadap gedung tempatnya tinggal.
"Apa kau tidur dengannya?" desis Mikail tepat di depan wajah Megan. Jarak di antara mereka sangat tipis, membuat Megan bisa merasakan napas panas pria itu begitu membara. Menerpa seluruh permukaan wajah Megan. Dan sialnya, Megan tak mampu menahan debaran di dadanya yang bergetar hebat.
"Aku tak peduli dengan siapa kau tidur, Megan. Siapa pun itu, asalkan bukan Nicholas."
Megan bisa merasakan seluruh tubuh Mikail yang menegang oleh amarah. "Kenapa kau begitu peduli dengan siapa aku tidur, Megan? Nicholas atau bukan, itu urusanku dan terserah padaku."
"Dia sepupuku."
"Lalu?"
"Apa kau ingin menggunakan dirinya untuk menyelinap ke kehidupan Kiano?"
Wajah Megan seketika memias, matanya mengerjap dan pandangannya turun ke bawah menghindari tatapan tajam Mikail.
Dengusan keras terselip di antara kedua bibir Mikail. "Kau benar-benar menyedihkan, Megan. Merendahkan dirimu serendah ini demi seorang anak. Yang sudah kau buang dan campakkan."
Megan bisa merasakan perubahan wajahnya yang memucat oleh penyesalan teramat besar. Yang sesungguhnya tak sanggup ia tanggung sendiri. Rasa panas mulai muncul di ujung kedua matanya. Merebak memenuhi seluruh permukaan wajahnya. Kata-kata Mikail sangat kasar dan dingin. Menginjak -injak harga dirinya dengan tanpa hati. "Aku tak peduli, Mikail. Jika kau tidak membiarkanku mendekati anakku sendiri, aku akan melakukan segala cara yang kubisa untuk dekat dengannya. Termasuk jika itu harus menikahi Nicholas dan masuk ke dalam lingkup keluargamu untuk kedua kalinya. "Aku tak peduli jika mereka menghina atau mencemoohku. Sekarang yang kupedulikan adalah anakku."
Seluruh tubuh Mikail menegang, menekan tubuh Megan semakin dalam ke dinding. Dan ... dengan jarak yang setipis itu, tak butuh lebih dari satu detik bagi Mikail untuk menutup jarak di antara bibir mereka. Dan melumat bibir Megan dengan keras dan kasar. Yang mengejutkan Megan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Still In Love
RomansaSetelah impiannya tercapai, nyatanya semua pencapaiannya tersebut tak bisa menyempurnakan kebahagiaan di hati Megan Ailee. Ketika ia bertemu dengan mantan suami, Mikail Matteo dan putra yang ia tinggalkan tujuh tahun lalu kembali muncul di hidupnya...