BAB 7 - Aku Hampir Pulang ... dan Dibantai

29 3 0
                                    

Vianna mengikuti kelas Jijutsu sejak sekitar dua bulan lalu, seperti yang sempat kubilang. Saat ia memberitahuku hal itu, aku tak yakin ia akan benar-benar serius mempelajarinya. Paling lama ia bertahan dua bulan di kelas itu, dan keluar dengan kemampuan bertengkar setara gadis enam tahun yang selalu kalah adu jambak melawan siapa pun. Namun, kini aku tahu: aku salah besar meremehkannya.

Ibu keluar dari jok depan mobil, rambutnya umpama buntalan yang habis diamuk seekor kucing, kaus kuningnya segera terguyur hujan, tampak seperti tahi yang basah, dan dalam pelukan Vianna aku mengumpat. Vianna refleks menoleh ke arah tatapanku, dan ia terbelalak: sepertinya Ibu keluar di waktu yang tak sesuai perencanaan mereka. Aku pun memberontak dalam pelukan Vianna, dan tiba-tiba satu kakinya sudah menghancurkan keseimbangan kedua kakiku. Belakang kepalaku menjotos lantai. Wajah Vianna yang menunduk di atasku tampak terpecah. Dan tak cukup sampai belakang kepalaku yang menjotos lantai, Vianna langsung membalik tubuhku dan mengunci tangan kananku di punggung, lututnya menahan tulang ekorku—krak!—persis yang ingin kulakukan kepada Adam!

Ibu memekikkan namaku, langkah-langkahnya bertambah cepat mendekatiku. Ketika sepasang kakinya yang berpergelangan berurat-bertonjolan itu tiba di depan wajahku, aku memalingkan wajah ke arah lain—lebih-lebih sandal jepitnya mengeluarkan aroma lembap yang mencekikku.

Vianna memuntir tanganku semakin dalam dan aku meringis. "Aku akan melepaskanmu kalau kau tak kabur," ucapnya, sesenggukan.

"Sakit, Tolol!"

"Karena itu kau jangan kabur!"

"Maksudnya perutku! Lututmu meremukkan janinku!"

Ibu seketika histeris dan Vianna mengangkat lututnya. Kunciannya pada tangan kananku melonggar. Aku pun mencoba bangun dengan sanggaan tangan kiriku, perlahan-lahan. Vianna melepaskan tangan kananku, dan aku berdiri sedikit lebih cepat dengan bantuan tangan kanan yang lemas dan gemetar. Wajah Ibu dan Vianna seperti buku yang tercebur ke comberan. Beberapa pelanggan warung telah merekam kami dengan ponsel. Pemandangan itu membuatku sedih bercampur malu; aku ingin merebut ponsel mereka dan membantingnya dan menginjak-injaknya.

Lalu pintu pengemudi mobil di luar terbuka: Ayah. Ia keluar dengan tatapan mengutuknya yang khas. Seolah-olah ia sudah menyiagakan sabuk kulitnya dan bersiap mencambukku di warung ini, menjadikanku tontonan setiap orang di sini.

"Kau tak akan kabur, bukan?" tanya Vianna dengan muka tololnya.

Aku meringis, memegang pinggang dan perutku. "Kau pikir aku bisa kabur dengan janin remuk begini?"

Tangisan Ibu ternyata masih bisa lebih nyaring lagi. Ia memelukku, air matanya merembes ke bahuku.

Ayah memasuki warung. Aku membayangkan adegan sebuah film laga, di mana si Protagonis terbangun dan mendapati dirinya terikat di sebuah gudang, sendirian. Lantas pintu gudang terbuka, si Antagonis tampak siluet di ambang pintu, sebelum mendekat dengan langkah-langkah yang tenang—mata pisau di genggamannya tampak baru diasah. Dan Ayah berhenti di depanku, pandangan kami saling beradu. Ia jelas ingin mengucapkan sesuatu, tetapi tak ada apa pun yang meluncur dari sela bibir pucatnya. Di situasi begini ia masih saja serupa mayat hidup yang hatinya tertinggal di bawah tanah makam.

Decit kipas angin semakin mengiris gendang telingaku. Bunyi semburan api dan letupan minyak panas terdengar dari dapur. Selain itu tak ada suara apa pun. Seisi warung seakan menahan napas menatap aku dan Ayah. Ayah mengalihkan tatapan ke koper dan tasku; ia mengambil keduanya dan melangkah kembali ke mobil. Hujan tinggal rintik-rintik. Di suatu jarak terdengar pertengkaran sepasang kucing, saat Ayah memasukkan koper dan tasku ke bagasi mobil, dan menutup bagasi dengan kekuatan yang lebih dari cukup untuk meremukkan kepala seseorang. Dan, ia kembali ke balik kemudi.

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang