Semarang, 1942
Pagi ini Johann membaca Alkitab begitu bangun. Ia semakin dekat pada Tuhannya belakangan ini. Bahkan terkadang Johann ikut bergabung dengan paduan suara gereja.
Aku menduga, akulah penyebabnya. Johann begitu ingin punya anak hingga rajin berdoa. Anehnya selama setahun, Johann tak pernah lagi menyinggung soal akan membaptisku di gereja, juga tak pernah membicarakan soal anak. Hanya saja, kami semakin sering bercinta. Tak lagi setiap malam atau siang hari ketika aku datang ke toko mengantarkan bekal. Sepertinya ia percaya semakin sering kami bercinta, maka semakin besar kemungkinanku hamil.
Sayangnya, sebanyak apa pun benih ditebarkan, apabila tanahnya gersang maka benih itu tak akan pernah tumbuh. Aku lebih buruk daripada tanah gersang. Bapak mencangkul dan memupuk tanah gersang agar menumbuhkan benih. Tetapi, Bapak tak akan pernah bisa mencangkul atau memupuk kandunganku.
Londoku tak pernah mengatakan soal tanah gersang. Ia percaya kepada tuhannya. Katanya, pendeta di gereja mengatakan, semua akan indah pada waktunya. Rencana Tuhan menurut Johann, berbeda dengan rencana manusia. Apa yang menurut manusia baik, belum tentu baik pula menurut-Nya.
"Bersabarlah, Sum, Tuhan bukannya tidak ingin menjadikan kita orang tua. Dia sedang mempersiapkan kita agar menjadi orang tua yang baik. Berdoalah dan berjanji padaku untuk mengingat Tuhan," hibur Johann sepulang dari gereja. Ia melihatku termenung di depan cermin. "Lagipula, aku belum menikahimu, bukan? Kau tidak mau anak kita jadi gunjingan karena berwajah Eropa tetapi statusnya inlander, bukan?"
Aku terdiam. Johann meraih tanganku.
"Kita perlu udara segar untuk membersihkan pikiran."
Johann menggandeng tanganku, hangat seperti biasa. Minggu siang yang cerah. Anak-anak londo bermain di sepetak lahan. Pohon-pohon besar melindungi keceriaan mereka melalui bayangannya yang meneduhkan. Sepulang dari gereja Johann membawaku ke sana.
Keluarga londo menggelar tikar di atas rerumputan. Keranjang rotan penuh berisi roti dan susu. Anak laki-laki berusia tujuh tahun bermain bola dengan ayahnya, londo bermata biru. Sementara sang ibu, wanita londo memangku anak perempuan yang lebih kecil. Pita putih mengikat rambut kemerahan anak yang membaca buku cerita itu.
Johann memang diam, tetapi melalui mata cokelat madunya, aku tahu ia mendamba punya keluarga kecil. Berpiknik di bawah pohon. Hatiku semakin nyeri.
"Tunggu di sini, Sum." Johann bangkit. Ia mendekati si laki-laki yang bermain bola bersama putranya. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun, Johann kemudian bermain bersama keluarga bahagia itu sementara aku hanya dapat memandangi mereka dari bawah pohon.
***
Aku tak mungkin menunggu lagi. Pasti ada hal selain berdoa dan pasrah yang bisa dilakukan.
"Mariyem," kataku pada hari Senin setelah mengantar makan siang Johann.
"Injih, Ndoro Ayu."
"Apa kau punya kenalan yang bisa 'membuka kandungan'?"
Mariyem terperanjat mendengar pertanyaanku.
"Nuwun sewu, Ndoro," Mariyem balas berbisik. "Ada seorang wanita amat sepuh, namanya Mbah Wayuh. Menurut mulut-mulut usil pedagang di pasar, Mbah Wayuh memiliki enam belas orang anak. Semuanya tersebar di seluruh penjuru Hindia Belanda. Gubuknya berada di selatan, hampir ke Ungaran. Sudah banyak wanita mengandung setelah pergi ke sana."
Harapanku yang semula padam, kembali menyala.
"Mariyem, aku akan menemuinya. Rahasiakan ini dari siapa pun," ucapku tanpa pikir panjang.

KAMU SEDANG MEMBACA
BUDAK NAFSU PENJAJAH
Ficção HistóricaMengambil latar PERANG DUNIA II Sumarah, seorang perempuan yang menjadi gundik saudagar Belanda. Hidup mereka berkecukupan dan penuh cinta. Namun kebahagiaan tak berlangsung lama. Setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, Sumarah ditangka...