BAB 22 - Dua Puluh Empat Jam Terakhir Bersama Molly, 2

20 2 0
                                    

Entahlah ... aku bingung. Itu bukan jenis cerita yang kuharap kudengar. Seorang anak tergeletak di lantai, mulutnya berbusa, beberapa gram kokain terserak di lantai. Aku ingin muntah.

"Molly—maksudku Franz—ia pasti tak sengaja ...." aku refleks membalas. Suaraku parau.

Si Sweter Kuning mengisap rokoknya dalam-dalam, dan embusannya ke langit-langit membuat kamar seolah penuh kabut beracun, kabut yang mengiris bagian dalam tenggorokanku. Melewati kabut, kutatap mata lelaki itu lekat-lekat: kuharap ada semacam petunjuk bahwa ia bercanda secara tolol, atau sekadar ingin membuatku takut pada Molly: tapi tatapannya serius. Terlalu serius. Matanya semerah akuarium transparan penampung darah. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam lagi, dan kali ini ia mengembuskan asap ke arah pintu balkon yang terbuka—tapi angin mendorong asap kembali ke kamar.

"Tentu istrinya tahu bahwa Molly tidak sengaja ...." kataku lagi.

"Istrinya sudah meninggal saat itu terjadi. Tapi, kalau kautanya pada Franz ke mana istrinya pergi, ia akan bilang istrinya pergi ke pulau asing yang jauh, dan menjadi ratu kanibal di sana. Hah! Ayah yang luar biasa."

"Ratu kanibal ...?"

"Ratu kanibal. Lebih mudah menganggap istrimu menjadi ratu kanibal ketimbang bunuh diri di laut." Ia tertawa. Tapi tampak ia sedang tak ingin tertawa.

***

Si Sweter Kuning pergi. Sebelum menutup pintu, ia berkata, "Kembalilah pada ayahmu. Jelas ia lebih aman ketimbang Franz—maksudku Molly."

Kembalilah pada ayahmu: entah itu sebentuk kalimat sindiran nonharfiah—semacam lelaki yang menang dalam pertengkaran dan berteriak pada lawannya, "Pulanglah ke mamamu!"—atau itu sebentuk kalimat harfiah: ia sudah tahu tentang hubunganku dengan Ayah.

Oh, mungkin itu memang kalimat harfiah, tapi ia tak tahu apa pun tentang ayahku. Setiap perempuan yang hamil di luar pernikahan, di negara macam begini, akan bermasalah dengan ayahnya—bukankah begitu? Ia bisa menebak dengan mudah karena semua perempuan sepertiku seperti begitu.

Tentu saja.

Tidak mungkin si Sweter Kuning, demi mencari Molly, menyelidiki aku melalui Pak Thomas dan siapa pun yang ada di indekosnya—termasuk Ayah. Tidak mungkin.

***

Di lantai terbawah dan teratas hotel ini terdapat kafe yang tampak menarik—setidaknya demikian foto yang terpampang di Google; kafe dengan desain yang membuat fotomu selalu menawan, seburuk apa pun kemampuanmu memotret—tapi aku tak mendatangi satu pun ketika lapar: aku lebih memilih berbaring dan memejamkan mata dan berharap dapat tidur secepat-cepatnya. Aku tak ingin keluar dari kamar ini tanpa Molly; semua terasa begitu mengancam di sini. Aku membayangkan, jika aku mendatangi salah satu kafe, setiap pengunjung akan menancapkan tatapan padaku, seolah aku makanan dari ruang angkasa.

Aku tak yakin diriku akan tertidur. Semakin aku memaksa mataku untuk tak membuka, semakin kantuk pergi menjauh dan lupa pada jalan pulangnya. Sialnya, kantuk adalah satu-satunya sosok yang dapat melindungiku di tempat ini, dan kini tanpa perlindungan apa pun orang-orang asing berdiri melingkariku, mencondongkan tubuh untuk memerhatikanku sedekat-dekatnya—dan napas mereka berbau keju busuk.

Dan jangan tanya padaku bagaimana ceritanya sampai kemudian aku benar-benar tertidur.

Aku terbangun saat seseorang menggedor-gedor pintu sembari memekik, "Davina! Davina!" Dunia sudah hitam. Mata-mata bercahaya mengintip menembus gorden: lampu gedung-gedung di luar sana. Tubuhku penuh jejarum es sebab lupa memakai selimut. Dan kata itu kembali terdengar, lebih tajam dan membuatku terduduk: "Davina! Davina!" Aku melangkah tergesa menuju pintu, lantai serupa selimut putih lebar yang dikibas-kibaskan, dan untuk pertama kalinya, di balik pintu, aku melihat Molly pucat dan menangis.

Molly melewatiku tanpa berkata apa pun. Ia melempar wajah dan dada dan perutnya ke kasur, tubuhnya memotong kasur secara horizontal, ujung kakinya menggantung di tepi kasur. Sol sepatunya penuh lumpur setengah kering; ia seperti baru pulang dari dalam tanah kuburnya. Ia seperti mayat hidup yang lupa caranya mati.

"Hei ...." kataku.

Molly tak berkata apa pun.

Aku mengunci pintu, menyalakan lampu, dan duduk di tepi kasur. Pundak dan belakang leher Molly gemetar. Sejenak aku menatap mata-mata bercahaya di balik gorden, lalu jam dinding, lalu kembali pada lelaki itu: ia telah menghilang hampir sembilan jam dariku, dan kembali sebagai karakter yang tak kukenal.

Ragu-ragu, aku menyentuh punggungnya.

"Dingin ...." Suaranya terbenam ke kasur bersama wajahnya.

Bajunya yang lembap tak dapat menyembunyikan punggungnya yang hangat. Tidak. Punggungnya terbakar—tanganku hanya merasakan hangat karena terhalang bajunya.

"Kau mau mati?" tanyaku, berharap bisa sedikit lucu. Dan aku sedang tak berbakat untuk melucu—jadi kusambung cepat dengan, "Maaf ...."

Samar-samar dari kamar sebelah atau sebelah kamar sebelah, orang-orang serempak berkata, "Bersulang!" dan gelas-gelas atau bebotol kaca beradu. Dari kamar yang lain dan sama samarnya, terdengar ranjang berderit-derit dan punggung ranjang beradu bertubi dengan dinding. Udara memadat dan memberati ubun-ubun dan kedua pundakku. Aku merebahkan diri sejajar di samping Molly, ujung kakiku menggantung di tepi kasur. Dengan posisi begini, suara tangis Molly yang berusaha ia sembunyikan gagal sembunyi dariku—dahi dan pipiku memanas.

Rasanya terlalu canggung untuk aku kembali duduk.

"Boleh kusentuh perutmu?" akhirnya ia bicara. Kalimatnya terputus-putus oleh sedu sedannya; kalimatnya teredam sebab wajahnya masih tenggelam di kasur.

"Hmm ... boleh ...."

Dan ia mengangkat tubuhnya seperti push-up—tahu-tahu ia membenamkan wajah ke perutku.

Kupikir Molly hanya akan meletakkan telapak tangannya di perutku. Semestinya itu arti dari kalimat, "Boleh kusentuh perutmu?" dan semestinya itu bukan kalimat multiinterpretatif—atau apalah sebutan yang tepat. Seharusnya ia menyentuh perutku dengan tangannya dan bukan dengan wajahnya. Perutku tak siap menjadi bantal: rasanya geli sebab ia masih tersedu sedan; hangat sebab air matanya merembesi bajuku. Entah bagaimana reaksi janin dalam rahimku.

Aku mengelus belakang kepalanya, seolah itu perutku yang sudah membesar. Rambutnya penuh keringat dan butir-butir pasir terjebak di sana; kini butir-butir pasir berpindah ke sela jemariku. Jendela gemetar dan bunyinya seperti kaca akan memecahkan dirinya. Angin seperti ratusan hantu yang berbisik secara bersamaan. Pintu balkon meronta-ronta, seakan sesosok asing mendarat di sana dan memaksa masuk ke kamar ini. Dan napas Molly memelan.

Malam itu pun kami bercinta ....

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang