SEDOSO

9.5K 494 106
                                    

Sejak Willem datang, Johann semakin muram. Sore ini sepulang dari toko kopi, ia duduk di teras.

"Meneer," tegurku ketika melihatnya melamun di teras.

Tadi saat aku ke toko, ada seorang laki-laki datang. Sepertinya kawan Johann karena mereka bercakap cukup lama. Matanya biru, kelembutan di wajahnya membedakan dari londo kebanyakan. Lebih menyerupai orang Inggris yang pernah Johann tunjukkan di surat kabar. Johann tak memperkenalkan padaku dan aku memang tak pernah bertanya soal itu.

"Sum, ambil papan catur."

Menuruti perintahnya, kuambilkan papan permainan itu di dalam. Johann hanya memintaku main catur ketika ingin membicarakan hal penting atau ketika suasana hatinya sedang sangat baik.

Johann termangu menatap pohon asem di pekarangan ketika aku keluar membawa papan catur. Banyak beban tergambar di sorot matanya.

"Duduklah bersamaku." Johann mengeluarkan bidak-bidak permainan dari dalam kotak kayu.

"Saya ambilkan kudapan dan teh, Meneer."

Beberapa laki-laki hidup bersama wanita bukan kerena cinta, tetapi karena wanita itu cantik. Wanita cantik dianggap perhiasan laki-laki. Mereka akan senang menggandengnya ke mana-mana. Tetapi tidak berlaku untukku.
Aku lebih bangga pada kemampuan memasak daripada wajah. Tak terhitung jumlah wanita cantik di Semarang. Apalagi di Batavia. Pernah Johann ke sana bersama Dokter Peters untuk menyeleksi lokasi toko baru. Menurut Dokter Peters, bukan main cantiknya noni di Batavia. Sia-sia jika ingin bersaing paras dengan mereka. Tetapi, aku boleh sombong karena kemampuan memasak mereka belum tentu lebih baik.

Dalam setiap masakanku, tertuang cinta yang dalam untuk Johann. Setiap buah tanganku mampu menenteramkan suasana buruk hatinya. Kebersamaan kami memupuk rasa saling memahami.

Piring porselen putih berisi pisang goreng dan dua cangkir teh kuletakkan di sebelah papan catur. Johann menghadapkan sisi bidak hitam ke kursi kosong yang akan kutempati. Untuk yang satu ini, Johann tak pernah berubah. Dulu aku tak mempermasalahkan diberi bidak putih atau bidak hitam. Toh aku hanya main untuk menemaninya.

Karena mendapatkan bidak hitam, aku menunggu Johann melangkah lebih dulu. Tanpa ragu, kuda putihnya melompati pion-pion prajurit.

"Kau tahu, Sum, aku adalah jenderal yang buruk. Pasti pasukanku kalah." Ia menggigit pisang goreng dengan potongan besar. "Aku tak suka banyak tentara dikorbankan dalam perang seolah mereka hanya pion-pion. Lebih baik mengorbankan kuda, bukan?" Ia menarik napas, setiap helaannya membahasakan kecemasan.

"Tentara Sri Ratu berguguran. Satu persatu wilayah Hindia Belanda jatuh ke tangan pasukan cebol bermata sipit," kata Johann. "Berapa tentara Sri Ratu yang gugur? Bagaimana anaknya, istrinya, atau orang tuanya? Atau kekasihnya?" Matanya kembali mencari kesejukan di pekarangan hijau.

Aku berkonsentrasi, bukan karena ingin memenangkan permainan, tetapi memikirkan ucapannya. Manusia penyuka perang pasti serakah. Tega membunuh orang lain demi daerah taklukkan.

"Sum, seandainya aku tentara Sri Ratu dan gugur di medan perang, apa yang akan kau lakukan?"

Perhatianku tidak sepenuhnya tertuju pada Johann. Burung kepodang hinggap di pohon asem, mencuri perhatian Johann. Ia suka menembak burung dengan senapan angin. Dengan bangga dibawanya ke dapur untuk kumasak. Burung kuning cerah yang biasa dimakan ibu hamil itu berkicau sambil meloncat-loncat. Aku sedih melihatnya. Seketika kenyataan bahwa kandunganku telah tertutup melecut kesadaranku. Tanpa sadar, kuusap perut datarku.

"Pasti saya akan sedih."

"Hanya sedih? Kau tak akan mencari londo lain? Atau pulang ke rumah bapakmu?"

Aku tersenyum sedikit, kembali menatap bidak hitam. "Untuk apa mencari yang lain?"

"Untuk menghidupimu. Kau wanita, butuh perlindungan. Banyak orang biadab di luar sana."

Jika Johann mati sedangkan aku tidak, pasti hanya ragaku yang hidup. Hatiku ikut mati, lebur bersama jasadnya. Tak perlu ada pria lain untuk membuat tubuhku hidup lebih lama. Kumajukan satu pion hitam hanya satu kotak sementara mulutku tetap diam.

"Kenapa hanya satu kotak, Sum?" Kening Johann berkerut. Ia menangkupkan tangan, nampak heran. Tanpa berpikir pun ia akan mudah mengalahkanku.

"Saya tak mau salah langkah."

***

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang