SONGO LIKUR

812 17 4
                                    

Malam yang mengerikan berganti pagi. Kawan-kawanku dan aku menuruni tangga hotel. Cara berjalan mereka tak wajar, mirip aku setelah menghabiskan malam pertama dengan Johann. Langkah tertatih, wajah menahan nyeri. Sebagian ada yang memegangi area kemaluannya. Tetapi semua lengkap. Kami masih berdua puluh.

Para Nippon tak memancung salah satu dari kami.
Jika mendengar pertanyaan dokter mengenai pernikahan, semuanya belum menikah. Aku pun demikian. Bedanya aku tak suci lagi. Berbeda dengan kawan-kawanku. Aku yakin mereka belum terjamah laki-laki. Semalam pasti adalah malam pertama mereka.

Aku ingat malam pertamaku dengan Johann. Bagaimana kelembutan bibirnya menyentuh bibirku. Tangannya yang besar mendekapku dalam dadanya yang kuat. Johann menenangkanku, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Kata-kata dan belaiannya menenangkanku ketika ketakutan melihat batang kelaminnya yang besar waktu menegang. Ini terjadi sebulan setelah kami serumah.

Aku ingat bagaimana Johann menunggu berhari-hari sampai aku terbiasa dengan kebersamaan kami. Awalnya ia menyentuh tanganku. Dua hari kemudian baru mengecup pipiku. Seminggu setelahnya, ia mencium bibirku. Waktu itu kami baru jalan-jalan dari Lawang Sewu. Ketika akhirnya tubuh kami menyatu, semuanya terjadi perlahan, penuh cumbuan. Dengan perlakuan sehalus itu pun masih tersisa nyeri esok harinya. Bagaimana dengan kawan-kawanku yang melakukannya dengan paksaan tiga, empat, atau lima orang pria?

Eliz berjalan di belakangku menuruni tangga. Ketika aku menoleh, ia menatapku penuh kebencian. Malah, Eliz cepat-cepat membuang muka. Ia pasti menganggapku kawan tak berguna. Aku hanya bisa berbisik lirih dalam hati, "Maafkan aku, Eliz."

Kami tiba di lapangan tanpa rumput. Hari masih gelap, matahari belum bangun dari lelapnya. Di sana sudah berbaris dua atau tiga lusin tentara. Kami dibariskan di belakang mereka. Lastri berada di sampingku. Wajahnya pucat, berbeda dengan keriangan yang ia tunjukkan dalam perjalanan menuju tempat ini. Mata sembab itu terus menangis. Ia menunduk, sesekali menghapus air mata.

Aku tak sanggup menatapnya. Sebongkah batu besar terasa menindih tubuhku. Batu besar itu adalah rasa bersalah karena tak berbuat apa pun untuk menolongnya.

Seorang tentara mengatur barisan. Tak bicara apa-apa waktu membetulkan sikap tubuh kami. Ia mendorong tubuhku agar berdiri tegak yang ternyata sulit. Lututku serasa tak bertulang. Tentara itu menyentuh bahuku, memberi contoh bagaimana membusungkan dada.

Setelah dilihatnya kami rapi, ia masuk ke barisannya sendiri. Begitu aba-aba dalam bahasa Nippon terdengar, para tentara membungkuk hormat ke ufuk timur. Perlahan matahari naik. Jadi ini yang dilakukan Nippon setiap pagi. Johann menyebutnya, "Menyembah matahari."

Kami semua mengikuti gerak-gerik para Nippon. Tubuhku membungkuk, namun mataku mengembara ke mana-mana. Lastri di depanku. Kulihat darah merah mengalir dari sela kakinya, membasahi tungkai. Ia gemetar sesaat, kemudian ambruk. Untung aku sempat menadahi tubuhnya agar tak jatuh membentur pekarangan berbatu.

"Lastri!" teriakku. Apa yang terjadi dengannya? Jangan ada yang mati lagi. Aku tak kuat menyaksikan begitu banyak orang terluka dan mati karena Nippon.

Barisan tertib mandadak kacau. Para tentara mendatangiku yang masih memegangi Lastri. Mereka mengangkat tubuh lemah Lastri lalu membawanya ke dalam hotel. Kuekori para tentara untuk memastikan keadaannya, tetapi sesosok pria Nippon yang pagi ini menemuiku di kamar, menghadang.

"Kau harus dihukum," katanya seraya menghunjamku dengan tatapan bengis.

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang