BAB 20 - Kamar 2024

25 2 0
                                    

Tapi tak ada bayi di ranjang bayi itu. Untung tak ada bayi di ranjang bayi itu, atau aku akan menjerit: setan macam apa yang menitipkan bayi di ruangan sebusuk ini?

"Kau berharap melihat bayi?" tanya Molly, menyeka debu di permukaan pagar ranjang tersebut dengan telapak tangan, lantas mengelapkan telapak tangan ke paha.

"Aku berharap tak perlu berada di kamar sebau ini."

"Setidaknya tak ada ayahmu di kamar sebelah."

"Terima kasih."

Molly membuka gorden hijau dan cahaya matahari hampir mencongkel mataku. Debu beterbangan dari gorden, seperti pasukan hantu berbondong kabur dari pemakaman untuk menggelitik lubang hidungku. Molly melempar bambunya ke kasur saat aku baru akan duduk di sana, dan ia menutup-mengunci pintu sebelum membuka laci—dengan bunyi setajam mata garpu menggesek besi berkarat—dan mengeluarkan sebilah pisau. Sesaat kupikir ia akan menikam leherku. Ia mendekati kasur dan kamar seperti ini, dengan seorang perempuan berdua saja dengan lelaki asing, terasa seperti ruang jagal yang paling dingin.

Molly tak membunuhku, tentu saja—ia tak akan bisa—ia memberdirikan bambunya di lantai dan, dalam satu tebasan khas penjagal senior, ia membelah ujung bambu menjadi dua. Lalu ia terus menggesek-gesekkan pisaunya, kupingku seperti akan berdarah, dan bambu terbelah sempurna menjadi dua; serbuk bambu bergabung bersama putaran debu di udara, dan aku bersin sampai cairan terciprat ke seprai.

"Ternyata kau bisa rapi dalam satu hal," ucapku.

Molly hanya terkekeh seperti bocah.

Pintu diketuk, dan seseorang berkata, "Room service!" dan seseorang yang lain berkata, "Housekeeping!" Molly membuka pintu dan dua pelayan membungkuk padanya. Molly menyingkir dari pintu dan kedua pelayan itu masuk: seseorang menyeret penyedot debu, dan yang lain mendorong keranjang berisi dua nampan lebar, dengan tutup berbentuk separuh-bola menyembunyikan makanan di dalamnya, dan dua gelas jus jeruk di sampingnya. Mereka kompak menuju pintu balkon; si Penyeret Penyedot Debu membersihkan meja dan kursi di sana tergesa-gesa, lalu si Pembawa Nampan meletakkan kedua nampan di meja.

Saat mereka keluar dari balkon, pembawa nampan itu memberi isyarat bahwa makanan telah siap. Molly tampak tak tertarik pada makanan apa pun, ia sibuk membelah bambunya; jadi aku ke balkon sendiri, tiupan angin membekukan kupingku, ketinggian membuatku ingin melompat, sementara kedua pelayan mulai membersihkan kamar, sesekali mereka menatap benci Molly yang mengotori ruangan dengan potongan-potongan bambunya.

Aku membuka penutup kedua nampan: dua piring kepiting dengan cangkang merah berkilau, dengan cangkang berisi gumpalan-gumpalan tepung kering kecokelatan, plus dua piring kentang dengan potongan seukuran dadu, dengan permukaan berminyak dan ditabur potongan daun-entah-apa. Sepertinya ini agak terlalu mahal untuk makanan-selamat-datang: bodoh amat—aku menggak jus jeruk dan menyuap sepotong kentang dengan garpu dan melepas cangkang atas kepiting semudah mengangkat topi: telur-telur kepiting mengering dalam tepung yang renyah. Mestinya aku belum lapar jam segini; mesti janin itu yang seperti serigala kelaparan; mesti janin itu sedang mengutuk bentuk tubuhku agar melebar. Sial, sejak kapan aku terlalu peduli pada bentuk tubuhku?

"Kau belum lapar?" kataku pada Molly.

Molly melepas seprai ketika sang pelayan sedang membersihkannya dengan penyedot debu; seprai hampir tertelan alat tersebut dan Molly menariknya sekuat tenaga hingga terlepas. "Kau boleh makan semuanya," jawabnya, tanpa menoleh padaku, seraya merobek seprai menjadi beberapa bagian dengan pisaunya.

***

Dan aku benar-benar menghabiskan dua piring kepiting plus dua piring kentang. Aku benar-benar menghabiskan semua karena lapar tak pergi dariku sehabis piring pertama. Janin itu benar-benar mengutuk bentuk tubuhku.

Molly telah menyelesaikan dua layangan dan sisa potongan seprai terbujur di lantai sudut. Kedua pelayan telah memasang seprai baru, dan si Penyeret Penyedot Debu berkata, "Sila berkabar jika butuh seprai baru, Tuan," dengan senyum penuh hasrat meninju, sebelum mereka berdua pergi dari kamar ini. Aku yang kekenyangan menumbangkan diri di seprai tersebut: satu-satunya benda di sini yang beraroma sedap: deterjen-yang-aku-lupa-merknya dengan kemasan ungu. Molly keluar ke balkon dan melempar kedua layangan ke udara; benang langsung menegang, kedua layangan seperti hendak kabur dari lelaki itu.

Ia menoleh padaku. "Ayo kita terbang!"

Setan alas, aku mengantuk. Dan kami tak menerbangkan layangan di balkon. Setelah mengangguk—dan aku menyesal setelah mengangguk—Molly menarik lenganku keluar kamar menuju elevator. Dan bukannya ke tingkat teratas, alih-alih Molly menekan tombol menuju lobi. Kami pun keluar dari Hotel Paramonia—dan aku tak tahu ke mana setan ini akan menyeretku.

***

Dari balkon Hotel Paramonia, ketika makan, sekilas aku memerhatikan sebuah gedung terlantar, tampak mencolok di antara gedung perusahaan-perusahaan ternama serta papan-papan iklan. Gedung itu masih berwarna abu-abu semen, beberapa tingkat teratasnya belum berdinding, persis manusia dengan tulang tanpa kulit dan daging, dan menuju gedung itulah aku diseret. Satpam pada pos di halaman gedung tak peduli pada kami yang lewat: ia hanya membuka mata sejenak saat suara langkah kami mendekat, lalu kembali memejam dan meletakkan kepala di meja, di samping secangkir kopinya yang masih utuh dan beruap.

Aroma lantai pertama gedung tak jauh berbeda dengan kamar kami di Hotel Paramonia, aroma khas ruangan yang lama tak dikunjungi siapa pun selama bertahun-tahun. Leher-leher cahaya terjulur dari lubang-lubang udara, jatuh ke dinding semen dengan kata-kata makian dari cat beraneka warna. (Yang paling menarik perhatianku adalah tulisan nama alat kelamin lelaki, yang dicetak dengan cat emas dan perak dan hitam, dengan gaya tulisan yang seolah menyiratkan itu adalah nama toko perhiasan mewah.)

Molly menarikku menaiki tangga tanpa pembatas, tangga penuh belokan sembilan puluh derajat, seperti leher jerapah super panjang yang patah di sejumlah bagian. Langkah-langkah kami pada permukaan abu semen menggema keras, seakan galon-galon kosong berjatuhan dari langit. Tiba di lantai sekian, aku meminta berhenti. Kedalaman yang gelap di bawah liukan tangga membuatku mual, dan belum dua detik kududuki anak tangga Molly langsung menggendongku pada punggungnya. Ia pun berlari lebih kencang menaiki tangga, dan bunyi gema seperti menandakan tangga akan rontok sewaktu-waktu—aku jadi ingin muntah tepat pada rambutnya.

"Kau harus menggendongku juga saat turun nanti!"

"Aku akan menggendongmu sampai kita tiba di hotel!"

Dan sampailah kami di atap gedung: cahaya panas dan angin dingin menghajar kami. Molly mendaratkan bokongku ke permukaan semen yang panas, selangkanganku seketika matang dan berdebu. Ia menyerahkan satu layangan beserta benangnya padaku, sebelum ia berlari kencang dan menerbangkan layangannya sendiri. Dengan cepat layangan itu terbang stabil dan mandiri, benangnya mendenging, dan ia menambatkannya ke batang besi berkarat yang mencuat dari sudut atap gedung.

"Ayo terbang, Davina!" Molly berseru.

Aku tak suka layangan. Aku memaksakan diri untuk mengangguk seantusias mungkin. Aku harus ingat: ini bukan misi untuk bersenang-senang; aku harus "mendekatkan" diri padanya untuk dua tujuan:

1) Agar ia mengembalikan obat aborsiku;

2) Kalaupun obat itu tak mungkin kembali—misalkan ia hilangkan secara tolol—aku tetap butuh bantuan orang lain untuk menggugurkan janin itu.

Aku berlari mundur dan layanganku berputar-putar kesetanan di udara dan aku terhenti sebab menabrak tong minyak kosong hingga terjatuh. Seketika layanganku berbalik dan menghantamkan kepala ke permukaan atap gedung seperti orang yang bunuh diri.

"Itu tindakan kriminal di planet X-42—membunuh seorang pilot."

Aku berdiri. "Seorang tolol meletakkan tong minyak sembarangan di belakangku."

"Pffft!!!" Molly menahan tawa. Angin membuat poninya menabrak wajah dan menggesek-gesekkan diri ke sana.

Ia menendang tong minyak itu hingga menggelinding melewati tepian atap. Entah siapa orang yang akan terbunuh di bawah sana. Tiba-tiba, ia melingkarkan tangannya dari belakang tubuhku, menggenggam kedua tanganku, kemudian berbisik: "Kuajari kau terbang," dan aku mendadak ingin melempar diriku.

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang