UNGARAN 1937 - PERTEMUAN PERTAMA

36.9K 718 59
                                    

Kabut menyelimuti hutan sejauh mata memandang. Ranting pohon saling bertaut bagaikan tangan yang terjalin saat bersalaman dengan para Londo. Gelap. Sekalipun matahari terbit di ufuk timur, cahayanya terlalu malu hingga tidak mampu menerobos pekatnya hitam.

Aku memegangi obor dengan satu tangan, berjalan terbungkuk menuruni lereng Gunung Ungaran dengan beban ranting kayu yang terikat kain jarik meliliti pinggang. Gemerisik daun kering terinjak kaki bersahutan dengan serangga dan binatang lain. Aku harus berhati-hati, sebab salah-salah dapat menginjak ular berbisa.

Seminggu lebih aku tidak ke hutan untuk mencari kayu bakar. Simbok sakit. Badannya semakin kurus. Tulang-tulangnya bertonjolan dibungkus kulit tipis dan sedikit daging. Batuk-batuk hebat setiap pagi, kini bertambah sering. Batuk semakin sering. Malam-malam pun kami sekeluarga tidak dapat tidur dibuatnya.

Bapak mencarikan jahe dari para tetangga yang menanam palawija. Aku merebusnya dengan air lalu meminumkannya pada Simbok. Batuknya tidak mereda. Bapak mencarikan temulawak, sirih, dan berbagai macam tanaman obat yang kami tahu. Namun, sampai hari ini batuk Simbok semakin menjadi, malah semalam semakin parah. Selain batuk, punggungnya melengkung. Terbungkuk setiap berjalan.

Sebenarnya aku berat meninggalkan Simbok sendirian, terbaring di dipan bambu beralaskan kain batik kusam warisan Simbah. Dulu Simbok kuat menimba air. Kemarin memecahkan gentong karena gemetar saat mengisikan air dari sumur. Namun kalau bukan aku yang mengambil kayu, siapa lagi? Persediaan kami sudah habis.

Aku harus bergegas pulang. Merebus jahe dan temulawak lagi sembari menunggu Bapak punya uang untuk membawa Simbok ke Semarang bertemu dokter yang hebat.

Semalam hujan. Jalan agak licin. Aku berpegangan pada ranting pohon agar tidak tergelincir. Batu mencuat menggores telapak kaki. Tidak peduli. Kaki telanjangku sampai di bawah. Aku mengelap peluh yang membasahi kening, melepas simpul pengikat jarik lalu mengikatnya lagi dengan benar.

Ringkik kuda terdengar beberapa langkah di depan. Jalur ini menuju mata air panas. Banyak penduduk sekitar atau dari puncak gunung berendam, terutama yang bepenyakit kulit. Nantinya penyakit mereka akan sembuh. Tidak perlu ke dokter, pengobatan mandi air panas tanpa biaya. Meskipun demikian, aku belum pernah bertemu orang yang datang ke sana sepagi buta ini. Perintah dalam Bahasa Nederland bergema di antara pohon-pohon. Ada Londo datang kemari pagi-pagi.

Seorang pria Jawa kira-kira berusia akhir 30-an mendorong roda dokar yang terjebak lumpur. Ia tidak sendiri. Ada Londo raksasa menarik dokar. Setelannya yang rapi berupa pantalon serta jas berwarna cokelat muda ternoda tanah basah. Ia besar sekali. Napasnya seakan terputus. Tampaknya tidak biasa bekerja keras.

Aku melepas lilitan kain jarik bermuatan kayu bakar, menyandarkannya bersama obor ke batang pohon duwet. Setelah menemukan beberapa ranting yang cukup kokoh, aku membenamkannya di tanah lembek untuk mengungkit roda sampai sedikit terangkat.

Serta merta aku berdiri di samping pria Jawa, ikut mendorong sampai dokar terbebas dari kubangan. Ringkikan kuda semakin keras, bagai orang tertawa karena lepas dari beban. Ia berjalan ke depan membawa dokar sedikit bergeser. Aku menepuk-nepuk kepalanya.

Kuda itu menandak tanah. Aku mengambikl buah duwet yang sekiranya paling manis, menyorongkan ke depan moncongnya. Si kuda melahap dengan gembira lalu menjilati tanganku ketika buah duwet habis. Aku tertawa seperti digelitiki.

"Apik, Nduk'(Bagus, Nak)," kata pria yang sepertinya sepantaran Bapak.

Aku tersenyum malu, menunduk ketika pria Londo raksasa mendekatiku. Ia pun tersenyum, menyapa dalam bahasa yang tidak kumengerti. Terdengar indah, terpelajar. Mungkin ia berdiam di Semarang. Jarang Londo tinggal di sekitar hutan, kecuali punya rumah peristirahatan seperti Gedong Kuning.

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang