PITU

7.9K 426 34
                                    

Seperti biasa aku memasak makan malam sebelum Johann pulang. Bedanya hari ini aku menyiapkan sedikit saja, hanya untuknya. Tapak sepatu dan ringkik kuda terdengar pada pukul tujuh malam.

Johann melepas rompi, menentengnya dengan sebelah tangan saat memasuki ruang makan.

"Wah, sedap sekali," puji Johann saat melihat sup bola daging dan sayuran bersama kentang di meja makan. "Duduklah di sini, makan bersamaku."

"Saya sudah makan," kataku berbohong.

"Kapan?" Johann heran karena aku tak pernah menolak menemaninya makan.

"Tadi pagi, Meneer." Maafkan aku telah menolakmu, Johann.

Malam ini Johann hanya memandangiku sejenak, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia terlalu lapar. Bagiku cukuplah kebahagiaan dengan melihatnya makan dengan lahap.

Tujuh hari berturut-turut aku diam-diam hanya makan nasi putih dan minum air. Sedikit lemas rasanya karena tak terbiasa. Dulu saat kecil, Simbok mengajariku hidup tirakat. Sederhana. Rasanya aku mudah saja melakukan puasa, tetapi setelah hidup bersama Johann, semuanya ebrubah.

Akan tetapi, tekadku sudah bulat. Aku harus punya anak agar Johann segera menikahiku di gereja. Johann hanya ingin tahu pada hari pertamaku menjalankan ritual. Setelahnya ia tak mengatakan apa-apa. Mungkin karena toko semakin sibuk dan ada rencana usaha bersama Dokter Peters.

Tengah malam pada hari ketujuh saat Johann terlelap, aku pergi ke dapur menyiapkan ramuan Mbah Wayuh. Doa-doa ajarannya sudah pindah ke secarik kertas yang bersembunyi di balik kutangku. Ramuan mendidih harus didiamkan sampai dingin agar bisa diminum. Sembari menunggu, aku mengeluarkan kertas dari balik kutang dan mulai berdoa. Semoga Johann tidak bangun.

"Apa yang kau lakukan?" tanya sebuah suara yang tak ingin kudengar.

Membalik badan, aku terkejut setengah mati. Johann menyalakan lampu dapur sehingga bisa melihat wajah penuh dosa yang akan dibencinya.

"Apa itu di tanganmu?" Johann menatapku. "Berikan." Ia mengulurkan tangan.

Aku menunduk, menyerahkan kertas doa berbahasa Jawa itu.

"Apa ini?"

Aku diam saja, masih menunduk.

"Apa ini, Sum?! Jawab!" bentak Johann.

"I-itu, doa, Meneer." Lututku nyaris ambruk saking takut.

"Apa yang kau masak?" Sekarang matanya memandangi ramuan di tungku.

"Ra-ramuan," bisikku tak berani membalas tatapannya. Johann belum pernah marah. Air mata menyumbat kerongkonganku.

"Untuk apa? Kau dapat dari mana? Kenapa?" berondong Johann sambil mengangkat panci. Ia mencium air rebusan itu lalu mengernyit tak suka.

Air mata ini mulai meleleh. Aku menangis sesenggukan.

Johann membanting panci, "Berapa kali kubilang agar kau tak menjalankan ritual sesat, Sum! Berdoa kepada Tuhan, di gereja. Bukan begini caranya!" Ia menyobek kertas doa itu sampai menjadi serpihan lalu keluar dari dapur.

Aku tak berani bergerak atau menyusulnya. Pemandangan sekeliling terlalu kabur. Jadi, aku hanya mengunggu.

Johann kembali membawa pecut yang biasa dipakai Ki Giras melecut Bhanu Aji. Ia menyeretku ke kamar.

"Ampun, Meneer," isakku. Kupeluk kakinya sambil menangis.

"Berlutut!" Johann membalik tubuhku lalu membuka paksa kemben. "Ikuti kalimatku," perintahnya.

"Onze vader die in de hemel zijt (Bapa kami yang ada di surga)," katanya.

"Onze vader die in de hemel zijt," aku mengikutinya. Lalu ia menyabet punggung telanjangku dengan pecut. "Ampun, Meneer," tangisku tak dihiraukannya.

"Uw naam worde geheiligd (Dikuduskanlah nama-Mu)," lanjutnya.

Terbata aku mengikutinya, "Uw naam worde geheiligd." Satu pecutan lagi mendera kulitku.

"Uw rijk kome (Datanglah kerajaan-Mu)," doanya.

"Uw rijk kome." Punggungku mulai perih. Tetapi Johann masih menambahkan lecutan demi lecutan sampai doa itu selesai.

Johann membopong tubuhku yang tak mampu berdiri, lalu menelungkupkannya di ranjang. Ia mengoleskan vaseline di sekujur luka pecutannya. Hari ini aku menangis. Tetapi, aku tak akan kalah. Aku harus memiliki anak.

***

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang