SEMARANG 1937

29.9K 1.1K 256
                                    

Aku meringkuk ketakutan di dalam dokar. Memeluk tubuhku untuk melindungi dari bahaya entah apa yang aku yakin akan mendatangiku sebentar lagi. Ke mana Meneer Johann? Aku mencarinya sebab kusir yang kini mengendalikan kereta adalah kusirnya. Mungkinkah ia melakukan ini atas perintah Meneer? Namun akan dibawa ke manakah dirinya?

Dokar berderap menyusuri jalan tanah. Di kanan dan kiri, sawah mengapit. Gunung Ungaran yang menemaniku sejak lahir sampai kini terlihat. Muanya berukuran raksasa, lalu semakin kecil. Dokar ini menjauh dari desa kelahiranku. Ke mana aku akan dibawa?

Ketakutan yang telah membungkus, semakin menggerigiti. Aku hanyalah gadis desa, belum pernah sekali pun meninggalkan desa. Kalaupun pergi, Simbok dan Bapak mewanti-wanti agar tidak bermain terlalu jauh. Simbok senantiasa menakuti dengan kisah genderuwo yang menculik anak-anak yang nekat bermain di luar setelah matahari terbenam, atau mengenai wewe gombel yang gemar berburu anak kecil untuk menjadikannya anak. Cerita menyeramkan itu selalu manjur memaksa anak-anak di sekitar sini untuk kembali pulang begitu matahari meredup.

Kini, ancaman begitu nyata harus kuhadapi. Tiada wewe gombel, tiada genderuwo. Manusia nyata membawaku pergi dari Bapak. Namun Bapak memberikanku begitu saja setelah ditukar beras dan hewan ternak. Kami kelaparan, tetapi hal itu sudah menjadi kebiasaan sampai kami tak tahu apa itu rasa lapar.

Teringat ucapan Bapak, aku menangis. Air mata yang basah, sampai mengering. Aku tak tahu berapa lama menangis. Terlalu lemas sampai akhirnya tertidur.

***

Tubuhku diangkat, lalu dibawa berjalan. Aku merasakan betul seseorang bergerak membawaku. Meski mata ini terpejam, tetapi aku sudah setengah sadar. Suara pintu dibuka. Lalu ucapan dalam Bahasa Belanda bergaung di sekitar. Aku dibawa berjalan lagi sampai akhirnya dibaringkan di atas sebuah kasur yang empuk. Aku terkejut meresakan seprai yang halus. Punggungku terbiasa bersentuhan dengan dipan kayu. Terkadang tungau menggigiti kulit, berpesta pora mengisap darah. Esoknya bentol kemerahan merata di sekujur tubuh. Namun kasur dan seprai ini terasa bersih. Aku bernapas, mencoba mengenali di mana tempatku berada. Harum bunga melati dan kantil menyergap. Sungguh berbebda dengan gubuk yang berbau tanah dan pengap.

Suara-suara di sekitar menghilang. Pintu terdengar menutup. Aku membuka mata, mengamati sekeliling. Telapak tanganku meraba seprai yang sejuk. Di atas meja kayu kecil, sebuah bokor berisi bunga diletakkan di sana. Tak salah lagi, dari sinilah asal aroma harum ini.

Ruangan ini sangat luas. Tempat tidur kayu yang kokoh. Aku mencoba menggoyangkannya. Tampak benar tempat tidur ini dibuat dari kayu yang bagus. Sebuah lemari baju dan meja rias. Kaki telanjangku menginjak ubinnya. Dingin. Kamar ini berlantai ubun. Pasti milik orang kaya.

Lemari ini juga kokoh. Aku membuka pintunya. Kosong. Tak ada apa pun di dalam. Sayang sekali. Padahal aku berharap menemukan sesuatu.

Pada saat memeriksa isi lemari, tiba-tiba pintu terbuka. Londo raksasa berambut cokelat pasir yang kutemui di hutan dan di sungai berdiri di ambangnya. Aku terjajar mundur sementara ia berjalan maju.

"Wees niet bang. Dit is jouw kleding (Jangan takut. Ini pakaianmu)." Meneer Koenraad meletakkan satu setel kebaya putih dan kain batik di atas kasur. Ia memang tersenyum, tapi aku tetap takut.

"Dit is de badkamer (Ini kamar mandinya)." Meneer Koenraad membuka satu pintu dekat lemari.

Aku melongok masuk ke dalam. Kamar mandi yang luas. Semua dilapisi keramik mulai dari lantai sampai dindingnya. Aku belum pernah menggunakan kamar mandi semewah ini. Kamar mandi di desa hanya berupa lubang yang digali lalu ditutupi bilik bambu.

"Douchen met deze zeep (Mandilah dengan sabun ini)." Meneer Koenraad menyerahkan sebatang sabun berwarna putih. Baunya sangat harum.

Meneer Koenraad pergi meninggalkanku sendirian. Aku mengambil kebaya yang diberikan padaku. Putih berenda dari bahan yang sangat halus. Apakah ini sutra, bahan yang kata Bapak hanya mampu dibeli orang kaya? Aku takut mengotorinya dengan tanganku.

Oleh sebab itu, aku masuk ke dalam kamar mandi. Ada bak besar seukuran manusia. Aku mengisinya dengan air dingin lalu mencebur ke dalam. Menyabuni seluruh badanku dengan sabun yang Meneer Koenraad berikan. Wangi sekali. Apakah bisa memelihara ikan di bak ini? Sepertinya enak kalau tak perlu ke sungai untuk mencari ikan.

Usai mandi, aku mengenakan pakaian mewah. Apakah aku seperti putri keraton sekarang? Aku bergegas keluar untuk melihat pantulan diri di cermin. Alangkah terkejut ketika Meneer Koenraad sudah duduk di bangku meja rias.

"Kom hier." Meneer Koenraad melengkungkan jarinya memanggilku. Ia menepuk pangkuannya, memintaku duduk di sana.

Agak takut, aku mendatanginya, patuh duduk di pangkuannya. Meneer Koenraad menghanduki rambutku yang basah, lalu menyisirinya.

"Je bent mooi, Sumarah," bisiknya di belakang telingaku.

Aku merinding, tetapi tak mencoba memberontak saat ia membuatku bersandar di dadanya, mengecup bibirku. Ini rasa yang asing. Aku belum pernah dicium pada bagian ini sebelumnya.

"Mooi, mooi, wees niet bang (Cantik, cantik, jangan takut)."

Aku hanya memejamkan mata. Bapak berpesan agaar aku menuruti setiap kata tuanku. Meneer Koenraad adalah tuanku, bukankah begitu? Meskipun ia tak mengatakannya secara langsung, tapi aku memahami.

Bibir, pipi, dan leher. Ia menjelajahi wajahku dengan wajahku. Aku bergetar. Geli dan aneh. Napasku berpacu cepat. Demikian pula Meneer Johann. Ia membopongku ke ranjang. Menelungkup di atas dan membelai-belai rambutku.

Meneer Koenraad membuka kebaya dan kainku. Aku hanya memejamkan mata. Hingga kemudian sesuatu menembus celah di antara pahaku. Teriakan dan tangisanku membahana. Namun Meneer Koenraad membisikan kata-kata yang entah apa artinya sambil terus bergerak memasuki diriku.

***

Vote dan komen yang banyak.

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang