SEKAWAN LIKUR

1.9K 23 5
                                    

Air mata ini tak henti mengalir. Aku duduk di tengah tentara dalam mobil militer yang berjalan. Orang-orang, ayam, anjing, dan ayam, semuanya menyingkir ketika mesin logam ini menderu menerobos kerumunan. Kengerian yang mengapung di udara tak bisa tergambar dengan apa pun, hanya bisa dirasakan oleh tubuhku yang berguncang hebat.

Nippon-nippon di kanan-kiriku tak banyak bicara. Sikap dingin nan kaku itu sangat mengherankan apabila mengingat awal kehadiran mereka. Tiada satu pun di antara mereka tersenyum. Semua keramahan palsu ketika awal memperoleh kemenangan atas Nederland telah menguap. Sekarang mereka tak sudi bersopan santun pada kami. Mereka hanya menuruti kehendak hati. Menurunkan lukisan Sri Ratu cuma permulaan untuk melanjutkan tindakan keji.

Nederland telah kalah, dan sebagaimana bangsa yang takluk, Nippon pasti akan melakukan apa saja sesukanya. Tuhan, tolong jangan biarkan Johann dibawa ke interniran! Jangan biarkan ia mati! Lindungilah londoku!

Saudara-saudariku, para pribumi mulai paham dengan situasi mengerikan di depan mata. Londo memang jahat, tetapi Nippon tak ada bedanya. Sepanjang perjalanan, kulihat pria dan wanita tercerai berai, masuk ke toko beras milik Cina atau gang-gang sempit ketika mobil melintas. Para wanita menggendong anak berlari cepat di belakang kepulan asap mobil. Para kusir memacu dokar menjauh. Gadis-gadis Cina berbaju cheongsam berlari pendek namun cepat, seolah akan ada wabah belalang menghujani kota. Beberapa orang cukup berani berdiri di muka bangunan atau di balkon lantai dua hanya untuk menonton. Aku ditinggal sendirian oleh Johann dan bangsaku. Aku berdoa dengan Bahasa Jawa, juga mencoba semua doa yang diajarkan Pendeta Van Imhoff. Mengapa Tuhan belum juga menolongku?

Bibirku masih komat-kamit membaca doa ketika dari jalan sempit di pasar mobil kami menuju jalan raya. Rumah-rumah khas Nederland berdiri gagah, angkuh menantang Nippon. Mobil kami melintasi Toko Oen seperti mengundang masuk. Atap dan jendelanya menjulang ke atas, menjorok keluar, dan meliuk. Toko yang juga berfungsi sebagai restoran ini sangat bersejarah bagiku serta Johann.

Setahun lalu, Johann menggamit lenganku melewati pintu kayu terapit pilar-pilar kokohnya. Pertama kalinya ia membawaku keluar tanpa menghiraukan status gundik atau babu. Kami pergi berdua layaknya pasangan. Tanpa mengindahkan tatapan menyelidik wanita-wanita Eropa, kami mengambil meja tepat di bawah lampu gantung kristal. Wajah tampannya semakin agung disirami cahaya lampu.

"Apa yang hendak kau pesan, Sum?" Aku ingat dengan jelas pertanyaan Johann. Ia membolak-balik buku menu mewah. Rasa bahagia karena merasa setara dengan wanita Eropa membuatku tersenyum malu.

"Aku pesankan?" tanyanya dan aku hanya mengangguk. Semua kalimat rasanya tersangkut di batang leher.

Johann melambai pada pelayan berpakaian putih-putih. Pemuda Cina itu mendekat. Setengah membungkuk hormat sebelum mencatat pesanan kami.

Kami akan jadi bahan pergunjingan. Inlander hanya warga kelas paling bawah. Betapa lancang telah menggoda pria Eropa sampai sudi membawanya ke restoran!

Tak berapa lama, dua porsi makanan dihidangkan. Daging selebar telapak tangan ditemani saus berwarna krem menggugah selera. Potongan kentang goreng setengah bola berwarna cokelat keemasan di sekeliling daging, pas dengan selera Johann. Tomat dan daun selada memberikan warna pada piring kami. Bukan cuma indah, melainkan untuk menghilangkan kesan memualkan. Air liurku mengucur dari bawah lidah. Aku akan menikmati hidangan yang bukan masakanku. Kami menyantap kelezatan demi kelezatan dalam keheningan. Bukan karena aku tak suka, tetapi kata-kataku seperti tercuri oleh potongan daging lembut dan saus lezat ini. Hanya dalam waktu tak sampai setengah jam piring putih di atas taplak putih telah kosong.

Pelayan berbaju putih mendatangi kami lagi menawarkan menu penutup.

"Kau mau mencoba es krim?" Johann bersikap sangat baik di hari istimewa ini.

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang