BAB 3 - Waktu yang Sangat Tepat untuk Aborsi

58 2 0
                                    

*Catatan Penulis:


Hai, selamat datang di bab 3, dan semoga kita bertemu di bab-bab selanjutnya ya. Selamat membaca, dan jangan lupa VOTE serta FOLLOW, lalu tambahkan novel ini ke DAFTAR BACAAN kamu ya~


Tangan Molly dingin ketika ia menggenggam kedua tanganku. Sensasi dingin menjalar dari tangan menuju wajahku dan berubah menjadi panas. Sensasi panas, ketika pandangannya mencengkeram pandanganku, ketika jari-jemarinya bergerak acak menggelitik telapak tanganku, menjalar dari wajah ke seluruh tubuhku dan menjadi sengatan listrik. Aku seperti mesin korslet yang bersiap meledak!

"Selamat makan," Molly berkata, aroma sup ikan dari mulutnya menjilat lubang hidungku.

Aku baru sadar: telapakku tergelitik karena ia meletakkan kresek transparan berisi sebungkus makanan dan buku di tanganku. Bukan untuk maksud lainnya sama sekali.

Dan ia benar-benar hanya bilang, "Selamat makan." Setelah itu ia melepas tanganku, ia kembali ke kamar, dan aku masih mematung dengan tolol ketika terdengar Queen of The Night sayup-sayup mengalun dari kamarnya.

Kejadian singkat itu membuatku membenci diri sendiri: Tidak bisakah aku tak tertarik pada lelaki tampan mana pun? Tidak bisakah aku tak teralihkan dari tujuan utamaku pindah ke sini? Tidak bisakah aku merasa kapok setelah seorang lelaki tampan meninggalkanku dengan lendirnya yang jorok dalam rahimku?

Tidak bisakah aku hidup tanpa bayang-bayang lelaki?

Setan alas, seharusnya pikiranku tak meromantisasi Molly yang memegang tanganku seenaknya, seperti para perempuan yang sok tahu tentang cinta di novel-novel picisan. Seharusnya itu termasuk pelecehan dan aku berhak menendang selangkangannya dengan lututku.

Aku harus segera membuat Molly terusir dari sini—karena jelas ia pelaku pelecehan. Tapi semisal Pak Thomas menganggap pemegangan-tangan-tanpa-persetujuan hanya hal biasa, maka aku akan terus mendekati Molly, menunggu ia melakukan hal-hal yang ganjil—yang seharusnya sama sekali tak sulit—yang cukup kuat sebagai tindakan-menganggu untuk kulaporkan pada Pak Thomas.

Aku menutup pintu kamar dan melempar diri ke kasur. Aku diam dan memejam selama kira-kira semenit, sebelum duduk dan memerhatikan kedua benda yang masih berada pada tanganku: sebungkus makanan dan sebuah buku. Buku itu berjudul Pippi Longstocking dari Astrid Lindgren. Aku membuka halaman demi halamannya secara cepat, dan melempar buku itu ke meja di samping kasur. Lalu aku membuka bungkus makanan darinya: nasi dan tempe orek dan telur goreng yang sudah setengah tergigit. Sialan, ini sisa makananku di warung.

Tapi mendadak laparku kembali ....

***

Aku baru kembali ke kamarku, setelah mencuci tangan di wastafel di dekat tangga, ketika kudengar ponselku berdering. Vianna menelepon. Dan sesaat sebelum menjawab panggilannya, aku mengingatkan diri sendiri: Jangan mudah termakan, jangan mudah termakan omongannya! Begitu panggilan kujawab, tak ada sapaan apa pun, alih-alih aku hanya mendengar suara latar tempat Vianna berada—perpaduan percakapan banyak orang dan musik pop Korea. Kuduga ia menungguku bicara duluan; biasanya Vianna takut membuka percakapan dengan seseorang yang ia merasa bersalah padanya.

"Kau merasa bersalah, eh?" bukaku, dengan semangat untuk menjotos rahangnya.

"Davina!" sahut Vianna.

"Aku akan memblokirmu kalau kau menyuruhku pulang. Lebih-lebih kalau kau menyuruhku memaafkan Adam lagi."

"Davina ...." Ia terdengar menahan tangis.

"Aku tidak akan pulang dalam waktu dekat. Atau entahlah."

"Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja ...."

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang