TIGO WELAS

5.3K 477 61
                                    

Setiap Minggu Johann pergi ke gereja sendirian. Terkadang ada teman Belanda datang menjemput. Sebenarnya, ia berhak memaksaku ikut ke gerejanya, tetapi ia ingin aku beragama karena kemauan sendiri. Sepanjang kami saling mengenal, Johann tak pernah menjadi pemaksa. Kecuali tahun lalu ketika ia berkata akan membaptisku.

Sejak pagi, aku duduk di kursi goyang melanjutkan rajutan, sedangkan Ngatisah membersihkan rumah dan mencuci seperti biasa. Cahaya matahari siang seperti membakar jendela. Angin di luar bukannya memberi kesejukan malah meniupkan hawa kering Laut Jawa.

Ketika aku beranjak dari kursi goyang untuk menutup jendela lalu memasak makan siang, derap kaki Bhanu Aji memasuki pekarangan. Ki Giras berseru agar kuda gagah itu berhenti.

"Sumarah!" Johann setengah berseru mengagetkan. Ia masuk ke rumah diekori seorang pria tinggi-kurus berumur kurang-lebih 55 atau 60 tahun. Kumis ijuknya melintang lucu. Bagian atas kepalanya botak. Sejumput rambut menumbuhi bagian yang tak botak. "Hij is Bernhard van Imhoff. Hij zal het je leren (Ia Bernhard van Imhoff. Ia akan mengajarimu)."

Mengajari apa?

"Meester Van Imhoff adalah pendeta," bisik Johann.

Apa yang mau diajarkan laki-laki ini? Aku sibuk bertanya-tanya dalam hati sembari menunduk. Meskipun kepalaku sepertinya terfokus kepada jari-jari kaki, sebenarnya mataku mencuri pandang, sibuk mengira-ngira apa yang akan mereka lakukan padaku.

"Bapa, apakah Anda sudah mendengar berita baru-baru ini?" tanya Johann.

"Tentu saja, banyak berita aku dengar melalui radio. Aku pun berlangganan surat kabar untuk mengetahui semua lebih jelas. Perang ini mengerikan. Aku tak pernah setuju Sri Ratu terlibat dalam pertumpahan darah. Bayangkanlah, Johann. Para tentara itu masih muda. Sebagian ada yang baru berusia 17 sampai 18 tahun. Akan lebih bermanfaat jika mereka bekerja di pabrik lokomotif daripada membuang nyawa sia-sia di medan perang. Belum lagi mereka yang sudah berkeluarga, harus berjauhan dari anak dan istrinya. Mereka berharap perang segera usai, meskipun kenyataannya mereka akan mati juga." Pendeta Van Imhoff menghela napas, "bukankah Yesus mengajarkan untuk mengasihi sesama sebagaimana mengasihi diri sendiri? Lalu kenapa kita saling bunuh?"

Johann berusaha terlihat tenang meskipun pasukan negaranya porak-poranda. Hanya aku yang tahu betapa risaunya Johann.

"Karena itulah kau tidak menjadi tentara, Bapa. Kau bertugas mengembalikan kami, domba-domba yang hilang agar kembali ke jalan yang benar," kata Johann mencoba berkelakar.

Johann dan Pendeta van Imhoff sama-sama terkekeh pelan. Tidak ada yang lucu dari candaan Johann. Justru aku semakin risau memikirkan berapa banyak manusia kehilangan nyawa, berapa banyak anak menjadi yatim, dan berapa banyak istri menjadi janda.

"Aku mendengar bagaimana Inggris dan Jerman merekrut tentara. Mereka menipu para pemuda, mengatakan jika bergabung dalam perang maka akan menyelamatkan negara. Kenyataannya, bukankah Jerman yang menindas negara di sekitarnya? Nederland, Austria, Polandia, dan banyak lagi, tetapi para penguasa berkata seakan negara mereka lah yang menjadi korban," kata Pendeta Van Imhoff.

Licik. Apakah untuk menjadi penguasa harus dapat menipu? Simbok mengajarkan agar aku jadi orang baik supaya hidupku tidak sial. Namun, sebaik apa pun diriku, tetap saja aku dianggap perempuan pembawa sial. Justru orang jahat memperoleh kejayaan seperti penguasa Eropa ini.

Terbawa suasana, aku ikut gusar. Jerman berarti Adolf Hitler dan partai Nazi. Negara yang memporak-porandakan Nederland. Aku tidak membenci para Londo, sungguh. Para pedagang di pasar tidak tahu apa-apa mengenai Londo sedangkan aku setiap malam tidur bersama. Aku terdiam.

"Ini bukan pembicaraan yang bagus untuk wanita, Bapa," kata Johann. Mungkin kerisauanku tercium oleh Johann. Ia menggenggam tanganku, membawaku ke sofa untuk duduk.

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang