NEM LIKUR

1.8K 34 3
                                        

Hiroshima menelepon bawahannya memberiku kebaya baru. Putih bersih, bertentangan dengan aku yang dijamahnya paksa.

"Pakai." Hiroshima menyodorkan pakaian baru padaku. "Di sini."

Apa-apaan, Nippon bejat ini ingin melihatku berganti baju? Kalau akhirnya aku menerima pemberian itu, semua adalah keterpaksaan. Aku berusaha tak muntah saat melihatnya tak berkedip menontonku mengenakan helai demi helai pakaian baru.

"Kamu cantik," ucap Hiroshima. Seulas senyum tipis tergurat di raut garangnya. "Kamu temani aku."

Temani? Apa maksud kata-katanya?Untuk sekarang, aku terpaksa mengalah, mengenakan kebaya pemberian Nippon biadab. Bukan berarti aku senang!

Saudara-saudaraku, kalian begitu bodoh telah mengira Nippon membebaskan kalian! Merekalah anjing geladak keparat sesungguhnya, jelmaan iblis, sama bahkan lebih jahat daripada londo. Kalian tak tahu apa pun soal semboyan Nipon Pelindung Asia. Aku ingin memaki-maki Nippon. Akibatnya, kepalaku bisa melayang seperti Dokter Peters.

Pintu diketuk kembali. Bawahan Hiroshima membungkuk membawa nampan hitam yang segera ia taruh di meja kerja.

Hiroshima membuka mangkuk-mangkuk dalam nampan. Asap mengepul harum. Semangkuk sup berkuah kecokelatan diletakkan di samping mangkuk nasi.

"Duduk." Hiroshima menepuk kursi.

Perutku memang kelaparan. Namun kebencian mengalahkan rasa lapar itu. Aku membuang muka.

Hiroshima berkata-kata dalam Bahasa Nippon. Mungkin putus asa karena komunikasi yang tidak lancar, ia menelepon lagi. Tuan penerjemah datang setelahnya.

"Saya Karel Devries, penerjemah Tuan Hiroshima," Londo itu memperkenalkan diri dalam bahasa Melayu. "Sebaiknya Nyonya menuruti perintah Tuan."

"Kenapa Tuan Devries mau bekerja untuk musuh?" tanyaku.

Tuan Devries nampak sedih. "Saya tak punya pilihan."

"Makan," Hiroshima berkata lagi.

"Makanlah, setidaknya agar Nyonya punya tenaga." Tuan Devries mengangguk, berusaha melumerkan kekeras kepalaanku.

Aku ingin bersikap angkuh seperti Johann, menolak pemberian Hisroshima. Namun setelah memikirkan kata-kata Tuan Devries yang ada benarnya, aku duduk. Aku perlu menghimpun tenaga untuk mencari Johann.

Makanan apa ini? Tahu atau tepung? Johann, apakah kau sudah makan siang? Hiroshima menjepit nasi menggunakan sumpit serupa orang Cina lalu menyuapkan ke mulutnya.

Cara Hiroshima makan sangat tak enak dipandangi lama-lama. Aku teringat anjing pemakan bangkai. Berada berasamanya malah membuat mual.

"Tuan, mengapa Dokter Peters dipancung?" tanyaku tak tahan lagi. Aku sangat membenci Hiroshima beserta seluruh bangsanya. Mereka telah menipu bangsaku, berpura-pura sebagai pahlawan pembebas. Nyatanya Nippon hanya perampok.

Tai-I itu tak langsung menjawab, namun meminum kuah dari mangkok hitam. Johann tidak akan melakukan hal menjijikkan semacam itu.

"Dia bantu tentara Oranda," jawabnya singkat.

Oranda? Aku tak paham maksudnya.

"Apakah itu Oranda? Nederland?" tanyaku berusaha memahami setiap huruf yang terucap aneh.

Bukan Hiroshima yang menjawab pertanyaanku, melainkan Tuan Devries. Ia mengangguk. Rupanya Oranda adalah Nederland.

Tuan Devries berdiri saja. Apakah ia tak diberi makan atau ia sudah makan?

Aku menghirup sup langsung dari mangkuknya seperti Hiroshima. Cara makan ini mirip anjing. Bau supnya pesing seperti kencing kuda. Rasanya pun tak karuan. Bagaimana manusia memakan benda seperti ini?

Mungkin nasi lebih baik. Kujumput nasi yang putih itu. Lama sekali aku menyantapnya. Lidahku terbiasa dengan kentang dan roti. Nasinya cukup enak. Setidaknya bisa dimakan.

Pintu diketuk lagi. Suara laki-laki di baliknya mengatakan sesuatu. Hiroshima meletakkan mangkuknya sebelum menjawab dalam bahasa Nippon. Tak lama kemudian masuklah dua orang tentara berwajah dingin. Mata sipit mereka gagal menyembuyikan kejahatan dan kebengisan. Mereka memberi hormat lalu menyerahkan selembar surat pada Hiroshima.

Manik mata Hiroshima bergerak-gerak saat membacanya. Ia memukul meja dengan kepalan tangan sampai kuah sup di mangkuk bergetar. Tentara-tentara tadi berkedip sedikit, tetapi tetap menatap lurus ke depan. Hiroshima membentak keduanya. Telunjuknya menunjuk-nunjuk hidung para tentara itu. Nadanya terpenggal-penggal kaku. Aku sama sekali tak tahu apa yang mereka perdebatkan, namun kedua tentara itu lalu memegangi tanganku, memaksa bangkit.

"Tuan! Ada apa ini?" tanyaku panik. Tentara lagi. Aku tak suka sekaligus takut. "Tuan Devries, tolong!" Percuma aku berteriak, penerjemah itu tak bergerak.

Hiroshima menjauh, seolah memberi jalan. "Ikut mereka!" perintahnya.
Ikut? Tanganku belum bersih dari sisa nasi yang kusantap. Ditambah lagi, aku tak tahu akan dibawa ke mana. Namun para tentara ini tetap saja menyeretku.

***



BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang