SELANGKUNG

1.9K 31 4
                                    

Kepala Dokter Peters dipenggal. Mengapa? Sebagai londo, ia cukup baik. Johann memperkenalkanku sebagai 'Sumarah' kepada teman-temannya, tanpa embel-embel gundik, babu, wanita simpanan, atau miliknya. Sudah menjadi rahasia di antara para pria londo mengenai kedudukan wanita pribumi di rumah mereka. Biarpun begitu, Dokter Peters tak pernah memandangku dengan tatapan kurang ajar.

Selain Johann, Dokter Peters-lah yang membuat anggapanku bahwa semua londo bersifat keji, pupus. Setidaknya, aku menganggap tak semua orang Nederland busuk atau penindas. Melalui dokter itu, aku memahami bahwa semua seburuk apa pun manusia, ia selalu punya sisi malaikat. Sebaliknya, sebaik apa pun nampaknya seseorang, ia pasti memelihara sifat iblis dalam hati.

Kebaikan Dokter Peters padaku dibuktikan dengan cerita-ceritanya setelah ia melancong ke tempat jauh seperti Batavia, Buitenzorg, atau Priangan. Meski aku hanya seorang gundik, ia sudi berbagi kisah. Bagaimana aku dapat melupakan cerita-ceritanya? Bagaimana aku mampu mengenyahkan pancaran kebaikan dari matanya? Hanya ia dan Johann yang mengetahui bahwa aku mandul tanpa punya niat menyebarkan aib itu ke seluruh dunia.

Aku yakin, orang sepertinya tak mungkin melakukan kesalahan seperti mencuri. Dokter Peters cukup terpandang. Mobil putihnya menjadi penanda status. Kebanyakan orang Semarang hanya memiliki sepeda. Saudara-saudariku banyak yang masih berjalan telanjang kaki ke mana-mana. Istri beserta anak-anaknya mengenakan pakaian mahal berenda-renda. Tiga orang babu dan dua orang jongos berdiam di rumah besar dengan pekarangan luas dipenuhi pohon sawo dan srikaya. Kudengar ia memiliki sawah di luar kota Semarang.

Ia juga tak mungkin membunuh. Theodorus Peters bukan manusia kejam. Kebaikan hati Dokter Peters telah tersebar ke penjuru kota. Ia tak hanya mengobati kaum londo, tetapi juga pribumi. Mariyem yang pernah berobat padanya bersaksi bahwa Dokter Peters sering membawakan bekal berupa uang, ketela, kain batik, atau apa saja bagi pribumi melarat. Para babu dan jongosnya nampak jauh lebih sehat dibandingkan orang lain.

Mengapa ia dibunuh?

Mengapa ia dipancung?

Apa salahnya?

Bagaimana Istri dan empat orang putra-putrinya?

Sofie Peters harus mengurus anak-anak itu seorang diri. Bayi mereka tak akan bisa melihat atau merasakan gendongan ayahnya. Mengapa? Mereka bukan keluarga banyak ulah. Mengapa Nippon keji ini mengambil kebahagiaan keluarga baik-baik? Ataukah mereka dibawa ke interniran? Satu kata baru yang menggerus keberanianku.

Bayangan itu berkelebat lagi. Tentara Nippon mengayunkan pedang panjang, menebas kepala Dokter Peters. Kepalanya menggelinding penuh darah. Mata Dokter Peters terpejam. Sekarang, kepalaku terasa berputar-putar dalam kilasan gambar mengerikan tak berakhir.

Hingga akhirnya aku mampu menggerakkan kelopak mata. Aku sudah tak berada di ruang bawah tanah tempat pemancungan Dokter Peters. Kucoba mengingat-ingat tempat ini. Aku hanya sendirian, dibaringkan di dipan cokelat. Meja di dekat dipan masih dipenuhi kertas-kertas, tetapi ditumpuk di tengah-tengah meja, bukannya menyebar. Hiroshima atau Nippon mana pun tak ada. Ini kesempatan untuk kabur. Kukumpulkan segenap tenaga yang tersisa, lalu beranjak menuju pintu. Kucoba membukanya. Gagal. Pintu terkunci.

Sebuah perasaan ganjil merambati hati. Aku risau. Bagaimana nasib Johann? Tahukah ia mengenai keberadaanku di sini? Untuk apa para Nippon menahanku? Apakah mereka akan memotong kepalaku seperti kepala Dokter Peters yang baik hati? Aku tidak mau mati. Tidak sebelum tahu nasib londoku. Tidak sebelum ke CBZ untuk memastikan apakah aku sungguh hamil.

Di seberang pintu terdapat jendela yang sangat besar terbuka lebar, jalan satu-satunya untuk kabur. Kupanjat jendela itu dan mendarat di selasar. Aku menoleh ke kanan dan kiri, ke ujung-ujung lorong, mencari keberadaan orang lain. Tak ada siapa pun. Jauh lebih baik daripada ada Nippon menunggu dengan bayonet teracung.

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang