Begitu Willem dan Claudette pulang, Johann memutar gramofon. Corong besarnya menggemakan lagu dari Nederland, membuat rumah besar yang saat ini hanya berisi aku dan Johann semakin terasa syahdu. Dawai-dawai biola bersatu dengan nada piano. Por una cabeza, lagu kesukaan Johann yang tidak bosan ia dengarkan setiap hari. Aku pun lama-lama belajar menyukainya. Lihatlah, aku mirip wanita Londo kini. Dengan selera makan dan musik yang hampir sama.
Johann mengambil sebotol rhum di lemari seberang gramofon. Ia mengangkat gelas sebagai isyarat apakah aku mau. Aku menggeleng kemudian menyesalinya. Apakah Claudette akan menolak? Ia londo totok. Minum-minum bukan hal asing. Malah, aku pikir Claudette lah yang akan mengajak Johann minum lebih dulu.
Mereka sangat serasi. Sama-sama suka minum. Mendadak perutku terpilin. Inikah saatnya aku pergi, membiarkannya berbahagia dengan gadis lain? Gadis yang bisa diajak ke pesta dansa, yang bisa diperkenalkan sebagai istri, yang bisa melahirkan anak. Gadis yang sebangsa dan setara.
Johann menuangkan rhum ke gelas kecil lalu duduk di kursi goyang. Ia menepuk-nepuk pantalonnya, menyuruhku menumpang di pangkuannya.
"Meneer," kataku di atas pangkuannya.
"Hmm," jawab Johann.
"Claudette cantik sekali." Suaraku terdengar getir.
Anggukan Johann menegaskan betapa ia tertarik pada gadis berusia 18 tahun itu. Claudette bagaikan kembang mawar harum, baru saja mekar dengan wangi menyebar. Kami sepantaran, sama-sama wanita, sama-sama tinggal di Semarang, sama-sama ciptaan Tuhan. Bedanya Claudette lebih cantik, lebih pandai berkelakar, lebih terpelajar, dan bisa diajak bicara hal-hal rumit. Tingkahnya sebebas burung, bukan berarti ia binal. Ia bebas karena tak punya beban untuk tertawa atau melakukan apa saja. Darah Eropanya adalah sumber dari kebebasan mewah yang tak pernah kumiliki.
"Apakah kau cemburu?" Johann terkekeh, masih menggoyangkan tubuh kami di atas kursi.
Aku tak berani menjawab. Johann boleh mencintai wanita mana saja. Di atas kertas, ia tak punya istri. Orang-orang mengenalku sebagai babu yang kebetulan beruntung mendapatkan tuan baik hati.
"Apa kau tak tahu, aku pun cemburu pada Willem?" tanya Johann.
Kenapa pula Johann harus cemburu pada Willem? Ia sempat melirikku, akan tetapi kurasa tatapannya itu lebih kepada heran karena Johann memperlakukanku cukup baik. Johann mengajakku makan semeja dengan teman-temannya, termasuk Dokter Peters.
"Willem bilang ingin punya gundik seperti kau."
"Saya, Meneer?"
"Ya, sebab kau cukup terpelajar dan tidak terlalu memalukan."
"Semua berkat Meneer."
Willem juga bisa punya gundik yang pintar kalau ia mau mengajari. Sayangnya Willem agaknya berpendapat gundik tidak perlu dipintarkan.
"Jangan khawatir. Bukan itu masalah kita sekarang." Londoku membelai punggungku, lalu menyandarkan kepala di sana. "Nippon, zij hebben gewonnen."
"Nippon, zij hebben gewonnen," aku menggumam kemudian terdiam sejenak. Kata-kata Willem itu sangat asing. Aku bisa berbahasa londo, tetapi tidak paham kosakata itu. "Ya, saya mendengarnya tadi. Apakah artinya?"
Lagu di gramofon masih saja mengalun menyayat kalbu. Kursi goyang kami mengeluarkan suara berkeriut.
"Kau menguping, eh?"
Johann mengecup tengkukku, membuat kulitku panas. Ia bahkan tak menyadari kehadiranku saat tadi siang berlama-lama menghidangkan poffertjes hanya untuk mendengar percakapan mereka. Claudette penyebabnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/102888293-288-k734836.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BUDAK NAFSU PENJAJAH
Fiksi SejarahMengambil latar PERANG DUNIA II Sumarah, seorang perempuan yang menjadi gundik saudagar Belanda. Hidup mereka berkecukupan dan penuh cinta. Namun kebahagiaan tak berlangsung lama. Setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, Sumarah ditangka...