BAB 25 - Ada yang Pergi, Selain Janinku

28 2 0
                                    

Ini bukan rumah si Musang, pikirku begitu siuman.

Tidak, mungkin bukan benar-benar itu yang kupikirkan begitu siuman. Sial, semua masih berlanjut—mungkin itu yang aku pikirkan, atau: Setan alas, apa yang terjadi pada perut serta selangkanganku? Rasanya seolah sebatang besi panas terentang dari perut hingga bibir kemaluanku, permukaannya berduri, besi itu berputar kencang. Dan, sakit itu semakin mematikan begitu kusadari betul: ini bukan rumah si Musang.

Aroma melati dari pendingin ruangan bersuhu delapan belas derajat celcius, dan sorot cahaya matahari dari ventilasi yang memperlihatkan debu pada buku-buku di rak, dan koperku yang berdiri di samping meja belajar: ini kamarku. Kamar di rumahku. Si Musang mengirimku ke sini—entah bagaimana caranya—setan alas!

Ada siapa saja di luar kamarku? Ayahku. Ibuku. Mungkin juga Vianna. Mungkin juga Adam. Bahkan mungkin para tetangga yang penasaran melihat pulangnya seorang pelacur. Mungkin aku harus kembali tidur dan berharap terbangun di tempat lain. Mungkin aku harus kembali tidur dan berharap tidak terbangun lagi.

Jendela. Wajah Hello Kitty di gorden menyala berkat menahan terjangan cahaya matahari. Aku harus keluar dari sana. Aku cukup membelah wajah Hello Kitty pada gorden dan melompat keluar lewat jendela—mungkin aku akan dikepung para tetangga yang membenci pelacur; mungkin aku akan mati karena kamarku terletak di lantai dua dan kepalaku mendarat lebih dulu. Opsi kedua terdengar menarik.

Tapi aku tak bisa bangun, seakan sebilah pedang menembus perut sampai kasurku. Aku hanya bisa menjerit meminta pertolongan orang-orang, dan orang-orang akan memasuki kamar untuk membantuku menjadi gila.

Aku benci diriku.

Aku benci Ayah yang bersetubuh dengan Ibu dan melahirkan aku.

Aku menekan-nekan perutku di bawah pusar, dengan ujung jari tengah dan telunjuk: bagus, kini tidak sekeras semula—isi-isian ususku yang membantu telah terangkat. Bagaimanapun, pelacur adalah pelacur.

Dan suara Ibu memasuki kamarku. Samar dan jauh. Suara itu meremas jantungku. Ibu berbicara entah apa pada entah siapa—suaranya semakin lama semakin jelas, suara langkah-langkahnya mulai memasuki kamarku—langkah-langkah lebih dari seorang: sial, Ibu membawa tamu, dan mendekati kamarku—aku harus pura-pura tidur atau segera melompat dari jendela.

Terlambat: pintu dibuka. Pandanganku menabrak pandangan Ibu. Kantung matanya biru, lembap, tebal; aku bisa memasukkan seluruh novel serial Harry Potter ke sana. Kulit pipinya kini menggelambir persis jaket kulit jamuran di jemuran. Usia Ibu bertambah 30 tahun sejak kepergianku.

Di belakang Ibu, membawa bingkisan buah-buahan: kedua orang tua Adam.

Demi setan. Mau apa mereka berdua? Mau menikahiku dengan Adam? Mau memastikan janin itu benar-benar gugur sehingga mereka tak perlu menikahiku dengan Adam? Atau memelintir leherku sebab Adam mengaku akulah yang menggodanya untuk bersetubuh? Lebih baik kupelintir leherku sendiri!

Ibu membuka pintu lebih lebar, isyarat mempersilakan kedua orang tua Adam masuk terlebih dahulu. Tetapi mereka bertiga diam di tempat sesaat, saling menunggu siapa yang berhak masuk terlebih dahulu, dan saling bertukar tatapan. Ibu pun mengangguk, dan masuk sendiri, dan menutup pintu di depan kedua orang tua Adam, lalu mendekatiku dengan sikap seorang bawahan pada bos yang akan memecatnya hari ini juga. Ibu berhenti barang lima jengkal dari kasurku. Aku tak tahu harus menatap wajahnya atau membuang muka—untuk membuang muka pun aku tak tahu harus ke arah mana; wajah orang-orang asing menempel di sekujur kamarku.

Akhirnya aku menatap Hello Kitty di gorden. Sesaat wajahnya menggelap. Kemudian menjadi lebih terang dari sebelumnya seolah mendapat pencerahan hidup. Sepasang mata hitamnya hampir tenggelam dalam cahaya terlampau terang, begitupun garis hitam yang menjadi pembatas terluar tubuhnya: ia akan menghilang ke dalam surga.

Dan Ibu belum berbicara apa pun. Sudah semenit lebih. Dan aku belum juga sekali pun menatap wajahnya. Aku ingin berkata, "Cepat bicara!" Aku ingin membuatnya cepat keluar. Namun, yang keluar dari mulutku:

"Bu ... maaf ...."

Ibu menangis. Ia berlutut di samping kasur dan memelukku. Aku tak punya lagi alasan untuk menahan tangis.

***

Mungkin dua sampai tiga menit berlalu, dan kami belum selesai menangis. Kulit mataku perih, dan kuyakin kedua orang tua Adam masih berdiri di balik pintu. Aku tak ingin bertemu mereka, tapi aku pasti bertemu mereka hari ini. Maka aku harus bertemu mereka segera, agar segera mereka meninggalkanku; aku menepuk pundak Ibu tiga kali, lantas berkata, "Bu, mereka masih menunggu. Orang tua Adam."

Ibu melepas pelukannya. Ia menyeka air mata dengan lengannya, dan dengan suara khas dari kerongkongan kering penuh retakan, ia bertanya apakah aku bersedia menemui kedua tamuku. Mau tak mau aku mengangguk. Aku tak mau membuat situasi memburuk dengan menggeleng. Toh, kedua orang tua Adam membawa bingkisan buah-buahan; mestinya itu pertanda mereka datang bukan dengan maksud negatif—atau minimal bukan dengan maksud terlalu negatif.

Ibu membukakan pintu, dan kedua orang tua Adam, dengan senyum serta langkah canggung, mendekatiku. Kantung mata mereka tak kalah tebal ketimbang Ibu. Mesti semalam mereka begadang memukuli putra mereka yang menghamili anak orang. Hah. (Sekarang kutemukan bakat terpendamku: membuat kantung mata orang-orang menebal.) Aku mencoba bersandar pada punggung kasur, tapi seketika sesuatu pecah di dalam perutku dan aku memekik.

"Tidak apa, Davina—tetaplah berbaring," kata Ibu Adam cepat, seraya meletakkan bingkisan di meja belajar.

Mereka berdua tak berani lebih dekat lagi padaku, terentang jarak kira-kira sembilan jengkal dari kasurku. Dalam posisi berdiri di sana, senyum mereka perlahan menghilang, perlahan mereka menunduk, menyembunyikan suatu perasaan pada wajah mereka. Namun dalam posisi berbaring begini, dapat kulihat jelas wajah mereka: sesuatu akan meledak—mereka sedang menahannya di ambang kegagalan.

Tidak salah lagi.

Ibuku pun hanya berani tetap berdiri di samping pintu yang masih terbuka, tangannya membeku di gagang pintu, tatapannya terlempar ke luar ruangan—ia ingin segera keluar dari sini—ia menggigit bibir bawahnya. Ibu tahu apa yang akan meledak itu, dan ia tak ingin melihat ledakan tesebut untuk kedua kalinya.

Setan alas. Semoga aku tak perlu menikah dengan Adam.

Dan aku kembali menatap wajah Hello Kitty, sebab kedua orang tua Adam terlalu sibuk menahan ledakan, dan Ibu tampak tak berminat membuka percakapan. Terdengar segerombolan anak berlari dan berteriak di depan rumahku. Mereka cukup beruntung diberi kesempatan untuk berlari dan berteriak di luar rumahnya, di luar rahim ibu mereka.

"Kalian sudah tahu tentang semuanya," akhirnya aku berkata, aku tak tahan dengan keheningan ini.

Semua sontak menoleh padaku. Tak ada yang menyangka aku akan membuka percakapan ini.

"Kami bersalah, aku dan Adam," sambungku. "Dan kalian semua merasa bersalah sebagai orang tua—tapi percayalah, yang bersalah hanyalah kami, aku dan Adam. Kami akan melalui ini semua ...."

Wow. Aku berhasil berpura-pura menjadi wanita kuat.

"Adam sudah memberi tahu kami semuanya ...." ucap Ayah Adam.

Adam benar-benar telah memberi tahu kedua orang tuanya: dari awal pertengkaran kami hingga kami mabuk di bar dan bercinta di hotel lalu aku menghilang. Adam pun mengaku merasa bersalah. Amat-sangat bersalah karena menghancurkan hidupku. Semua itu ia ucapkan melalui surat. Surat itu ditemukan di kamarnya, di samping tubuhnya di kasur, mulutnya berbusa.

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang