BAB 8 - Hanya Pecundang yang Kembali ke Tempat Semula

19 3 0
                                    

Beberapa detik berikutnya aku sudah telentang di aspal, punggung dan belakang kepalaku seperti terlapis es, dan hujan mengaburkan kepalan tangan Ayah yang terarah tepat pada wajahku. Dan aku memejam. Butir-butir hujan pecah di samping kepalaku, serpih-serpih kecilnya yang dingin terciprat ke lubang telingaku. Kereta sudah melintas, tetapi sirine masih melengking, menandakan palang masih menutup jalan, akan ada kereta selanjutnya yang lewat.

Suara bergedebuk tiba-tiba menampar sebelah telingaku dan Ibu menjerit. Aku refleks membuka mata: Ayah tergeletak di sampingku, pipinya mencium aspal basah, dan Vianna mengunci tangannya di punggung sembari mengatakan, "Maaf! Maaf! Maaf!" dengan air mata tersamar hujan. Ibu jatuh berlutut di depan mobil, kemudian wajahnya menumbuk aspal.

Para pengendara di sekeliling mematung. Klakson kereta mendengkik di suatu jarak. Dan aku segera bangkit. Aku berlari ke arah palang. Vianna memekikkan namaku. Aku merangkak cepat melewati palang. Dan bunyi klakson kereta semakin dekat.

Aku tak peduli: aku tetap berlari.

Para pengendara lain menjerit. Dan kereta itu pun mengibaskan rambutku, tepat setelah aku sampai di sisi seberang palang. Klakson kereta dan derak rodanya meledakkan seisi telingaku. Angin menyusup cepat ke balik bajuku dan keluar dengan sama cepatnya. Aku menggigil. Dan aku berlari ke sebuah gang yang tak mungkin dilalui mobil Ayah. Semua tampak samar dari balik poni basah yang menutup mataku.

***

Kini hanya tersisa ponsel dan pil aborsiku di saku celana. Dompetku di dalam tas, dan tas itu bersama koper berada di bagasi mobil.

Aku duduk di emperan minimarket, lantai penuh jejak-jejak sandal dan sepatu berbau lumpur pekat, dan janin yang menyeruput terlalu banyak energi ini membuat nyawaku hampir menguap. Ponselku mendekam dalam saku celana yang basah, dan aku hendak mengelapnya ke baju, dan aku baru sadar sekujur pakaianku basah.

Di sampingku, seorang wanita hamil menatapku bingung; ia seakan berdiri di tepi selokan, memandang ke bawah, mempertimbangkan apa yang harus ia perbuat pada kucing kecil berkelejotan di tengah aliran air got; ia langsung membuang muka ketika aku menangkap tatapannya. Dari ukuran perutnya, mungkin kandungan itu berusia tujuh atau delapan bulan. Tak lama lagi ia akan menjadi ibu yang bahagia—semoga saja. Lalu ia seperti teringat sesuatu, merogoh tas selempangnya, dan mengeluarkan sebungkus tisu. Ia menyodorkannya padaku.

"Terima kasih," kataku dan menerima tisu itu, napasku masih tersengal-sengal. Seraya mengeringkan ponsel dengan tisu pemberiannya, aku bertanya, "Delapan atau tujuh bulan?"

"Hampir sembilan," jawabnya.

"Wow."

"Dalam minggu ini ia akan lahir." Wanita itu senang sekali kuajak bicara. Tampaknya ia berusia lima tahun di atasku. "Omong-omong, aku sudah memikirkan nama yang bagus untuknya. Ada tiga nama, dan aku bingung harus pilih yang mana. Diana, Dona, dan Davina."

"Hah? Kenapa Davina?"

"Artinya 'yang disayangi.'"

"Eee ... sejujurnya itu bukan nama yang bagus."

Hening sejenak. Tatapannya menunjukkan ia menunggu penjelasanku lebih jauh.

"Dari sejarahnya ... eee ... maksudku kalau dalam bahasa Latin abad ketujuh belas, Davina berarti 'yang dikutuk'. Serius." Tentu saja aku asal bicara. "Diana atau Dona lebih sempurna. Sungguh."

"Sepertinya aku kurang mencari tahu arti nama Davina .... Terima kasih. Yah, setidaknya, mempertimbangkan dua nama jauh lebih mudah ketimbang tiga."

Aku mengembalikan bungkus tisunya ketika ponselku cukup kering. Aku membaca pesan WhatsApp dari Pak Thomas yang rupanya masuk sejak hampir satu jam lalu, ketika Ayah menyeretku keluar dari mobilnya.

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang