SONGO LAS

5.4K 441 47
                                    

Pria berkulit kuning bermata sipit semakin banyak berkeliaran di jalanan Semarang. Sebaliknya, kaum londo seperti menghilang bagai ditelan ombak Laut Jawa. Jika tak lari ke negaranya, mereka yang menetap di Semarang seakan bersembunyi di lubang semut atau entah ke mana.

Semakin hari, doaku semakin kencang. Apalagi yang bisa kulakukan demi keselamatan Johann? Ketika berangkat ke toko, sepanjang jalan pasukan Nippon menggantikan pemandangan. Selebaran bergambar tiga buah huruf A mengelilingi lingkaran di tengah mulai meramaikan dinding-dinding rumah.

Tjahaja Asia, Nippon

Pelindoeng Asia, Nippon

Pemimpin Asia, Nippon

Saudara-saudariku sangat antusias berkerumun membaca slogan itu. Mereka tak sabar disejahterakan oleh bangsa berkulit kuning bermata sipit. Nippon melarang penggunaan bahasa londo, sebaliknya mendorong penggunaan Bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia. Bangsaku tentu saja bersorak-sorai. Pamor Nippon sebagai 'Saudara Tua' kami melambung tinggi.

Hindia Belanda sudah tak ada lagi. Sebagai gantinya sekarang kami berada di Negara bernama To-Indo. Aku tak sepenuhnya paham perubahan mencolok luar biasa ini.

***

Pesanan biji kopi gayo Johann datang. Ia mengambil seraup biji kopi dari karung. Wangi khas kopi meliuk-liuk memenuhi gudang belakang toko. Aku memperhatikan Johann mengembalikan biji-biji tadi ke karung lalu menoleh ke arahku yang baru saja datang.

"Sumarah." Johann tersenyum. Ia merogoh saku, mengeluarkan jam bulat kecilnya. "Selalu tepat waktu." Sekarang sudah pukul 12.

Penyakit lambung Johann dapat semakin parah kalau makannya tidak teratur. Aku bertanggung jawab menjaga kesehatannya. Dokter Peters memberikan daftar makanan apa saja yang boleh dimakan dan yang mana yang tidak. Yang terpenting, tidak boleh sampai terlambat.

Johann membayar kuli tadi lalu menyuruhku memanggil Mariyem. Tadinya ia mau memanggil Paimin untuk memindahkan kopi-kopi tadi sebelum digiling menjadi bubuk. Tetapi pembeli tidak sedang banyak dan Mariyem tidak sedang sibuk.

Mariyem takzim mendengarkan perintah Johann. Kopi gayo baru hari ini dijual di toko. Begitu Johann yakin Mariyem paham petunjuknya, ia menghampiriku di ambang pintu gudang.

"Ayo." Johann menggamit lenganku menuju ruangannya. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan serenceng kunci. Sifatnya yang sulit mempercayai orang membuatnya selalu mengunci ruangan meskipun ia hanya pergi sebentar ke gudang.

"Lagi-lagi kau masak sesuatu yang lezat," ucap Johann ketika makan nasi goreng buatanku siang ini.

Aku mencampurkan ayam, dopwerten dan jagung. Salah satu restoran Cina menambahkan potongan cabe ke dalam nasi goreng. Aku menyukai rasa pedas yang menambah sedap. Namun, Johann tidak menyukainya dan Dokter Peters melarang karena kurang baik untuk lambungnya.

"Apa Meneer suka?" tanyaku berharap pujian.

"Aku selalu suka." Ia mengangguk-angguk. "Kau tahu, wanita dari kaumku jarang sekali bisa memasak setelah pindah ke sini. Padahal ibuku dulu ahli di dapur."

Itu benar. Wanita Londo terutama Londo totok membayar wanita Jawa untu mengurus semua. Mulai dari urusan dapur, membersihkan rumah, mencuci baju, sampai mengurus anak. Jika suami mereka berpangkat tinggi, maka pekerjaan para wanita keturunan Nederland adalah berdandan dengan gaun berenda cantik dan berpesta hampir setiap malam.

"Kalau kita menikah nanti, apa kau keberatan memasak untukku?" tanya Johann.

"Mboten, Meneer," jawabku. Apa yang lebih membahagiakan daripada memasak untuk suami dan... anak? Khusus untuk anak, aku tidak terlalu yakin akan segera melahirkannya, tetapi aku percaya kata-kata Pendeta Van Imhoff bahwa Tuhannya para Londo akan menjadikan segala hal mungkin.

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang