Setelah hari Minggu itu, Pendeta Bernhard van Imhoff datang ke rumah pada sore hari untuk membuatku paham soal agamanya. Soal siapa itu Yesus, Roh Kudus, Salomo, Daud, Adam, dan Hawa. Semua tokoh yang kupelajari bersifat abu-abu. Memang seperti itulah dunia, murni hitam atau murni putih tidak ada.
Sampai kini aku tak menganggap penting ajaran Pendeta Van Imhoff. Bagiku manusia tetaplah manusia. Tiada manusia suci apa pun agamanya. Buktinya, londo yang ke gereja tiap hari Minggu, yang mendaraskan nama Tuhan mereka, tetap berlaku kejam pada babu, jongos, dan menganggap pribumi adalah kaum rendahan sehingga patut ditindas. Betul, masih ada londo baik. Londo-londo yang menempati tempat istimewa dalam hati pribumi. Aku memperlihatkan niat kuat mempelajari agama Johann hanya demi pernikahan.
Bukan tokoh-tokoh dalam Alkitab saja, Pendeta juga mengajariku doa. Namanya Bapa Kami. Yesus sendiri yang mengajarkan pada pengikutnya. Johann tengah membaca koran di teras ketika aku belajar doa itu dalam bahasanya.
"Doakan setiap hari," kata Pendeta.
"Haruskah setiap hari?" tanyaku.
Pendeta Van Imhoff mengangguk. "Doa adalah bukti kerendahan hati manusia di hadapan Tuhan. Itulah yang membedakan kita dengan makhluk sombong bernama iblis. Iblis ingin menyamai Tuhan. Ingin manusia menyembahnya. Iblis itu jahat, ia akan menyesatkan manusia agar menjauh dari Tuhan. Maka agar manusia senantiasa mengingat Tuhan, wajiblah ia berdoa setiap hari."
Aku mendengarkan tetapi tak pernah mematuhinya karena aku biasa berdoa pada Gusti Pangeran dengan Bahasa Jawa, bukan Bahasa Londo. Tuhanku tak mengerti bahasa Ratu Wilhelmina.
***
Di luar kegiatan baruku belajar agama Kristen, aku tetaplah babu merangkap gundik. Karenanya aku masih belanja bahan pangan di Pasar Johar yang semakin lama semakin riuh membicarakan kemenangan gemilang Nippon. Ucapan Johann tak terbukti. Tuhannya tak memihak Nederland. Semua ajaran Pendeta Van Imhoff tentang kekuasaan Tuhan pun tak terjadi. Dalam pikiranku sendiri, Tuhan Maha Adil. Sudah waktunya kaumku menjadi tuan di tanah leluhur kami, terbebas dari belenggu bangsa Eropa.
Hari ini suasana Pasar Johar sedikit berbeda. Seorang pribumi yang nampak terpelajar dari pakaiannya dikerumuni pedagang. Aku tak tahu siapa ia, yang jelas laki-laki itu senang dengan kekalahan Nederland.
"Tahukah kalian," Suaranya menggeledek di tengah pasar, "Gubernur Jenderal telah mengungsi ke Priangan."
Keberaniannya pasti selangit karena berani bicara dengan lagak berlebihan. Ia meninggalkan rasa hormat pada penguasa, pada kerajaan Ratu Wilhelmina.
"Bukan cuma Gubernur Jenderal, melainkan pejabat-pejabat tinggi pemerintah pun ikut."
Manusia yang mengerumuninya semakin banyak. Mereka tak berteriak atau bertepuk tangan, hanya memandang pribumi terpelajar itu dengan antusias.
"Para pejabat mengungsi ke Hotel Homman dan Preanger di Priangan. Aku saksikan sendiri bagaimana Priangan penuh dengan pejabat Hindia Belanda."
Tergoda untuk mencari tahu, aku mendekatinya dengan tas belanja penuh tepung jagung, daging, dan kentang. Pribumi itu lalu memuja-muja Nippon seolah kawan lama. Bisik-bisik mengudara. Apakah benar bangsa tinggi besar bersenjata meriam-meriam raksasa, pengarung samudera bersama armada tangguh akan semudah itu dikalahkan?
Si pribumi menurunkan suaranya, "Kompeni, para anjing geladak keparat yang sudah menghisap Jawa akan segera minggat dari sini." Pria itu menyeringai. "Nippon sudah menggempur mereka."
Ucapannya membuatku tertegun. Tak semua londo adalah 'anjing geladak keparat' seperti ucapannya. Ada beberapa yang kubenci, namun bukankah semua ada pengecualian? Aku sungguh resah dengan kata-katanya. Kepalaku pening.
***
Vote dan komen yang banyak biar saya semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUDAK NAFSU PENJAJAH
Historical FictionMengambil latar PERANG DUNIA II Sumarah, seorang perempuan yang menjadi gundik saudagar Belanda. Hidup mereka berkecukupan dan penuh cinta. Namun kebahagiaan tak berlangsung lama. Setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, Sumarah ditangka...