Dari, Do Soora

152 11 0
                                    

Bagai matahari di awal musim semi, bagai cerah yang malu-malu datang setelah hujan, hidupku yang tadinya gelap gulita, perlahan kembali terang—seperti dulu.

Kepergian ibu adalah sesuatu yang gak pernah kusangka-sangka, sesuatu yang aku gak pernah siap untuk hadapi. Sejauh ingatanku, ibuku sehat. Sangat sehat selama kehamilannya. Hingga rasanya mustahil ibu tiba-tiba meninggal setelah melahirkan adik bungsuku.

Satu yang aku tidak tahu, bahwa ibu gak pernah benar-benar sehat selama kehamilannya. Dia sakit. Sangat sakit. Hanya saja kami semua gak tahu—gak ada yang tahu kala ibu menahan sakit diam-diam, gak ada yang tahu bahwa tubuhnya kian hari kian melemah. Ibuku sakit sendirian.

Ibu pergi ketika aku baru merasakan yang namanya diperhatikan seorang ibu. Aku baru merasakan yang namanya disayang seorang ibu. Aku baru merasakan tidur sambil dibacakan dongeng oleh ibu, aku baru merasakan disambut ibu sepulang sekolah, aku baru merasakan perasaan excited kala melihat ibu menyiapkan makan malam di dapur. Aku bahkan baru sebentar merasakan makanan yang dibuat oleh ibuku sendiri. Belum satu tahun aku merasakan hal-hal itu, ibu sudah pergi dijemput Tuhan. Satu yang sangat kusayangkan, aku belum pernah pergi ke toko buku bersama ibu untuk membeli perlengkapan sekolah dan perlengkapan menggambar. Aku belum pernah bercerita pada ibu apa saja yang kusukai. Aku belum pernah bercerita pada ibu pensil apa yang paling kusukai untuk menggambar. Aku juga belum pernah ikut ibu berbelanja pakaian, atau berbelanja kebutuhan dapur—karena selalu pelayan yang melakukannya. Satu kali pun belum pernah, tetapi Tuhan sudah menjemputnya lebih dulu.

Bagiku, ibu gak pernah pergi. Ibu selalu ada di sisiku dan adik-adikku. Hanya raganya saja yang pergi. Tetapi itulah yang paling menyesakkan, kala aku bisa merasakan kehadiran dan kehangatannya di sekitar kami, tapi gak bisa memeluk dan menggenggam raganya. Tuhan, kenapa begitu cepat Kau ambil raga ibu dari kami?

Ibu memang gak ada lagi di dunia. Tapi sekarang aku dan adik-adikku punya Chanyeol samchon dan samchon-samchon EXO. Mungkin, inilah cara Tuhan memberi kami lebih banyak kasih sayang, dengan memperkenalkan kami kepada delapan laki-laki yang menyayangi kami hampir sama besar dengan rasa sayang ayah pada kami. Kalau ibu masih hidup, mungkin sampai sekarang kami dan mereka masih belum saling mengenal, masih sibuk menyembunyikan identitas.

Tapi, meski begitu, kalau seandainya aku boleh request kepada Tuhan, aku akan tetap lebih memilih ibu. Seandainya boleh meminta, aku akan meminta agar ibuku tetap disini, bersamaku, adik-adikku, dan ayah. Karena kami semua hanya butuh ibu seorang.

Tapi tidak apa-apa. Aku sangat mensyukuri apa yang kami punya sekarang. Aku bersyukur memiliki seorang ayah yang hebat, Chanyeol samchon yang keren, tujuh orang samchon yang bermacam-macam keunikannya, serta Pak Kim yang dengan setia menjaga dan merawat kami kala ayah dan samchon-samchon sibuk bekerja. Kami tak kekurangan kasih sayang sama sekali. Kami sangat disayangi oleh sepuluh orang laki-laki di dorm besar ini.

Berkat samchon-samchon dan Pak Kim lah, hidupku yang tadinya gelap, mulai kembali terang seperti dulu. Merekalah yang membantu aku, Daehan dan ayah kembali bangkit, membantu kami menjalani hidup yang lebih baik lagi, membantu kami untuk gak berlarut-larut dalam duka.

Sekarang, meski sudah dikenal sebagai anak artis, aku tetap bersekolah di sekolah lamaku—sebuah sekolah negeri yang di mata orang-orang dipandang tidak berkelas. Tapi bagiku, sekolah ini adalah segalanya. Aku menuntut ilmu di sekolah ini sejak keluargaku masih sangat berantakan, lalu mulai membaik, hingga akhirnya berantakan lagi setelah kepergian ibu. Banyak kenangan di sekolah ini. Selain itu, jaraknya juga sangat dekat dengan rumahku yang lama—rumah ibu. Terkadang sepulang sekolah aku akan mampir ke rumah itu. Meski kosong, masih ada pelayan yang tetap dipekerjakan ayah untuk membersihkan rumah itu setiap tiga hari agar rumah itu tetap terawat, masih ada satpam yang menjaga rumah itu juga. Aku selalu mampir untuk melepas kangen—terutama pada ibu. Aku akan datang, tidur di kasurnya sambil memeluk pakaiannya, lalu melihat-lihat koleksi buku politik milik ibu di rak buku. Baju-baju di rumah itu masih tercium seperti ibu, karena ayah sendiri yang meminta pelayan untuk mencuci pakaian-pakaian itu dengan cara yang sama ketika mereka mencuci pakaian itu semasa ibu masih hidup, sehingga ketika memeluk pakaian itu rasanya aku seperti sedang memeluk ibu. Terkadang aku juga bermalam di rumah itu bersama ayah dan kedua adikku, hanya untuk sekadar melepas kangen atau untuk menghilangkan rasa jenuh.

Bagiku, rumah itu selalu rumah ibu. Bukan rumahku atau rumah Daehan, ataupun rumah ayah, meskipun dulunya rumah itu adalah rumah ayah. Bangunan berbentuk rumah itu tak pernah terasa seperti rumah bagiku, karena dulu tiap masuk ke dalam rumah itu, hanya sepi dan kosong yang kurasa. Rumah itu hampa meski ada beberapa pelayan dan Daehan di dalamnya. Rumah itu selalu terasa asing. Selama sembilan tahun hidup, aku tak pernah merasa punya rumah. Aku juga sangat jarang ke apartemen ayah, sehingga rasanya benar-benar seperti tidak punya rumah. Rasanya seperti aku hanya menumpang di rumah ibu.

Ketika ibu mulai berubah, awalnya rasanya sangat aneh. Enggak biasa. Namun lama-lama aku mulai membiasakan diri dengan hal itu. Tapi ketika aku baru mulai merasa rumah itu benar-benar 'rumah', ketika aku baru mulai merasa senang 'pulang' ke rumah itu, Tuhan malah menjemput pemiliknya, membuatku gak punya lagi alasan untuk pulang ke rumah itu. Sekarang, rumah itu hanya menjadi tempat untukku singgah sebentar. Aku kesana hanya untuk sekedar melepas kangen, karena tiap berada disana, aku gak pernah benar-benar merasa ada di rumah lagi, karena gak ada orang yang kusayang di rumah itu. Tidak ada ibu yang duduk di sofa ruang tengah sambil menonton televisi ketika aku datang. Tidak ada ibu yang mengomel ketika aku menaruh tas sembarangan. Tidak ada ibu yang akan meledek ayah di depanku. Tidak ada ibu yang membacakan dongeng untuk aku dan Daehan. Tidak ada ibu di rumah besar itu.

Ah, tapi beberapa tahun lagi aku lulus SD. Semoga setelah lulus aku masih bisa sering-sering mengunjungi rumah itu.

Do Daehan, meski pada awal kepergian ibu sempat sulit diajak berbicara, dia sudah jauh lebih baik sekarang. Berkat samchon-samchon yang dengan sabar membantu Daehan, mengajaknya berbicara, dan memberinya banyak perhatian dan kasih sayang, Daehan perlahan membaik. Aku rasa dia sangat terpukul akan kepergian ibu di usianya yang masih sangat kecil, apalagi Daehan adalah anak yang sangat perasa. Sampai sekarang, aku gak pernah benar-benar tahu apa yang dia rasakan. Dia terlalu tertutup. Dia juga enggan membicarakan kepergian ibu. Dia hanya mau membicarakan hal-hal menyenangkan tentang ibu. It was really really hard for him.

Adik bungsuku, Do Soojin, gak pernah tahu siapa ibu. Terkadang dia murung karena hanya dia yang gak pernah bertemu dan mengingat ibu. Meski begitu, kami semua sering bercerita padanya tentang bagaimana ibu semasa hidup, kami semua selalu berusaha membuatnya merasa bahwa ia benar-benar mengenal ibu hebat yang melahirkannya.

Ayahku, laki-laki hebat itu yang hidupnya paling berat setelah kepergian ibu. Disaat dirinya masih berkabung, dia harus mengesampingkan perasaannya sendiri demi kami anak-anaknya, demi menguatkan kami yang juga gak kalah terpuruknya dengan ayah. Belum lagi ayah harus mengurus Daehan yang saat itu benar-benar gak bisa diajak berkomunikasi, semacam ada trauma besar yang tertoreh di hati Daehan. Ayah pusing tujuh keliling saat itu, tapi ayah menyembunyikan perasaannya rapat-rapat. Dia selalu tersenyum di depan kami semua dan selalu berusaha terlihat baik-baik saja. Dia gak pernah mau menunjukkan kesedihannya.

Sekarang, kami semua memang masih sedikit sedih, kata ayah sedih itu boleh dan nggak apa-apa. Tapi Aku sudah benar-benar mengikhlaskan ibu. Aku nggak mau memberatkan langkahnya. Kini, hanya ada kenangan-kenangan manis tentang ibu di kepala kami. Tiap kali mengingat ibu, hanya kenangan manis yang kami ingat.

Ibu, ibu lihat kami dari surga kan? Kami baik bu. Kami benar-benar hidup dengan baik disini, gak berkekurangan apapun. Banyak yang menyayangi anak-anak ibu disini, banyak yang menyayangi ayah juga disini. Ibu, ibu jangan khawatir ya. Aku harap, ibu juga baik-baik saja disana. Semoga ibu makan enak disana, semoga ibu tidur di kasur yang empuk, semoga ibu dikelilingi orang-orang baik. Ibu, selalu lihat kami dari sana ya.

Ibu, aku mau terus menjadi anak ibu di seluruh kehidupanku. Di kehidupan selanjutnya, aku tetap mau terlahir sebagai anak ibu, tak peduli berapa banyak kesakitan yang harus kulalui lebih dulu. Ibu, di kehidupan selanjutnya, datanglah lagi sebagai ibuku, ya. Sampai jumpa lain waktu, ibuku sayang. 

Father: dksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang