GANGSAL WELAS

6K 511 96
                                    

Selamat memperingati Maulid Nabi bagi sexy readers Muslim. Selamat berlibur untuk kita semua. Happy reading. Vote dan komen yang banyak!


***


Penantianku untuk menjadi Mevrouw Koenraad terasa semakin panjang dengan keadaan Hindia Belanda yang bergolak. Kemenangan Nippon bukanlah isapan jempol. Mereka menyerbu tanpa kenal waktu. Bagaimana bangsa cebol itu dapat mengalahkan para Londo yang tinggi besar, aku pun kurang paham. Sepenuhnya aku percaya pada Johann bahwa Nederland adalah negara perkasa. Buktinya Londo bercokol ratusan tahun di tanah Jawa tanpa ada yang dapat mengusir. Jika dalam tempo singkat Nippon dapat menjungkir balikkan keadaan, maka bangsa itu luar biasa hebat.

Kabar yang semula sayup-sayup, kini kian berisik bagaikan sekumpulan tawon. Berdengung di setiap sudut kota. Para wanita yang biasanya hanya berurusan dengan gincu dan bedak, ikut membahas. Terbelah antara dua. Sebagian memihak Sri Ratu, sebagian memuji Nippon, bangsa yang bahkan tidak mereka kenal.

Aku memungut surat kabar yang dilempar ke teras oleh loper. Membaca judulnya besar-besar seketika jantungku serasa berhenti. Tidak mungkin kan? Kenapa keadaan semakin kacau? Jawa belum merasakan dampak perang, tetapi aku yakin Nippon tidak akan puas hanya menggempur sebagian wilayah Hindia Belanda. Aku meletakkan surat kabar di meja makan. Johann yang baru saja bangun tidur langsung membacanya.

"Nippon bedebah," maki Johann. "Bahkan saat matahari terbenam dan tentara Sri ratu lengah, mereka manfaatkan untuk menggempur." Wajahnya memerah karena kemarahan. Baru sekarang kulihat Johann begitu emosional saat bercerita. "Bangsa kafir itu barbar, tidak punya etika perang."

Ini bukan topik yang bagus untuk memulai hari. Aku berdiri di sampingnya, mendengarkan dengan perasaan berkecamuk.

"Pangkalan Udara Kalijati sudah jatuh ke tangan Nippon. Tentara kita dibuat kocar-kacir dengan serangan tiba-tiba. Nippon tak segan menghabisi siapa saja meski telah menyerah. Mereka haus darah. Sungguh biadab!"

Aku tak habis pikir, mengapa Nippon yang dipuja bagai Tuhan, yang katanya mau membuat Asia jaya malah melakukan ini?

"Setelah merebut Kalijati, Nippon sekarang menyiagakan pesawat pengebom di sana." Johann menggelengkan kepala. Wajah tampannya murka bercampur luka. "Mereka mengancam akan membumi hanguskan Priangan."

Priangan, tempat dara jelita berdiam akan diratakan dengan tanah. Akan ada pembunuhan besar-besaran di sana menggunakan bom. Apakah Nippon sudah membual? Sekuat itukah mereka? Aku masih menyangka Nippon hanya omong besar sampai Johann melanjutkan kegusarannya.

"Nippon juga menjatuhkan bom di Lembang, menghancurkan warga sipil," kata Johann. Ia meremas rambutnya dengan gusar. Rahangnya mengatup.

Kubantu Johann mengancingkan rompi, sementara ia memasang manset di pergelangan tangannya.

"Aku ingin pesan karcis kapal ke Rotterdam, Sum." Tiba-tiba saja Johann memutar tubuh, menghadapkan wajahnya padaku. Aku terkejut, belum pernah melihatnya memandangiku begini. Apakah selama ini aku terlalu berharap sehingga batinku mengatakan bahwa Johann takut kehilanganku?

"Aku ingin membawa kau ke Nederland. Kalau bukan karena Hitler keparat dengan Nazinya yang bercokol di sana –" Johann terdiam. Matanya menerawang mengenang tanah airnya.

Nazi menguasai Nederland. Sama seperti penaklukkan lain, selalu ada jiwa melayang, penghancuran bangunan, dan penindasan. Aku benci perang dan tak tahu mengapa ada orang tergila-gila pada perang. Tak lama kemudian tangannya yang besar mencengkeram bahuku.

Johann membungkukkan tubuhnya sehingga tinggi kami sama. "Kita akan menikah, Sum."

Jantungku bagaikan berhenti berdetak sesaat. Kudengar hatiku bersorak-sorai. Lidahku tak bisa bergerak karena terkejut berpadu bahagia. Inilah yang kuinginkan, menjadi Mevrouw Koenraad.

"Apabila keadaan sudah tenang, aku akan membawamu ke Nederland. Jangan risau karena Tuhan beserta Ratu Wilhelmina." Mata kami saling beradu. Kami sering bertatapan, namun kali ini rasanya berbeda. Perasaan tak tentu melandaku.

Suatu hari aku mesti ke Nederland, meninggalkan asal muasalku, meninggalkan bakul-bakul jamu, meninggalkan pohon-pohon asem yang menaungi jalanan, meninggalkan Bapak untuk selamanya. Atau bolehkah kuajak Bapak serta?

"Tiada perempuan bangsaku yang sepertimu." Suaranya begitu lembut membelai telinga. "Kau lembut dan halus." Johann mendongakkan bibirku. Disentuhkannya bibir kami hingga bau cengkeh dari mulutnya menyeruak masuk ke dalam diriku. Kubiarkan ia mencumbui wajahku dengan bibirnya. "Kau juga sangat harum." Aku tak punya kemampuan menjawab segala perkataannya. Dadaku menggelora. Pada akhirnya, segala kepasrahanku pada takdir mendapat ganjaran manis.

***

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang