"Kau menghancurkanku ... Adam."
"Kita selesaikan di sini." Adam terdengar ingin meremukkanku. "Tidak akan ada yang hancur."
"Aku sudah telanjur hancur."
Si Musang keluar. Adam merenggangkan cengkeramannya. Aku ingin melepas masker dan kaca matanya lantas meludahi wajahnya—tapi aku tak ingin melihat wajahnya, wajah yang dulu membuatku berdebar-debar dan sekarang ingin kuhancurleburkan. Si Musang mendekat. Tangan kanannya bersembunyi di balik punggung. Tidak ada tangan yang bersembunyi tanpa alasan.
"Ia hanya ingin bertanggung jawab," kata si Musang.
Kupikir Adam akan melepas lenganku. Tapi ternyata ia hanya menurunkan tangannya, berpindah menuju sikuku. Si Musang mendekat lagi. Tangan kanannya masih bersembunyi. Lenganku mendingin. Samar-samar di balik kaca matanya, Adam melirik si Musang. Bibir bawah mereka gemetar. Napas berat si Musang mulai terdengar jelas di telingaku. Ia kini di sampingku. Tangan kanannya bergeser perlahan.
Dan aku mengayunkan lenganku.
Dan Adam menjerit.
Aku mengayunkan lenganku tepat saat si Musang mengayunkan tangan kanannya.
Suntikan menancap di punggung tangan Adam.
Mampus!
Seolah tak cukup, aku meninju leher Adam. Si Bajingan pun tumbang. Si Musang gelagapan—bingung harus menoleh padaku atau bajingan itu.
Dan aku berlari.
Bocah-bocah merapat ke dinding gang ketika aku melesat. Sebuah motor hampir jatuh kusenggol. Belokan demi belokan tak kunjung habis. Napasku menipis tapi gang ini enggan berakhir. Perutku nyeri—tapi aku tak peduli. Aku terus berlari dan aku tak sekali pun menoleh ke belakang dan ujung gang terlihat di depan. Aku keluar dari gang dan orang-orang menoleh padaku ketika aku memekik seperti habis menghajar penguasa dunia.
***
Sepertinya mereka tak mengejarku. Sepertinya si Musang terlalu sibuk pada jarum yang menancap di tangan Adam.
Sepertinya aku harus mencari cara lain untuk menggugurkan kandunganku.
Aku ingin ia tetap gugur, sungguh—tapi aku ingin ia gugur dengan cara yang lebih baik. Entah bagaimana caranya.
Aku berhenti di McDonald's tempat aku dan si Musang bertemu pertama kalinya, sekadar beristirahat. Aku refleks berhenti di antrian paling belakang, Sundae stroberi sepertinya enak sekali, dan aku teringat tak ada dompet dalam sakuku. Beberapa orang menoleh padaku, tapi aku tak bisa melihat jelas wajah mereka. Pandanganku dikaburkan air mata yang belum sepenuhnya kering. Aku menutup mulut serapat-rapatnya; isak tangisku tak perlu terdengar.
Aku duduk di lantai atas, di sudut yang jauh dari jendela, di bawah bayangan pilar yang memanjang dari tengah ruangan, tanpa Sundae stroberi. Pahaku tahu-tahu mengejang dan jantungku berdenyut hampir pecah. Tapi masa bodoh—aku mulai bisa menghentikan tangisku.
Di meja yang mepet dengan jendela, tampak siluet, gadis kecil memainkan pesawat hadiah dari Happy Meal di atas kepalanya, dan sang ibu menjilat es krim seraya memandang keluar jendela. Gadis itu lalu menghantamkan pesawat ke meja.
"Pesawatku terdampar di pulau terpencil!"
"Oh ya?" Wanita itu tetap memandang keluar jendela. "Ada siapa di pulau itu?"
"Ada para pembunuh!"
Ada para pembunuh. Gadis pintar. Ada para pembunuh—di dekatmu ada salah seorang pembunuh. Calon pembunuh.
Aku menggaruk samping leherku. Tidak ada yang gatal di sana, aku hanya ingin menggaruk. Dan aku ingin menggaruk lebih keras. Ujung-ujung jemariku menghangat; kulit leherku perih—Ada para pembunuh: aku tak tahu: akukah penumpang pesawat atau penghuni asli pulau tersebut.
"Sundae?" tanya seseorang mendadak.
Sebelum aku menjawab, ia meletakkan Sundae di hadapanku: selai cokelat: aku mau selai stroberi. Seseorang itu duduk. Ia masih mengenakan pakaian renang. Pakaiannya sudah hampir mengering, cahaya lampu ruangan terpantul di sana. Rambutnya juga sudah hampir kering, setetes air jatuh ke hidungnya.
"Tunggu. Aku mau pesan Sundae untukku." Molly segera berdiri lagi dan berjalan mundur menuruni tangga.
Sedang apa ia di sini, si Sinting itu?!
Setan alas: gara-gara ia, aku jadi harus memasuki ruang operasi itu. Gara-gara ia, aku harus melihat ruangan di balik pintu hijau itu. Gara-gara ia, aku harus bertemu Adam lagi!
"Mama—ayo pulang!"
"Siapa yang menang? Para penumpang pesawat, atau para pembunuh?"
"Para penumpang pesawat, tentu saja. Para pembunuh itu mati semua!"
Para pembunuh itu mati semua.
Aku masih hidup. Aku masih hidup?
Gadis kecil itu digendong ibunya menuruni tangga. Pesawatnya kembali mengudara, dan semakin rendah, dan semakin rendah, dan akhirnya tenggelam di balik dinding pembatas tangga. Dalam waktu berdekatan, Molly melangkah mundur menaiki tangga—Sundae stroberi di tangannya.
Kupikir yang tadi cuma halusinasi: Kenapa Molly mesti ada di sini?!
Molly duduk di hadapanku. Aku refleks merebut Sundae stroberinya dan menggeser Sundae cokelat ke hadapannya. Aku melahap dengan cepat. Sesuap, dua suap, tiga suap—dan berhenti. Selai stroberi di atas Sundae tinggal sesendok lagi. Merah dan berkilau.
Dan tiba-tiba aku menangis. Aku tak tahu apa yang kutangisi. Wajahku ambruk ke meja. Dan aku terus menangis.
Molly mengelus belakang kepalaku .... Ia tak bertanya apa pun tentang penyebabku menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Icy Molly & I
ChickLitDavina hamil di luar pernikahan, dan kabur dari rumah setelah sang ayah menghajarnya. Ia ingin melakukan aborsi secepat-cepatnya, selagi usia kandungannya muda. Di rumah indekos tempat tinggal barunya, Davina bertemu Molly yang membuatnya jatuh cint...