WOLU LIKUR

920 23 4
                                    

"Lepaskan aku!" teriak Eliz disertai tangisan. Teriakannya menembus dinding kamar, menghunjam hatiku bagai bayonet tentara Nippon.

Eliz masih kecil. Kulitnya begitu halus. Tangannya nampak rapuh dengan jemari lentik dan kuku yang terawat. Ia tak banyak bercerita perihal orang tuanya, tetapi dari penampilannya, aku menebak Eliz berasal dari keluarga berada. Bukan gadis pekerja yang kuat.

Tubuhnya yang langsing mustahil memiliki kekuatan melawan tentara-tentara Nippon binatang yang rata-rata berusia dua kali lebih tua darinya.

Tawa tentara-tentara Nippon menyahuti teriakan Eliz, seolah mereka tengah berpesta merayakan sesuatu. Mereka berkata-kata dalam bahasa nenek moyangnya, lalu tertawa lagi.

"Tidak, jangan!"

Aku berusaha menutup telinga dengan bantal. Tak tahan membayangkan bagaimana banyak laki-laki dengan birahi meluap-luap seperti anjing gila memaksa perempuan seperti Eliz.

Teriakan Eliz lagi. Bagai merobek jantung, isaknya membekukan darah. "Sakit! Lepaskan, jangan ikat aku! Tolong, kumohon."

Apakah kami para wanita tak punya hak bersuara atau menolak? Kami harus sepatuh kambing yang digiring ke rumah jagal. Bahkan Kambing pun masih mengembik tak terima. Aku ingin mendobrak kamarnya untuk memukul para tentara biadab itu. Namun di sini tiada toples beling besar yang bisa kugunakan untuk memukul Nippon di toko Johann. Tenagaku kalah dengan para Nippon terlatih.

Aku memang berhasil melarikan diri, aman untuk sementara waktu. Namun, teriakan-teriakan Eliz menghantui. Semalaman aku terjaga. Memeluk bantal, berusaha menghalau suara-suara mengerikan.

Bagaimana dengan Lastri? Kamarnya juga di sebelah kamarku. Kesunyian dari sana malah membikinku semakin khawatir. Pingsankah ia karena kesakitan?

Aku tak berani turun dari tempat tidur, bahkan hanya sekadar kencing. Betapa lama para Nippon berpesta dengan tubuh Eliz. Gelak tawa mereka bersahutan dengan tangis Eliz.

Entah pukul berapa semuanya berakhir. Tiada suara laki-laki lagi. Kesunyian terasa mencekik. Apakah Nippon itu membunuh Eliz seperti Dokter Peters? Aku menempelkan telinga ke dinding, mencoba mendengarkan apa pun. Kosong. Haruskah aku ke kamarnya? Bagaimana kalau tentara Nippon gantian menjarah tubuhku? Aku terbayang perlakuan Hiroshima. Apa yang ia lakukan bukan seperti yang Johann lakukan. Menyakitkan, menghinakan.

Aku pun mengurungkan niat. Tetap duduk memeluk bantal. Sampai pintu kamarku digedor-gedor.

"Buka!" perintah sebuah suara pria sehingga aku terlonjak. Keringat dingin mambanjiri tubuh. Bulu kudukku meremang ngeri. "Daizu, buka!" Suara itu memanggil nama Jepangku.

Laki-laki itu tak bisa mendobrak pintu kamarku karena terhalang meja rias yang kugeser menutupinya. Kuhela napas lega karena gedoran di pintu berhenti. Kelegaanku tak bertahan lama. Beberapa saat kemudian, kudengar aba-aba dalam bahasa Nippon. Pintu seperti didorong dengan kekuatan banyak orang. Sedikit demi sedikit kulihat kaki meja bergeser.

Pintu menjeblak. Enam orang tentara Nippon menyerbu masuk. Wajah mereka kaku tak tertebak. Kemudian seorang Nippon tanpa seragam militer melangkah ke arahku.

"Kau harus dihukum. Kau tak bikin senang," ujar pria itu.

***

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang