Sesuai perintah Johann, aku mengenakan kebaya sutra putih susu berenda yang paling halus. Bros emas dan tusuk konde emas oleh-oleh Johann dari Palembang yang belum pernah dipakai aku keluarkan dari lemari. Gincu semerah darah membuat penampilanku nampak lebih dewasa.
Meja makan telah tertata. Taplak putih berenda, empat buah lilin, serta peralatan makan porselen seperti menyambut tamu agung. Aku sedang menggoreng kroket sapi ketika deru mobil berhenti di depan pagar rumah. Matahari telah terbenam penuh.
Sosok berbalut setelan putih-putih turun dari sana. Dokter Peters selalu tampil cerah. Ia melatih senyum menenangkan bagi pasien-pasiennya. Menurut Dokter Peters, kesembuhan seseorang bukan tergantung dari obat, melainkan dari cara dokter memeriksanya. Pernah suatu kali pasiennya hanya mendengar suara Dokter Peters saja, penyakitnya langsung sembuh.
"Sum, Theo datang!" Johann berseru dari ruang kerja. Ia memeriksa laporan keuangan toko kopi selagi menunggu.
Aku mematikan tungku, mengangkat kroket dari penggorengan.
"Goedenavond (Selamat Malam)," salam Dokter Peters ketika aku membukakan pintu.
"Goedenavond," sambutku seraya menunduk sopan.
"Theo!" seru Johann ramah.
"Johann...." Dokter Peters tak meneruskan kalimatnya karena Johann berdiri di belakangku sejak entah kapan.
"Theo, Theo." Johann merentangkan tangan. Dokter Peters dan londoku berpelukan hangat.
"Apa kabarmu?" Dokter Peters bertanya dalam Bahasa Belanda.
"Baik, mari." Johann mempersilakannya duduk.
"Penyakit lambungmu masih sering menyerang?"
Johann tesenyum, menatapku yang masih berdiri menunggu perintah. "Sumarah merawatku baik sekali. Setiap pukul 12, membawakan makan siang lezat. Lama-lama penyakit lambungku sembuh, tetapi aku menjadi kegendutan."
Dokter Peters tertawa. Johann memberi isyarat melalui dagunya agar aku kembali ke dapur.
Kedua lelaki itu membicarakan berbagai masalah, termasuk soal rencana Dokter Peters menanamkan modal pada usaha kopi Johann yang akan merambah Sumatera. Sesekali terdengar tawa khas Dokter Peters, tertahan seperti orang belum buang air besar. Sedangkan tawa Johann lebih lepas. Ia tak memikirkan apa pun ketika orang-orang membuat lelucon. Malah Johann heran saat melihatku hanya mengulum senyum.
"Kenapa kau tahan tawamu, Sum? Apakah kau belum buang air besar sampai sakit perut?" begitu Tanya Johann suatu hari.
Banyak perbedaan di antara kami. Simbok yang melarangku tertawa terbahak-bahak, apalagi sampai mulut terbuka lebar. Sebagai wanita Jawa, banyak pantangan harus ditaati.
Jam besar berdentang tujuh kali. Aku menyalakan lilin-lilin yang segera menerangi ruang makan.
"Hidangan telah siap," kataku, menyela obrolan mereka.
"Waktunya makan. Kau harus sering ke sini, menyantap masakan Sumarah," Johann berkata bangga.
Kroket hangat terhidang sebagai hidangan pembuka. Dokter Peters berbinar-binar ketika lidahnya mencecap kelembutan kentang berpadu daging.
"Lekker (enak), persis masakan ibuku. Padahal kukira Johann hanya melebih-lebihkan. Ternyata kau pandai memasak, Sum," puji Dokter Peters.
Aku yang duduk di samping Johann tertunduk, menyantap pelan kroket itu. Resep ini kudapatkan dari mencoba. Suatu hari kawan Johann datang dengan oleh-oleh. Demi menyenangkan londoku, aku berlatih.
Johann puas ketika makanan utama terhidang. Bistik sapi bersama potongan wortel dan buncis. Johann dan Dokter Peters membicarakan perjalanan ke Batavia. Soal bagaimana megahnya kota itu. Lalu soal villa rekan Dokter Peters di Buitenzorg yang dijual.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUDAK NAFSU PENJAJAH
Historical FictionMengambil latar PERANG DUNIA II Sumarah, seorang perempuan yang menjadi gundik saudagar Belanda. Hidup mereka berkecukupan dan penuh cinta. Namun kebahagiaan tak berlangsung lama. Setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, Sumarah ditangka...