BAB 4 - Semacam Messiah dari Neraka

42 2 0
                                    

"Dengan Davina ...?" buka si Dokter Aborsi atau Tukang Aborsi atau Pekerja Klinik Aborsi atau entah siapalah itu. Yang jelas, pria di seberang telepon itu tak berbakat bekerja di bidang layanan konsumen; suaranya yang mirip pekik musang membuat siapa pun ingin segera membanting telepon.

"Dari mana kau mendapat nomor ini?" balasku.

"Itu tidak penting, sungguh." Jeda sejenak. "Dengan Davina ...?"

Aku mengulang pertanyaanku, dan dengan malas ia membalas, "Baiklah ... selamat menjadi ibu."

"Setan alas."

"Dengan Davina?!" kali ini ia membentak, suaranya makin mirip musang.

"Ya, ya, ini Davina! Aku tak peduli dari mana kau dapat nomorku, yang jelas aku tak ingin menjadi ibu."

Orang itu mengajukan panggilan video. Aku tak ingin melakukan panggilan video dengan seekor musang. Tetapi aku tak ingin menolak panggilan video lantas menjadi ibu sekitar sembilan bulan lagi. Maka aku menerima panggilan setelah menonaktifkan kamera depan, dan si Musang itu ternyata melakukan hal serupa! Sesaat kami hening, seakan masing-masing memaki satu sama lain dalam hati. Yang bersuara hanya pendingin ruanganku; tiba-tiba benda itu mengeluarkan suara tulang-tulang yang patah dan remuk terinjak.

"Davina, aku tak menyarankan kau menjadi ibu," kata si Musang. "Kau tak tahu sopan santun."

"Terima kasih atas masukannya."

"Tapi aku butuh orang yang tahu sopan santun sedikiiit saja, untuk memperlancar bisnisku."

"Bisnis kita, maksudku," si Musang cepat-cepat mengoreksi.

Aku mendecak. "Baik. Kita nyalakan kamera depan dalam hitungan ketiga."

Satu, dua, tiga .... Aku menyalakan kamera depanku, aku langung memasang ekspresi paling mengancam, seperti pemburu musang yang sedang haus darah, tetapi si Musang tak terlihat memasang ekspresi apa pun ... sebab ia tak mengaktifkan kamera depannya.

Setan alas, aku buru-buru menonaktifkan kamera depanku.

"Bagus. Segitu cukup, Davina." Si Musang tertawa kecil, seperti berhasil membujuk kelinci mungil menginap dalam lambungnya. "Aku sudah mengambil screen shot wajahmu—itu cukup. Tidak cukup sopan, tapi cukup untuk memperlancar bisnis kita."

"Terserah. Berapa harga jasamu, di mana tempat praktikmu, dan kapan kita akan bertemu? Oh ya, aku akan mencolok matamu dengan jempol kakiku kalau kau menyakiti selangkanganku."

Ia menarik-embuskan napas panjang. Mesti pagi ini begitu berat bagi hidupnya. "Kau akan kubius. Tenang saja."

"Kau yang akan melakukan itu padaku? Pembiusan dan ... tahap selanjutnya?"

"Kau pikir nenekmu bisa?"

"Maksudku, apa tidak bisa sesama wanita yang melakukannya?"

"Eee ... sayang sekali. Ini jasaku—aku yang melakukannya. Di sini aku bukan bekerja pada bagian pelayanan pelanggan—akulah yang akan menyelamatkanmu dari aib besarmu, secara langsung, dan, ya, kau akan mengangkang di depan wajahku. Paham?"

Aku melongos dan menjatuhkan diri ke kasur, per-per yang tergencet tubuhku sontak memekik. "Sayang sekali."

"Tapi aku punya alternatif lain."

Aku refleks terduduk, per-per terdengar seperti cegukan. Dan tak lama kemudian aku bisa kembali tersenyum, rekeningku pun ikut tersenyum sebab ia tak perlu mendadak kurus.

***

Pukul setengah dua siang di hari yang sama aku sudah duduk McDonald's, sekitar tiga puluh menit perjalanan kaki dari indekosku, dan ini bukan McDonald's terdekat—si Musang yang memintaku kemari. Isi paru-paruku sudah terkuras habis, dan dalam dua puluh menit perjalanan kemari tubuhku sudah memaksa kembali ke kasur; janin ini pasti menyeruput energiku secara tak tahu diri. Tapi, toh, akhirnya aku sampai juga di McDonald's, dengan tubuh seperti seragam yang tak disetrika, plus lembap dan bau dan berdebu.

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang