PITU LIKUR

1.5K 29 7
                                    

Tentara mengerahkan tenaga penuh untuk menyeretku yang terus menyentak-nyentak. Tentara Nippon artinya bahaya. Mana mungkin mereka menjemput untuk membebaskan? Bayangan kepala Dokter Peters kembali berkelebat.

"Lepas!" teriakku semakin histeris.

Ternyata tubuh-tubuh kecil itu menyimpan energi besar. Sebagaimana tentara yang ditempa latihan fisik sangat keras, mengurus wanita sepertiku sama mudah dengan membunuh semut. Setelah usaha sia-sia membebaskan diri, kaki telanjangku menginjak rumput hijau pekarangan Lawang Sewu. Udara segar menggantikan aroma anyir ruang bawah tanah. Sinar matahari menajamkan penglihatan setelah sempat disuguhi kelam tempat penjagalan manusia. Memang akhirnya aku terbebas dari Hiroshima dan tangan iblisnya. Tetapi, aku akan dibawa entah ke mana.

Sebuah truk hitam tanpa atap agaknya akan menjadi kendaraan menuju tempat baru. Selusin gadis belia bernyanyi-nyanyi sambil bertepuk tangan. Gadis-gadis polos itu kira-kira berusia 13, 14, atau 15 tahun. Baru saja akil baligh dan seharusnya menikah dengan suami baik-baik, punya anak-anak yang lucu, kemudian menyiapkan bekal ke sawah bagi suaminya. Mau dibawa ke mana mereka?

Tiga orang gadis berkulit sawo matang bernyanyi pelan sahut- menyahut. Mereka tak cuma bertiga. Ada seorang gadis Londo dan dua gadis Cina. Gadis Londo yang paling kelihatan menderita. Dahulu menempati golongan paling atas. Kini keangkuhan mereka luluh lantak dihancurkan peperangan. Bukankah roda kehidupan selalu berputar?

Satu-satunya gadis Londo dalam truk bermata bulat hijau, selaras dengan gaun hijau daun tanpa lengan berkerah renda-renda yang ia kenakan. Kontras dengan kulit putih mulusnya. Hidungnya mungil dan bibirnya semerah delima. Rambut pirang selengannya diikat pita keemasan. Aku selalu ingin menjadi noni sepertinya agar Johann tak perlu risau jika menikahiku.

Gadis-gadis Jawa memang nampak malu, setidaknya masih bernyanyi. Gadis Cina saling mengobrol dalam bahasa moyangnya, sesekali tersenyum. Namun, noni Londo itu merengut. Duduknya tak tegak.

"Kita akan jadi juru rawat," seorang nona Cina menyela nyanyian kawan-kawannya. Bahasa Jawa-nya bagus sebagaimana orang Cina Semarang. Ia merapikan poninya ketika angin kencang membuat berantakan. Gaun cheongsam-nya seperti masih baru. Biru berhiaskan gambar naga perak.

"Ya, benar. Nanti kita akan merawat tentara-tentara tampan." Nona Cina satu lagi yang beralis tebal dan berhidung agak bengkok menyahut tak kalah antusias.

Juru rawat? Merawat tentara? Apakah tentara Nippon yang mereka maksud? Apakah masih ada tentara Nederland tersisa? Kalau pun masih, paling-paling mereka sudah dipancung di ruang bawah tanah Lawang Sewu. Rasa jijik langsung menyergap, membuatku mual seketika. Aku tak sudi merawat Nippon yang sudah menyakitiku dan Johann. Mereka bukan saudara tua, tak lebih daripada perampok dengan birahi meluap.

Melihatku tak bergerak, para tentara Nippon mendorong tubuhku agar naik ke atas truk. Ujung bayonet salah satu tentara menusuk kebayaku. Kuhela napas lalu menjumput jarik pemberian Hisroshima untuk memanjat undakan truk.

Para gadis Jawa dan Cina menggeser tubuh, memberiku tempat. Hanya noni londo yang tetap diam bagaikan arca. Matanya merah seperti habis menangis. Secelah tempat duduk menganga antara noni londo dengan nona Cina. Nona Cina kelihatannya tak mau duduk dekat-dekat noni londo. Kududukkan diriku di satu-satunya tempat sementara tentara Nippon mengunci truk dari luar lalu duduk di depan.

Para gadis mengangguk segan karena akulah yang paling tua. Mereka tak berniat mengajakku bercakap-cakap. Truk meninggalkan bangunan putih Lawang Sewu menuju jalan besar.

Ternyata ada empat orang gadis Jawa. Salah satunya menundukkan tubuh sampai tak bisa melihat tiga temannya menggilir sekeping pecahan genting memutari tangan-tangan mereka sambil bernyanyi,

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang