"Aku munafik ya,"
Nana terkejut. "Apa maksudnya?"
"Aku kan sudah janji nggak mau punya hubungan, terus tiba-tiba sekarang aku ada hubungan sama seseorang. Bos sendiri." Jawab Dira
Nana terkekeh geli, "Ada banyak macam jenis manusia di muka bumi ini, kamu termasuk orang yang labil. Itu kan yang kamu dengar jawaban dari aku?"
Dira terdiam. Ia sudah menebak pasti Nana akan mengatakan dirinya labil. "Na, aku sebenarnya nggak pengen la—“
"Jawaban aku bukan itu." Nana menyela ucapan Dira, "Perasaan orang itu bisa berubah, mau kamu konsisten dengan pilihanmu itu nggak salah kok. Tapi kita punya Tuhan, yakin sama Tuhan dan Tuhan tahu yang terbaik akhirnya dia mengubah keputusan kamu. Itu nggak salah Ra..."
Bolehkah Dira bersyukur memiliki Nana, sejak ia merasa kesusahan, ia merasa putus asa dengan mamanya perempuan di depannya terus memberikan dukungan.
"First impression ketemu Ryco gimana?"
"Baik, nyebelin dikit. Hm..." Pikirannya kembali menerawang tentang pertemuannya dengan Ryco, "Penyayang. Dia tulus, tapi soal tulus aku belum memastikannya."
Nana tersenyum hangat. Ia bahagia mendengar kabar sahabatnya sedang menjalin hubungan dengan seseorang, ini salah satu dari ratusan doa yang selalu ia panjatkan. Dira berhak bahagia, Dira berhak sembuh dari trauma yang keluarganya berikan.
"Tapi kelihatan pria baik-baik." Jawab Nana
"Mudah-mudahan. Dia katanya mau pulang, habis ketemu sama Meita."
"Cemburu?"
Dira menggeleng. "Nggak ya, aku bukan anak kecil yang gampang cemburu sama orang dewasa."
"Masa?" Nana menggoda.
"Serius Na, mereka cuman kerja. Di hati dia? Akulah!" Jawab Dira
Nana tertawa. Ia belum pernah melihat tingkah sahabatnya seperti ini. "Do you love him?"
Dira mengangkat dua bahunya. "Masih bingung, beneran cinta atau cuman nggak enak. Aku masih meyakinkan diri. Tapi..."
"Tapi apa?"
"Aku nggak mau kehilangan dia, Mas Ryco rumah buat aku."
Nana menoyor kepala sahabatnya pelan. "Itu namanya sudah cinta, bloon apa pura-pura bloon sih, Ra?"
Dira memberangut sembari mengusap-usap kepalanya. "Nanaaaa...!"
Nana meringis. Ia segera memeluk Dira, "Maaf, maaf. Aku gemes sama kamu. Tapi kalau sudah takut kehilangan namanya cinta, Ra."
"Gitu ya?" Dira memastikan.
Nana mengangguk sembari melepaskan pelukannya. Bukankah perasaan bisa disebut cinta setelah merasa takut kehilangan, artinya ucapan Nana benar. "Kamu pantas bahagia Ra, Ryco juga. Kalian saling melengkapi."
"Mudah-mudahan ya, Na. Tapi kalau gagal gimana Na?"
"Mulai dari awal, kasih kesempatan. Jangan terlalu menutup hati kamu terlalu rapat, semua orang bisa menyakiti termasuk aku." Jawab Nana
"Tapi aku nggak pernah mikir kalau kamu bakalan nyakitin aku, Na."
"Bisa aja. Ngomong-ngomong kapan Ryco pulang, bukannya kalian mau bicara?"
"Nggak tahu. Masih meeting mungkin."
Nana mengernyitkan dahi setelah melihat perubahan raut wajah sahabatnya. "Tuh kan, cemburu. Kok cemberut?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Finally, We Meet Again (END)
ChickLitDiralova pikir bekerja di butik Yesi adalah awal dari mimpinya tapi semua itu harus ia relakan karena butik terpaksa tutup setelah merasa penjualan selalu menurun setiap harinya, berbagai cara sudah mereka lakukan termasuk membenahi marketing mereka...