Sehabis melakukan penghormatan terhadap matahari, aku dihukum oleh Yamaguchi, Nippon yang belakangan kutahu adalah pengawas para wanita di sini. Ia yang tadi pagi menggedor pintu kamarku keras-keras. Ia yang mengatakan aku harus dihukum. Ia lebih tinggi daripada Nyonya Astrid. Wanita itu tak membantah apa pun perkataan Yamaguchi.
"Kau tahu tugasmu?" tanya Yamaguchi dalam bahasa Melayu beraksen aneh. Kaku seperti Hiroshima. Ia membawaku ke ruangan kerja. Nyonya Astrid duduk di kursi sambil memoleskan kutek ke jari-jari lentiknya.
Aku diam saja, tak mengutarakan pikiranku. Setelah apa yang kulihat, sebenarnya mudah menebaknya. Tapi aku mau pria berkumis ijuk ini sendiri yang mengatakannya.
"Para Nippon itu sudah membayar untuk bersenang-senang!" Yamaguchi meninggikan suara. "Mereka butuh hiburan di sini. Tugasmu adalah menghiburnya, bukan memberati pintu." Ia bicara bahasa orang Batavia. Logat khas Nippon masih kental, terdengar dari nadanya yang patah-patah.
Jadi kami memang penghibur. Apa yang kulihat semalam menjelaskan segalanya.
"Tapi, Tuan, katanya kami harus menjadi juru rawat." Aku mencoba melawan.
Yamaguchi tersenyum mengejek. "Benar. Merawat kesehatan jiwa para Nippon. Agar cita-cita Tenno Heika terwujud."
"Cita-cita?" ulangku bingung.
"Ya, cita-cita. Mempersatukan Asia di bawah panji Dai Nippon. Karena itu, kau harus menyenangkan para tentara. Agar mereka bersemangat!" Napas Yamaguchi bau sekali ketika berteriak di depan hidungku.
Nippon membodohi dan membohongi kami. Aku paling tua di sini. Kulitku cokelat dan mataku tidak lebar. Nippon menyukai yang bermata bulat seperti Lastri dan Eliz. Mereka tidak berminat padaku.
"Benar, Daizu," potong Nyonya Astrid. "Cita-cita itu sangat mulia. Nippon telah membebaskan kita dari belenggu Nederland. Mana rasa terima kasihmu?" tuntutnya.
Yamaguchi mengangguk-angguk. Apakah wanita ini sama gilanya dengan tentara Nippon? Tugas mulia apa? Menyiksa Londo, memancung kepala, dan memaksa seorang wanita untuk melayani nafsu birahi Menjijikkan!
"Sepertinya Daizu tidak paham kata-kata kita." Yamaguchi berjalan hilir-mudik di ruang kerja. "Ia harus diberi pengertian."
"Rumput halaman belakang sudah tinggi," sela Astrid. Ide untuk menyiksaku tampaknya muncul dari rambut bersasak aneh itu.
"Ah.... Kau benar." Senyum Yamaguchi merekah, menggantikan kusut wajahnya.
Sesudah ide itu terlontar, seorang tentara Nippon masuk ke ruangan Yamaguchi. Aku diseret lagi, kali ini tak melawan karena terlalu lelah. Setiba di halaman belakang yang ditumbuhi alang-alang liar setinggi pinggang, tentara Nippon mendorongku sampai terjerembab mencium rumput.
"Cabut!" perintahnya.
Tak ada golok, sabit, parang, atau apa pun. Artinya aku harus mencabuti dengan tangan telanjang.
"Kau mau menunggu hingga petang?" tanya Nyonya Astrid.
Aku berjongkok. Serumpun demi serumpun alang-alang kugenggam. Nampaknya akar tumbuh-tumbuhan ini telah tertancap kuat ke dalam bumi. Harus sekuat tenaga kutarik agar tercabut. Entah sudah berapa lama tiada yang membersihkan tempat ini.
"Wanita baik. Jangan menyusahkan." Nyonya Astrid berkata puas. "Awasi dia," katanya pada tentara Nippon.
Udara Semarang sangat panas. Langit biru cerah. Burung-burung berkicau bahagia. Sedangkan aku tidak. Peluh membanjiri tubuhku. Perutku lapar tanpa sesendok makanan pun masuk ke tubuhku. Tenggorokanku kering dan perutku berkeruyuk ribut.
Namun tentara di seberang nampak senang dengan penderitaanku. Matanya tak lepas mengawasiku yang terus bekerja. Ketika aku bangkit untuk berjalan ke tempat membakar sampah, dunia terasa gelap. Aku terjatuh. Kurasakan tanah bergetar. Tak berapa lama, sesuatu yang tajam menyentuh lengan.
"Bangun," kata suara laki-laki.
Aku berusaha membuka mata dan menggerakkan tubuh. Gagal. Tubuhku sungguh lemas. Sebuah benda keras keras menyodok perutku. Tidak, jangan perut. Aku yakin sedang mengandung anak Johann, satu-satunya warisan paling berharga dari pria yang kucintai. Tanganku memeluk perut, melindunginya.
"Bangun!" perintah suara itu lebih tegas.
Sebuah pukulan mendarat di lengan, menyusul tendangan di tangan yang melindungi perutku. Namun aku tak kuasa melawan. Biarlah aku mati hari ini. Mungkin aku akan bertemu Dokter Peters.
Johann jika kau sudah mati, kita akan segera bertemu. Kita berkumpul lagi sebagai keluarga dengan anak dalam kandunganku. Aku akan menyampaikan isi hati yang terpendam. Namun jika kau masih hidup sedangkan aku mati hari ini, semoga angin dan burung-burung menyampaikan, betapa aku cinta padamu.
"Yamero! (Hentikan!)" Sayup-sayup kudengar suara yang sepertinya kukenal.
Tendangan dan pukulan yang menderaku berhenti. Lalu tubuhku terangkat. Aku bergerak. Seseorang atau sesuatu membawaku pergi. Entah berapa lama aku berada dalam kegelapan. Entah siapa yang menolongku.
Seumur hidup, aku sudah banyak berhutang budi. Pertama pada Bapak dan Simbok yang membuatku lahir ke dunia. Kedua pada Johann yang mengentaskanku dari kemiskinan, memberiku banyak hal yang tak pernah dicecap wanita lain. Pada Dokter Peters yang mengobati penyakit tipus dan menceritakan padaku soal dunia luar. Pada Pendeta Van Imhoff yang mengajariku lagu-lagu indah. Kini pada pria asing yang menyelamatkan hidupku.
***
Glosarium
Tenno Heika: Yang Mulia Kaisar Jepang. Hirohito terkenal dengan sebutan ini karena saat Jepang menjajah Indonesia dia lah yang menduduki kursi kekaisaran.***
Hello Sexy Readers,
Akhirnya sampai juga di akhir bulan September. Budak Nafsu Penjajah akan dilanjutkan di Wattpad kalau pembaca, vote, dan komennya sudah rame.
Bulan Oktober akan gantian posting DEVILS INSIDE di Wattpad setiap hari. Randu dan Elena akan menemani kalian. Pokoknya ceritanya tentang pengacara LBH. Kalau biasanya pengacara identik dengan keglamoran, Devils Inside bercerita tentang pengacara publik yang merakyat. Sudah publikasi sebagian di Wattpad, nah bulan Oktober saya akan publikasi kelanjutannya.
Buat yang mau baca kelanjutan kisah Sumarah dan nggak sabar nungguin publish di Wattpad, bisa ke Karyakarsa belladonnatossici. Judulnya saya ganti jadi SUMARAH. Sudah sampai bab 40 di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUDAK NAFSU PENJAJAH
Historical FictionMengambil latar PERANG DUNIA II Sumarah, seorang perempuan yang menjadi gundik saudagar Belanda. Hidup mereka berkecukupan dan penuh cinta. Namun kebahagiaan tak berlangsung lama. Setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, Sumarah ditangka...