UNGARAN 1937 - DIBAWA PERGI

33.7K 1K 125
                                    

Genap empat puluh hari Simbok meninggal. Kami mengubur seadanya di pekarangan belakang. Gubuk reyot semakin sepi. Bapak marah, berhenti mengajakku bicara. Berjalan melewatiku seakan aku makhluk halus. Bapak selalu menyalahkanku sebab Simbok tidak dapat hamil lagi. Dulu saat melahirkanku, Simbok berdarah banyak sekali. Apakah ini salahku?

Setiap pagi, Bapak bangun sebelum matahari terbit, pergi menggarap sawah bendoro. Aku memasak singkong, membawakannya ke sawah. Bapak tetap tidak mau bicara. Sibuk mencangkul tanah, menyiangi rumput yang mengganggu padi.

Sepulang dari mengantar bekal untuk Bapak, aku pergi ke sungai membawa bakul berisi pakaian. Gadis-gadis riuh bermain air sembari mencuci baju.

"Sum," Waginem membawa bakulnya mendekat, "kudengar kau bawa sial ya buat Simbokmu. Kamu yang bikin Yu Kasmi mati," bisiknya.

Gadis lain saling berbisik, tidak berani mendekat. Malah, mereka yang tadinya berada di dekatku segera menjauh. Agaknya gelarku sebagai pembawa sial telah terkenal sampai ke mana-mana.

"Kalau kau takut kena sial, ndak usah dekat-dekat," kataku sedih.

Aku mengambil selembar kain milik Simbok, menggosoknya di atas batu lalu membilasnya. Sekarang pakaian Simbok dengan sendirinya diwariskan padaku.

"Lho, nanti laki-laki ndak mau memperistrimu. Kau mau jadi perawan tua?"

Bakul pakaian tercebur. Kemarahan Bapak akan memuncak jika sampai laki-laki terpangaruh kabar burung. Aku pembawa sial, membawa kemandulan dan kematian bagi Simbok, berat jodoh pula. Apakah Bapak akan tetap menerimaku sebagai anaknya?

Para gadis melirikiku. Raut mukanya menampakkan antara takut juga jijik. Mereka memunguti pakaian, menghentikan mencuci baju malah berbalik.

"Kau mesti diruwat," bisik Waginem.

Aku ingin menampik, ingin marah, ingin menumpahkan isi hati. Namun yang terjadi, aku terus saja mencuci helai demi helai pakaian.

"Yo wis, aku pulang," Waginem bangkit, mengikuti teman-temannya meninggalkanku sendirian.

Tangis yang kutahan sejak lama pecah. Bukan meraung-raung bagai orang hilang ingatan. Hanya air mata mengalir melindas pipi. Semakin aku menyusutnya, semakin deras ia tumpah.

"Sumarah," panggil sebuah suara. Itu bukan suara para gadis.

"Me-Meneer?"

Meneer Johann Koenraad membawa tangkai panjang dan ember berisi udang. Rupanya ia mau memancing. Air sungai ini cukup jernih, sayang ikannya tidak terlalu besar. Anak-anak suka membawa besek untuk menangkap ikan wader. Aku kasihan pada pria Londo yang tak tahu apa-apa ini.

Ia mengajakku bicara dalam bahasanya. Aku hanya mendengarkan. Telingaku menyukainya. Terdengar seperti orang pandai. Meneer Johann tidak peduli akan desas-desus. Ia tidak menjauhiku. Namun karena aku diam saja, ia menyerah mengajak bicara lalu melemparkan pancingnya.

Aku tertawa karena ia terlihat putus asa menunggu ikan besar lewat memakan umpan. Meneer Johann menggaruk rambut cokelat pasirnya sembari berbicara sendiri. Matahari mulai tinggi. Aku harus memasak.

"Hei," Meneer Johann mencekal pergelangan tanganku saat aku akan meninggalkannya. Ia menatapku dalam-dalam lalu melepaskanku tanpa berkata apa-apa.

Dengan membawa kain, aku berlari menembus semak-semak sampai ke gubuk. Pertama kalinya ada laki-laki menatapku seperti itu. Dadaku bergemuruh karenanya. Apakah laki-laki Londo bersikap seperti itu? Menyentuh perempuan tanpa jengah?

Usai menjemur pakaian, aku mengupas singkong, menaburkan garam lalu mengukusnya. Hanya ini yang kami punya. Terkadang Bapak menangkap udang di sungai, kalau beruntung bisa dioseng dengan sedikit minyak, bawang, dan buah melinjo.

Sorenya, suara gaduh di halaman mengangetkanku. Bapak bercakap-cakap dengan Ki Giras. Bagaimana mereka bisa saling mengenal? Belum terjawab semua pertanyaanku, riuh kambing dan ayam sahut-menyahut. Karung-karung diturunkan, entah apa isinya.

"Sum!" panggil Bapak tergesa.

"Nggih, Pak," jawabku yang mengintip dari balik jendela.

Ki Giras tersenyum saat aku keluar. Aku menunduk.

"Ikut dengan Ki Giras," kata Bapak.

"Ikut?" Aku mengerjap bingung.

"Iya, ikutlah ke Semarang, tidak perlu pulang ke sini. Patuhi setiap kata-kata Tuanmu."

Apa maksudnya ini?

Bapak tidak menjelaskan apa-apa, malah membopongku masuk ke dalam dokar. Kambing-kambing, ayam-ayam, dan karung-karung di sekitar Bapak tampak sangat melimpah. Aku jadi berpikir, apakah Bapak menukarku, anak perempuannya dengan semua ini?

"Pak!" Aku menangis, meronta sekuat tenaga menolak dimasukkan ke dokar.

Terkadang aku takut ketika Bapak marah, tetapi bukan berarti aku membencinya sampai ingin minggat. Aku tidak punya siapa-siapa. Keluarga kami berpencar ke segala penjuru.

"Jangan berani-berani pulang," ucap Bapak tanpa iba pada air mataku.

Aku menangis sesenggukan melihat Ki Giras berpamitan. Bapak membungkuk dalam-dalam, menyembah seperti kepada Gusti Pangeran. Aku belum tahu apa yang terjadi, tetapi dokar ini menjauh. Membawaku ke dunia yang belum pernah aku singgahi.

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang