SETUNGGAL WELAS

7.6K 573 67
                                    

Johann tak seperti londo lain yang punya banyak babu dan jongos. Seorang babu hanya dipekerjakan pada pagi hari untuk membersihkan rumah dan mencuci baju. Ia pernah bilang mesti aku yang masak untuknya. Katanya, aku mesti bersamanya. Kalau mati nanti, ia ingin dikubur bersamaku di bawah pohon asem. Ia pasti hanya asal bicara. Apakah ia tak tahu bahwa rumah yang dijadikan kuburan akan sulit dijual.

Pagi ini kami berada di ruang makan. Aku menyemir roti dengan boter dan gula. Secangkir kopi susu sudah kubuat sesuai kemauan londoku. Cukup mendengar keluh kesah Johann, tak perlu menanggapi ucapannya.

"Aku tidak membenci bangsamu, Sum. Sebaliknya, aku setuju kata Multatuli. Bangsamulah yang membuat Nederland kaya raya." Johann mematut diri di depan cermin, mengancingkan kemeja putih yang sudah dikanji dan disetrika.

Di kamar kami ada cermin lebih besar, tetapi ia lebih suka berpakaian di ruang makan. Agar kami bisa bercakap-cakap sebelum ia berangkat.

"Kemarin Theo meminjamiku ini. Sebenarnya aku sudah pernah membacanya lima tahun lalu, sebelum kita bertemu." Johann memberikan buku berjudul Max Havelaar buah tulisan Multatuli. "Sejak membacanya, pandanganku soal inlander berubah sepenuhnya. Seharusnya kalian kaya raya, berpakaian sutera, jika bukan karena bangsaku menghisap segala milik kalian." Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan, "Sesungguhnya, kemiskinan bangsamu bukan semata ulah bangsaku. Banyak ningrat dari bangsa kalian menggadaikan tanah dan bangsanya demi sedikit uang dan kedudukan."

Terlalu mudah penguasa takluk dengan londo. Aku mendengar beberapa gerakan pribumi untuk membebaskan Hindia Belanda dari cengkeraman penjajah berlangsung. Pemberontakan-pemberontakan kecil di beberapa daerah berhasil ditumpas. Semua karena pengkhianat. Cukup satu orang bekerja sama dengan musuh, maka usaha pembebasan diri itu pun gagal. Apakah londo adalah musuh? Aku tak pernah merasa begitu.

Johann sudah selesai berpakaian. Rambut cokelatnya tersisir rapi mengkilap karena pomade.

"Kau pasti membenci bangsaku, bukan?" Johann meletakkan Max Havelaar di meja makan. "Bangsamu senang Nippon menghancurkan pasukan Sri Ratu."

Apa maksudnya? Tak pernah terlintas pikiran itu. Semua londo yang kukenal bersikap baik padaku. Kawan-kawan Johann tak pernah mengucapkan hal buruk, paling tidak di hadapanku. Johann sedang kalut karena kekalahan pasukan ratunya. Menjawab tuduhan tadi sama sekali tak berguna.

Johann menyalakan radio yang mengabarkan berita. Aku bisa menangkap kata 'Nippon' lebih dari sekali.

"Kau ingat Benedict?" Johann menyela penyiar radio, mengingatkanku soal kawannya dari Priangan yang rajin mendengarkan siaran NIROM.

"Injih, Meneer."

Wajah Johann muram. "Katanya Nippon menang lagi. Hampir seluruh Borneo sudah jatuh ke tangan mereka."

Kutatap matanya yang kuyu. "Makan dulu, Meneer," ujarku berusaha menenangkan gundah hatinya.

Johann menurut. Ia duduk di kursi berukir, menghadapi roti bikinanku. Ditepuknya kursi di sebelah, memberi petunjuk padaku untuk duduk. Kujatuhkan bokong berjarikku di sana. Sepotong roti ditusuknya dengan garpu lalu disuapkan dengan tangannya sendiri, padaku. Kubuka mulutku menerima pemberiannya.

"Takutkah kau, Sum?" tanyanya.

Sambil mengunyah aku memandangnya. "Pada apa, Meneer?"

Johann pun menyuapkan roti ke mulutnya. Sejenak ia mengunyah tanpa suara. "Pada kemenangan Nippon."

Apakah Nippon lebih sakti daripada para bendoro berkeris? Peperangan dan kekuasaan bukan kesenanganku. Johann menghabiskan roti dan kopi susu bikinanku, tepat saat dokar yang menjemputnya tiba.

"Mboten, Meneer," jawabku seraya menggeleng. Aku berbohong hanya agar Johann tenang.

"Baiklah aku berangkat," kata Johann.

Sepeninggal Johann, aku bersiap ke Pasar Johar karena bahan-bahan pangan di lemari penyimpanan sudah menipis. Sebenarnya aku bisa menyuruh babu pergi ke sana. Namun aku memerlukan udara segar dan ingin mendengar orang-orang berbicara.

"Ngatisah!" Aku memanggil babu yang membersihkan rumah.

"Dalem, Ndoro Ayu (Saya, Nyonya)." Ngatisah tergopoh-gopoh menyahut panggilanku.

"Kau jaga rumah sampai aku kembali. Aku harus ke pasar."

Ngatisah mengangguk patuh.

Kukayuh sepeda melewati jajaran pohon asem yang serupa penjaga tepi jalan, meneduhi para bakul jamu dan bakul tembakau yang berjalan pelan. Jalan berbatu tertimpa bayangan pohon-pohon. Pikiranku yang semrawut menemukan pelepasan ketika berada di udara bebas, berkelana menuju tempat-tempat yang tak pernah kusinggahi. Seperti gereja tempat Johann berjanji akan membawaku ke sana untuk dibaptis, atau ke Nederland. Johann bercerita di sana banyak sekali polder, serupa kali tetapi buatan manusia. Pandai sekali orang Nederland bisa membuat banyak kali.

Akhirnya, sampailah aku di tujuan. Manusia berpeluh campur baur dengan pisang, ketela, beras, dan beraneka hasil bumi lain. Beberapa kuli berikat kepala memanggul karung goni berisi ketela ke atas dokar. Kurasa yang harus kubeli hanya pisang dan coklat. Resep ini muncul begitu saja di kepala, seolah ada yang membisikannya. Pasti Johann akan suka menyantap pisang goreng cokelat bikinanku.

Setelah memarkir sepeda, aku masuk ke dalam. Pilar-pilar serupa cendawan menyokong Pasar Johar. Sekalipun manusia menyesaki los-los niaga, tak ada kepengapan karena insinyur Nederland membangunnya dengan cermat. Sirkulasi udara cukup baik. Mataku mengarah pada pedagang pisang, namun telingaku menangkap suara.

"Nippon menghantam Nederland!" kata pria Cina pada pria Arab. Mukanya putih bersemu kemerahan, kelihatan senang. Tak hanya pribumi yang membenci Nederland. Bukan salah mereka. Sikap para kompeni yang memisahkan sekolah, tempat umum yang boleh dikunjungi, bahkan pekerjaan berdasarkan etnis atau keturunan, menerbitkan kebencian massal. Sebenarnya, aku sedikit heran mendengar ucapan mereka. Penghidupan orang Arab dan orang Cina jauh lebih baik kerena dua etnis itu terkenal dengan keahlian berdagang. Mereka cukup makmur tanpa mengemis jabatan dari pemerintah Hindia Belanda.

"Ya, kudengar mereka adalah saudara tua bangsa Asia. Nippon akan membuat Asia jaya, kaya raya!" Arab itu membalas si Cina.

Aku masih berdiri dalam diam, menggenggam tas belanja, menunggu percakapan di antara mereka bergulir.

"Kudengar Nippon sudah mengalahkan Nederland di Tarakan. Kau sudah dengar?" Si Cina menyipitkan matanya yang sesempit lubang kancing pada si Arab. Nampaknya mereka tak menyadari aku menguping tanpa suara di antara kerumunan padat manusia.

Si Arab mengangguk senang. "Ya, kudengar dari adikku yang baru tiba hari ini dari sana." Ia terkekeh lalu melanjutkan, "Allahuakbar! Biar Nippon segera tiba di Jawa untuk mengusir Nederland. Semoga Allah memberikan kemenangan bagi Nippon."

Kata-kata mereka bergaung di telingaku. Nippon adalah saudara tua bangsa Asia serta akan membuat Asia kaya raya. Jawa termasuk Asia, bukan? Nantinya tak ada lagi kuli kurus kering memanggul karung goni. Semua akan makan beras yang putih wangi. Tak ada lagi anak tanpa baju berjalan kedinginan. Semuanya akan punya kain sutra dan naik kuda. Secercah kesenangan terbit dalam sanubari. Namun jika Nippon menang, apa yang akan terjadi dengan Nederland? Dengan londoku? Aku tak lagi mendengarkan Cina dan Arab bertukar cerita karena teringat pisang yang mesti kubeli.

***

BUDAK NAFSU PENJAJAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang