BAB 1 - Kabur dari Rumah dan, Sialan, Aku Bertemu Molly

269 6 0
                                    

Ibu menamaiku Davina, dan Ayah memanggilku pelacur.

Waktu itu aku 22 tahun, dan belum menyelesaikan kuliahku, dan telah sukses mencetak aib besar bagi diri sendiri serta keluargaku. Ayah mencambuk paha kananku enam kali sampai memar tercetak di sana, dan sekali lagi ia meneriakkan pelacur, sampai butir-butir ludahnya terpental ke wajahku. Dari balik pintu kamarnya, terdengar Ibu menangis, dan aku belum pernah mendengar ia menangis; tangisan Ibu jauh lebih menyakitkan ketimbang cambukan Ayah. Aku menyesal telah membocorkan hasil test pack-ku pada mereka.

Sungguh bajingan siapa pun orang bijak yang berkata kejujuran-pahit lebih baik ketimbang kebohongan-manis. (Tentu saja yang lebih bijak dari kejujuran-pahit adalah menyemil nanas muda secara rutin.) Gara-gara bajingan bijak itu, berjam-jam kemudian, setelah mencari informasi soal rumah indekos yang murah di Google, aku kabur dari rumahku.

Pelarian itulah yang membuatku bertemu Molly—atau entah siapa nama asli lelaki aneh tersebut—dan aku bertemu dengannya tidak di waktu yang etis untuk jatuh cinta atau sekadar suka.

***

Aku tiba di depan rumah indekos itu pukul setengah dua belas malam. Ongkos taksi membuatku ingin menjerit; tapi hanya orang bodoh yang kabur tak jauh dari rumahnya sendiri. Berat ransel nyaris membengkokkan pundak saat aku turun dari jok belakang, dan berat koper nyaris mematahkan jari-jariku saat kuangkat dari bagasi. Rumah indekos dua tingkat itu berdiri di tepi jalan raya dan, dari luar, dalam paparan cahaya lampu-lampu jalan yang pucat, memberiku impresi serupa pria tua misterius yang gemuk dan senang menyambut siapa pun.

Pak Thomas, pemilik indekos yang pipinya serupa balon berisi penuh air, mengantarku ke koridor di lantai dua. Lampu koridor tak menyala, sebab memang tak butuh dinyalakan: cahaya dari lantai satu menyeruak lewat tangga, dan cahaya lampu-lampu jalan menyusup lewat tiga jendela-tanpa-gorden yang menghadap ke jalan. Pintu kamarku terletak tepat berseberangan dengan salah satu jendela tersebut, dan tepat bersebelahan dengan pintu kamar terujung.

Pada daun pintu kamar terujung, tertempel stiker seorang bayi perempuan yang terbang karena menggenggam enam balon gas merah, dan Pak Thomas berbisik, "Jika kau merasa terganggu oleh penyewa kamar itu, lapor saja padaku." Dari tatapannya, ia tampak memohon permakluman sekaligus menahan rasa muak. "Dua laporan serupa sudah kudengar, dan tiga laporan membuatku sanggup menendang bokong siapa pun keluar dari indekos ini."

Aku hanya mengangguk. Jika ini sudah pagi atau masih sore, mungkin aku akan bertanya lebih jauh soal penghuni kamar yang ia maksud. Tetapi orang mengantuk hanya berharap untuk tidur segera.

Aku baru saja mengancingi piyama ketika dari kamar sebelah, kamar paling ujung maksudku, terdengar musik yang familiar. Belakangan aku tahu: itu adalah komposisi Mozart berjudul Queen of the Night. Awalnya musik itu hanya terdengar samar, tetapi sebentar kemudian volumenya menanjak, amat-sangat tajam, dan tak diragukan lagi penghuni kamar terujung adalah seorang bajingan. Muncul godaan kuat untuk meninju dinding partisi yang memisahkan kamar kami. Tetapi kantukku jauh lebih kuat, sehingga kuputuskan untuk berbaring saja dan mulai memejam, seraya membiasakan diri dengan aroma khas kamar yang lama tak dihuni—barangkali lebih dari dua bulan.

Kemudian terdengar langkah cepat seseorang di koridor, menuju pintu kamar terujung, dan seseorang itu memekik, "Kau mau lehermu patah?!"

Aku refleks membuka mata dan terduduk.

Queen of the Night berhenti.

"Selamat tidur, Pak Thomas!" sahut penghuni kamar terujung, dengan nada mencemooh yang kekanak-kanakan. Persis cara bicara seorang bocah yang merebut bola dari bocah lainnya, lantas berkata, "Ayo, rebut kalau bisa!" Dan, itu jelas suara seorang lelaki—lelaki kekanak-kanakan.

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang