Hello Readers,
Tinggalkan vote, komen, dan share ke mana-mana biar aku semangat re-update kisah Meneer dan Sumarah.
💋 Bella 💋
🇮🇩🇳🇱🇯🇵🇮🇩🇳🇱🇯🇵🇲🇨🇳🇱🇯🇵🇲🇨
"Kau adalah wanita pembawa sial," begitu kata Bapak.
Mungkin Bapak benar, sebab setelah melahirkanku, Simbok tak pernah melahirkan anak lagi. Bapak terpaksa meredam keinginan punya anak laki-laki yang bisa diajak serta menggarap sawah. Anak laki-laki yang bisa bekerja sebagai pembantu londo di kantor pemerintahan atau kuli di pabrik gula. Bukan anak perempuan menyusahkan sepertiku.
"Aku mau kawin lagi," kata Bapak sebelum Simbok sakit keras dan akhirnya meninggal.
Kami tahu sebagai buruh penggarap sawah miskin yang bahkan tak punya sejengkal pun sawah, nyaris tak punya kemungkinan punya dua istri. Ucapan Bapak hanya untuk melampiaskan rasa jengkel karena Simbok tak kunjung hamil. Bapak iri pada tetangga kami yang anak laki-lakinya jadi pegawai di pabrik tebu.
Simbok pun sadar itu. Bukan urusan Bapak mau kawin lagi yang meresahkan hatinya, melainkan ketidak mampuannya melahirkan anak laki-laki. Simbok merasa gabug, seperti padi tak berisi. Mandul.
Simbok akhirnya meninggal. Tentu capku sebagai si pembawa sial semakin sering Bapak ungkit. Bagi Bapak, satu-satunya anak perempuan menunjukkan bakti adalah dengan ikut laki-laki berada. Kalaupun bukan sebagai istri sah, sebagai gundik pun jadi. Setidaknya Johann memberikan harga yang dianggap Bapak pantas.
Mungkin Tuhan tak memberiku anugerah untuk membuat bahagia orang-orang di sekelilingku. Biarpun hampir setiap malam bercinta dengan laki-laki, tetap saja benih itu tak pernah berkembang di rahimku.
Benarkah aku mandul? Bagaimana kalau Johann tahu aku mandul?
Oh Tuhan, jangan sampai. Aku ingin ia menikahiku agar anak-anakku berstatus indo, bisa bersekolah bersama para londo, mendapatkan pekerjaan bagus."Sum," Johann masuk ke dapur sore itu ketika aku sedang menyiapkan makan malam seraya memikirkan banyak hal, "kita akan kedatangan tamu malam ini." Seperti biasa, ia mengecup pipiku. Bibirnya turun ke daun telingaku, menggigitnya pelan. Aku mencengkeram meja dapur.
Tak cukup sekadar kecupan, sekarang Johann melingkarkan lengan di pinggangku. Aroma cengkeh dari napasnya sangat menyamankan.
Johann sering mengundang kawan-kawannya makan siang atau malam ke rumah."Tidak, aku tak akan menyiksamu seperti semalam." Johann terkekeh, melepaskan diriku. "Meski kau harus bersiap. Mulai sekarang aku akan semakin sering menyiksamu agar kau segera hamil."
"Si-siapa yang datang, Meneer?" tanyaku terbata.
"Theo," kata Johann. "Ia lelah karena pasiennya terlalu banyak. Hari ini mau tutup dulu." Johann terkekeh. "Ternyata uang tidak hanya membuat puas, tetapi usaha mendapatkannya membuat kelelahan."
Dokter Theodorus Peters, sahabat Johann, selalu ada ketika aku maupun Johann sakit. Usianya belum genap 30 tahun. Ia juga londo yang baik, rajin ke gereja berkubah gendut, dan tak memelihara gundik karena telah beristri. Kata Johann, agamanya melarang hidup tanpa ikatan pernikahan dengan wanita. Dokter Peters mengamalkan ajaran gereja. Aku senang pria seperti Dokter Peters datang kemari. Orang tuanya dan orang tua Johann berasal dari kota bernama Maastricht. Karena sama-sama dari sana, mereka mudah akrab.
"Memasklah yang lezat, jangan membuatku malu."
"Injih, Meneer."
Johann melepaskan pelukannya, lantas mengecup bibirku sebelum pergi. Kenapa ia tak menyuruhku melayaninya di meja dapur saja? Tiba-tiba ia berbalik. Apakah Johann mendengar kata hatiku?
"Apa kita punya kelapa? Theo suka klappertaart. Bikinkan untuknya, berikan banyak kismis dan kenari. Tambahkan rhum."
Agaknya kedatangan Dokter Peters penting bagi Johann sehingga londoku menjamunya habis-habisan.
"Sa-saya perlu membeli sebentar," jawabku lagi-lagi terbata. Ketika aku bergegas hendak keluar mengambil sepeda, Johann menangkap pergelangan tanganku.
"Tunggu," kata Johann, "Berdandanlah yang cantik."
***
Ada apa tuh, kenapa suruh dandan yang cantik?
KAMU SEDANG MEMBACA
BUDAK NAFSU PENJAJAH
Narrativa StoricaMengambil latar PERANG DUNIA II Sumarah, seorang perempuan yang menjadi gundik saudagar Belanda. Hidup mereka berkecukupan dan penuh cinta. Namun kebahagiaan tak berlangsung lama. Setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, Sumarah ditangka...