SETUNGGAL

12K 418 20
                                    

SEMARANG 1941

Roda sepeda yang kukayuh menggelinding membelah pasar. Bau kambing menyatu dengan ayam yang sebentar lagi akan ditawar para babu, mengudara. Wanita berkonde dengan kain jarit seadanya menawar harga dari bakul-bakul rempah. Kubelokkan sepeda baruku setelah pengkolan dekat pohon kingkit. Seorang jongos dengan napas ibaratnya hanya Senin-Kamis menaikkan sekarung tepung ke atas dokar yang ditarik kuda hitam. Aku punya kuda. Meskipun kuda yang kupunya tak pernah sungguh-sungguh menjadi kudaku. Aku tak pernah punya apapun di dunia. Katakanlah hati, jiwa, perasaan, semuanya adalah milik orang lain. Kain jarit sutra yang menurut bisik-bisik para wanita adalah barang indah, meskipun melekat erat di tubuhku, bukanlah milikku. Aku tak pernah punya apa pun. Tidak pula diriku sendiri.

Kutebar pandanganku ke arah bangunan putih. Lengkung-lengkungnya seperti dahan pohon asem yang luruh ke bawah. Nampak bagaikan tangan penari berjemari lentik. Kata orang, bangunan yang kutatap ini bersaudara dengan bangunan di Nederland. Ya, kata orang. Aku sendiri tak pernah menjamah negeri itu. Negeri yang kata orang, menjadi tempat asal Londo jahat. Londo yang suka menembak dengan senapan panjang. Londo yang suka memukul babu dan jongosnya tanpa belas kasihan. Aku sebenarnya mencemooh kata-kata mereka dalam hati. Karena mereka tak tahu apa-apa soal Londo.

Beberapa langkah di depan, adalah tempat tujuanku. Bolehkah aku tersenyum? Aku seharusnya marah pada Londo, bukan? Aku harusnya menyelinap saat tengah malam untuk menyelundupkan belati perak. Kemudian seharusnya belati itu kutekan kuat-kuat pada dada Londo yang tiap malam menjamah tubuhku. Kenapa aku tak bisa? Mungkin karena aku tak beda dengan ayam betina yang dikejar ayam jantan, awalnya berlari ketakutan, tetapi akhirnya malah berkotek kesenangan saat semua selesai. Aku adalah seorang pengecut karena tak tega menyakiti Londoku. Ah, aku lupa. Ia bukan Londoku. Aku tak pernah memilikinya. Ia yang memilikiku.

"Sugeng siang, Ndoro Ayu. (Selamat siang, Nyonya)." Suara Mariyem, yang biasanya menimbang kopi lalu membungkusnya satu pon satu pon dengan kertas coklat menyambutku. Tubuh berjarit murahnya terbungkuk-bungkuk.

Kusandarkan sepeda yang kunaiki ke dinding putih. Sebuah wadah yang terbuat dari beling yang kubungkus dan kuikat di setang sepeda kubawa saat aku turun. Seorang jongos tergopoh menyambutku lalu memindahkan sepedaku ke tempat seharusnya bersandar.

Bau kopi sudah biasa menyambutku jika masuk kemari. Toples-toples kaca bertuliskan nama kopi beserta asal mereka terpajang di rak kayu. Seorang jongos nampak mengeluarkan uang dari lipatan kainnya demi menebus harga dua pon kopi. Di dinding atas kepala juru hitung tergantung lukisan Ratu Nederland – Wilhelmina – berpigura emas yang sudah terpancang di sana sejak lama.

"Meneer Johann wonten mriko. (Tuan Johann ada di sana)." Mariyem mengarahkan ibu jarinya pada sebuah ruangan berpintu kayu jati, menyadarkanku yang mengamati foto Sri Ratu. Pada saat usiaku 14 tahun, Johann memesannya di Jepara yang terkenal akan ukiran indahnya. Aku yang mengusulkannya ke sana agar kami bisa melakukan perjalanan dagang sambil menilik rumah Kartini, seorang wanita yang membuatku terpana akan keajaibannya. Wanita yang baru kawin di usia 24 tahun demi mendirikan sekolah bagi para wanita.

Senyumku pada Mariyem membikinnya mengerti bahwa ia harus menyingkir dan melanjutkan pekerjaannya. Begitu dia menghilang dari tatapanku, kuketuk pintu kayu jati berukir itu.

Tok... Tok...

Tak ada suara menyahut.

Tok... Tok...

Toko yang sesak dengan banyak manusia malah menimbulkan senyap pada hatiku. Mengapa Londoku tak menyahut ketukan pintu? Sibukkah ia?

Kudengar kunci pintu kokoh itu dibuka dari dalam. Kuraba kepalaku, merapikan anak-anak rambut yang sempat berlompatan liar ditiup angin. Lalu kusapukan jariku membetulkan selapis kalung emas yang menutupi tonjolan tulang di leher.

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang