KALIH LIKUR

3.5K 372 58
                                    

Bab ini agak panjang, semoga nggak capek bacanya. Enjoy, vote, dan komen yang banyak

***


"Meneer," kataku ketika Johann memakai kaus kaki hitamnya di ruang tamu. "kemarin Ngatisah pamit mau membantu tetangganya yang punya hajat." Aku memijat kepalaku pura-pura sakit agar Johann tak ke toko.

"Baiklah." Johann seperti biasa memberikan izin. Artinya, akulah yang mesti melaksanakan pekerjaan babu. Telah lama kutinggalkan pekerjaan membersihkan rumah besar ini. Tepatnya sejak Ngatisah datang. Mungkin badanku jadi agak ringkih sekarang. Hanya melihat rumah saja aku teramat lelah. Pintu kayu jati lebar itu mesti kubersihkan dari debu. Membersihkan meja bundar hitam berukiran rumit di ruang tamu pasti membutuhkan kecermatan. Belum lagi halaman yang begitu lapang, dengan pohon asem dan beringin tua.

Johann melihatku memijat pelipis, tetapi tetap memasukkan kakinya ke sepatu kulit hitam yang telah kusemir mengkilap.

"Jika lelah, istirahatlah. Aku tak mau kau sakit seperti tempo hari."

Bhanu Aji meringkik keras, tanda siap menunaikan tugasnya.

"Aku harus pergi. Hari ini kopi dari Sumatera datang." Johann mengecup puncak kepalaku dan membelai pipiku. Ah, aku kecewa karena ia tetap pergi. Jangan sampai semua kebahagiaan ini lenyap.

Setiap hari, Johann selalu melakukan hal yang sama. Tetapi hari ini aku merasa berat melepasnya. Ada firasat buruk menelusup. Apalagi mengingat semakinbanyak tentara Nippon membeli kopi. Ditambah lagi peristiwa perampasan rumah Willem dan penculikan Claudette. Tanda-tanda bahaya tak lagi samar, tetapi sudah jelas memberi peringatan.

"Meneer." Kutarik tangannya, menahan agar ia tinggal di rumah. Perasaanku sebagai wanita meramalkan akan terjadi sesuatu tak beres. "Tolong jangan pergi." Ini usaha terakhir. Pagi ini kami bercinta, entah kenapa aku berfirasat inilah percintaan terakhir kami. Kupeluk ia dari belakang, tak menghiraukan Bhanu Aji yang semakin keras meringkik.

Londoku terkekeh. "Ada apa?" Ia membelai tanganku yang membelit perutnya.

"Jangan pergi," mohonku lirih.

Johann mengecup puncak kepalaku lagi. Lebih lama daripada kecupan pertamanya. "Aku akan pulang cepat. Atau kau mau ikut?" Ia memelukku juga.

Aku menggeleng, kepalaku masih menempel di rompi biru tuanya. "Bukankah saya harus membersihkan rumah?"

Johann menekan ujung hidungku dengan telunjuknya. "Kalau kau sakit, tak perlu melakukannya. Nanti malam kita puaskan kerinduanmu." Ia tersenyum ketika melihatku membenamkan wajah di dadanya. "Aku pergi." Ia melepaskan lilitan tanganku. Aku mengikutinya sampai di teras, masih tak rela. Ia melambai sebelum sepatunya berderap menjauh dan masuk ke dokar.

Rasanya, hari ini sangat berbeda. Berat membiarkan Johann menaiki dokar, membiarkan Ki Giras melajukannya menjauh. Bhanu Aji membawa Johann menghilang di ujung jalan. Aku sangat takut hari ini menjadi perjumpaan terakhir kami.

Demi menghalau kecemasan, aku membersihkan pekarangan rumah yang luar biasa luas. Urat-uratku bersiap putus ketika menyapu halaman. Dua ekor burung bondol hinggap di tanah. Dalam bahasa londo disebut manakins vogel. Para petani di sini membenci burung berwarna abu-abu atau cokelat itu karena suka makan padi. Keduanya berloncat-loncat riang gembira di dahan pohon beringin. Mereka tak pusing merasakan pergolakan.

Burung-burung itu tak paham bahaya. Londo dan Nippon sama saja di mata mereka. Jika burung saja mampu bergembira, aku pun harus lebih gembira. Kehadiran para bondol menghibur dan memulihkan semangat. Kelelahan seketika lenyap. Kusapu daun-daun kering di pekarangan. Sesekali jika menemukan daun bunga tapak dara telah menguning, kucabut pula. Semuanya kukumpulkan di sudut untuk dibakar nantinya.

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang