KALIH DOSO

1K 121 31
                                    

Aku tidak akan dapat tidur nyenyak karena meninggalkan Claudette dan ayahnya tanpa tahu nasib mereka. Kehidupan berubah, terbolak-balik dalam waktu singkat. Simbok mengajarkan sejak aku lahir bahwa bangsa kulit putih adalah bangsa yang lebih segala-galanya. Secara fisik tingginya melebihi kami, secara intelektualitas kecerdasannya sulit kami tandingi jika tidak memiliki dasarh bangsawan. Para bangsawan dan raja setempat saja tunduk pada londo. Malah ada pengkhianat yang menjilat penjajah, dipanggil londo ireng. Kemenangan Nippon dan perlakuan sewenang-wenang mereka pada bangsa kulit putih mematahkan kepercayaan yang tertanam belasan tahun di kepalaku.

Untuk mengalihkan pikiran, aku meneruskan rajutan baju Johann. Namun, teriakan dan tangisan Claudette tak mau pergi dari kepalaku. Mungkin ketakutan, mungkin dendam atau mungkin hal lain menghalangi penonton menolong keluarga malang itu. Keadilan sudah mati di Semarang.

"Nippon biadab," umpat Johann sepulang dari toko sore ini.

Aku terperanjat, buru-buru menyembunyikan rajutan baju hangat Johann yang sedikit lagi jadi.

"Sum, di mana kau?" panggil Johann.

"Dalem, Meneer." Aku tergopoh menemuinya.

Air muka Johann muram. "Para cebol sipit itu merebut paksa rumah Willem." Johann mengeluarkan kemeja dari pinggang pantalonnya, membuka kancing rompi, lalu membanting bokong ke sofa.

Ya, aku mengetahuinya, bahkan menontonnya. Ucapan Mbok bakul tentang Nyai Londo berkelebat. Aku merasa berdosa karena tak melakukan apa-apa. Aku mengambil teh hangat untuk Johann.

"Berikan aku rhum, Sumarah. Aku butuh itu sekarang!" hardik Johann tidak sabar.

Aku tergopoh menuju lemari, mengambil sebotol rhum dan gelas sloki. Menuangkannya untuk Johann.

"Claudette dibawa oleh para tentara." Johann menandaskan alkoholnya. Ia menyugar rambut dengan cemas. Sosok londo garang perkasa tinggal masa lalu. Sekarang mereka pihak lemah. "Ayah Willem dipukuli ketika berusaha menahan para bedebah itu membawa putrinya."

"Apa yang terjadi padanya, Meneer?" tanyaku menyembunyikan kenyataan bahwa aku berada di sana melihat semuanya. Aku sempat khawatir Claudette akan merebut Johann, tetapi aku tidak membencinya. Kami sama-sama perempuan. Aku tidak berharap hal buruk terjadi pada Claudette.

"Siapa yang tahu?" Johann balik bertanya.

"Tetapi para Nippon tidak akan melakukan hal buruk pada Claudette kan, Meneer?" tanyaku.

"Siapa yang menjamin? Siapa yang dapat membantu Claudette kalau para cebol itu sampai melakukan hal buruk padanya?"

"Bagaimana dengan yang lain?" bisikku.

"Ayah Willem masih beruntung. Kau tahu, Sum, rumah Hans diambil alih paksa oleh para Nippon. Kakak laki-lakinya yang mencoba menahan diikat ke mobil lalu diseret sampai mati. Berita ini baru saja kudengar."

Sekujur bulu kudukku meremang. Andaikan bangsaku tahu makhluk keji macam apa yang sempat mereka puja-puja, yang mereka harapkan untuk menyingkirkan Nederland.

"Aku harus bagaimana?" bisik Johann lirih. "Negeriku sendiri porak-poranda."

Kami tak bisa melarikan diri ke Nederland dalam keadaan gawat seperti sekarang. Johann terlambat mengendus bahaya. Seharusnya kami ikut Pendeta van Imhoff. Mungkin saja ia punya keluarga di luar Nederland, di tempat yang lebih aman.

"Aku mungkin akan mengingkiri janji. Aku pernah janji kau tidak akan berada dalam bahaya kan, Sum. Namun aku salah. Sekarang ini seluruh dunia sedang perang. Percuma mencari tempat aman."

"Meneer." Aku duduk di sampingnya, mendekap tubuh besar Johann.

Johann menyandarkan kepalanya pasrah di dadaku. Jiwa laki-laki perkasa yang berjanji mau melindungiku terluka. Ia meneguk lagi rhum. Dua sloki, lima, lalu sepuluh.

Johann cegukan. "Kita harus ke mana?" tanyanya nyaris tak terdengar. "Aku harus membawamu ke mana?" Untuk pertama kali, Johann menangis terisak dalam keadaan sadar di pelukanku.

***

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang