WOLU LAS

4.4K 411 50
                                    

Aku berbaring di ranjang setelah londoku pergi. Sengaja memakai selimut sampai dada. Entah kenapa Semarang dingin sekali pagi ini. Di dapur aku menyimpan minyak dan cacahan jahe untuk menghilangkan mual dan meredakan ketegangan otot. Tetapi kakiku terasa berat dan lelah. Kuhirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Perlahan, pening di kepalaku menghilang dan lama-lama aku mengantuk. Dalam mimpi aku bertemu anak perempuan berkulit putih dengan mata hitam sepertiku tetapi berhidung seperti Johann. Rambutnya cokelat pasir, terasa halus ketika aku menyisirinya dalam mimpi. Ia anakku bersama Johann.

"Mama," anak itu memanggilku. Dalam mimpi saja, sebutan itu sangat membahagiakan.

Mimpi ini membahagiakan sekaligus menyedihkan. Dadaku berdebar ketika tersadar, keringat dingin mengucur deras. Rasanya jarum beracun menusuk-nusuk bagian terdalam diriku. Aku terbangun ketika Ngatisah masuk ke kamar untuk membersihkannya. Ia membungkuk hormat. Aku lupa membawakan makan siang Johann. Celaka!

Bergegas aku turun dari ranjang menuju ke dapur. Pikiranku sungguh kacau sampai melupakan Johann. Bahkan aku belum sempat ke pasar membeli bahan memasak.

Langkahku terhenti ketika teringat sesuatu. Bulan ini 'tamu' bulanan belum datang. Aku yakin tak salah hitung. Gusti, apakah keinginanku akan terkabul? Apakah dugaan yang belum pasti ini mesti dikabarkan pada Johann? Bagaimana jika tidak benar? Pasti hatinya akan hancur berkeping-keping.

Sepertinya baru sebentar Bhanu Aji dan Ki Giras pergi mengantar Johann. Hari masih siang ketika mendengar mereka kembali.

"Sumarah!" Derap sepatu Johann memasuki rumah.

"Dalem, Meneer. (Saya, Tuan)." Tidak biasanya Johann pulang siang hari.

"Di sini kau rupanya." Ia tersenyum lega. "Aku sangat khawatir karena kau tak datang membawakan makan siang. Bagaimana keadaanmu?" Johann memeriksa keningku.

"Lebih baik, Meneer." Johann mengangguk tenang. "Baiklah. Kita makan siang di rumah." Ia menyodorkan daging ayam mentah. "Aku ke pasar tadi. Aku tahu kau tak akan sempat berbelanja."

Ayam mentega kesukaan Johann kumasak dengan cepat. Kami makan siang di rumah. Terlalu larut untuk dikatakan makan siang karena ayam mentega dan kentang baru matang ketika jam besar Nederland berdentang tiga kali.

"Kau tahu apa yang kudengar di pasar?" tanya Johann sambil menusuk sayap ayam, bagian yang paling disukainya.

Lebih baik aku pura-pura tak tahu betapa senangnya saudara-saudari sebangsaku dengan kekalahan Hindia Belanda.

"Harga ayam naik?" Lelucon yang buruk tetapi Johann berbaik hati tertawa.

"Bangsamu sedang bahagia," kata Johann setelah selesai tertawa.

Lalu aku harus bagaimana? Ikut bersorak seperti mereka? Aku mengunyah pelan-pelan sambil menunduk.

"Kau lebih cantik hari ini," Johann mengucapkannya setelah menelan ayam dan kentang. Aku sempat khawatir ia akan marah, ternyata tidak. Meskipun sudah biasa mendengar perkataan itu, dadaku tetap saja berdegup hebat.

Setelah menyelesaikan makan siang kami, aku mencuci piring. Kupikir Johann sudah kembali ke toko, ternyata ia membaca surat kabar di ruang tamu.

"Sudah terlalu sore untuk kembali ke toko," ujarnya seakan memahami pertanyaan dalam hatiku. Aku berdiri di depannya karena bimbang, mempertimbangkan untuk memberitahu keterlambatan 'tamu'-ku atau menyimpannya sampai saat yang tepat? Mungkin aku mesti periksa ke CBZ.

"Kenapa diam?" Johann beranjak dari duduknya. Ia melipat koran dan meletakannya di meja. "Kita jalan-jalan?"

Londoku tersenyum ketika aku mengatakan, "injih".

Johann mengayuh sepeda membelah jalan, sementara aku memboncengnya. Tak ada yang berubah dari Semarang. Pohon kingkit dan asem tetap berdiri di kanan-kiri meneduhi jalan. Bayangan hitam sepeda kami menyatu dengan bayangan pohon.
Ketika melewati jalan besar, perubahan itu nampak. Nippon sungguh serius dengan niatnya memakmurkan kami. Bukan hanya Jawa, melainkan seluruh Asia Timur Raya.

"Kau tahu, Sum, Nippon merombak sistem pemerintahan di Hindia Belanda. Kini yang berlaku di Jawa adalah sistem pemerintahan militer." Johann memberi tahuku ketika kami sampai di jalan besar. "Sekarang berlaku peraturan baru, Undang-Undang nomor 1 yang mengatur pemerintahan di bawah panji Dai Nippon. Jawa dikuasai oleh Rikugun." Banyak amarah tertahan dalam suaranya.

Ternyata bukan Nederland lagi yang menancapkan kuku di Semarang dan sekitarnya.

"Kau tahu, foto Sri Ratu telah diturunkan dari gedung-gedung pemerintahan dan pengadilan. Hakim-hakim dipecat. Sebagian besar sudah kembali ke Nederland." Johann berkata penuh kepahitan.

Perlahan, Nippon memusnahkan apapun yang bernapaskan Nederland. Mulai dari papan reklame, papan penunjuk nama, foto-foto bekas gubernur jenderal, segalanya.

Kami melewati papan reklame besar. Empat orang tentara Nippon dalam balutan seragam militer mereka, mengenakan sepatu bot, dan menyandang bayonet. Dua orang di antara mereka memanjat tiang besi dengan gesit lalu membanting papan reklame berbahasa londo itu ke bawah dengan kasar.

"Pegangan yang kuat, Sum!" perintahnya ketika merasakan tanganku tak lagi melingkar erat karena kaget memdengar debaman papan reklame.

Aku menurut. Kulingkarkan tanganku di perutnya. Jujur saja, perubahan ini membuatku jeri. Yang paling kutakutkan adalah Nippon akan menyingkirkan semua londo, termasuk Johann.

Kami sama-sama diam sementara Johann terus membawaku melawan angin. Biasanya jika memboncengkanku, Johann akan tertawa-tawa sambil bercerita soal Lawang Sewu yang berpintu banyak sehingga dia khawatir pegawai NIS akan tersesat. Atau menceritakan soal juru hitungnya yang terkadang keliru membedakan satu sen dengan satu peser. Hal-hal kecil semacam itu mungkin tak akan ada lagi di masa depan. Aku mempererat rengkuhan pada Johann lalu membenamkan wajah di punggungnya. Gusti Pangeran, jangan pisahkan aku dari punggung hangat ini.

Akhirnya kami berhenti di Raadsplein. Kami turun di taman itu untuk menikmati udara sore di tengah hijaunya semak-semak dan pohon-pohon teduh. Johann menggenggam tanganku. Tangannya selalu bisa membuatku merasa aman. Kami duduk di bangku batu masih saling diam.

"Sum," kata Johann tiba-tiba, "percayalah kau akan aman." Mata coklatnya menembus mataku dengan tatapan meyakinkan. "Aku tak akan membiarkan kau dalam bahaya."

***

Glosarium

Batavia: Jakarta.

Bayonet: Belati tempur atau senjata tajam lain yang dipasang di moncong senjata laras panjang sebagai pertahanan terakhir. Bayonet berfungsi serupa tombak untuk menusuk musuh.

Buitenzorg: Bogor.

Cultuurstelsel: Sistem Tanam Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan 20% untuk ditanami komoditas ekspor. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan.

De Grote Postweg : Jalan Raya Pos, memanjang dari Anyer hingga Panarukan. Dibangun dengan sistem kerja rodi.

Intelek: Terpelajar.

Kompeni: Penjajah Belanda.

NIS: Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij atau perusahaan kereta api di Hindia Belanda, biasa disingkat NIS atau NISM. Melayani rute perjalanan di Jawa Tengah dan Ngayogyakarta Hadiningrat. Berkantor di Lawang Sewu.

Peser: Mata uang senilai setengah sen.

Priangan: Daerah di Jawa Barat mencakup Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Semarang, Cimahi, Bandung, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor.

Raadsplein: Sebuah taman di Semarang yang kini berubah menjadi Taman Diponegoro.

Reklame: Iklan

Rikugun: Angkatan Darat Jepang.

Speculaas: Kue keringasal Belanda. Aroma rempah seperti kayumanis, kapulaga, cengkeh, jahe dan palasangat terasa.





BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang