BAB 17 - Kejutan yang Terlalu Mengejutkan untuk Sebuah Kejutan

23 2 0
                                    

Molly mengajakku pulang berjalan kaki dari McDonald's, tapi aku memesan taksi dan menyuruhnya membayar. Tubuhku dari dada ke bawah sudah telanjur remuk setelah kabur dari rumah si Musang; aku tak ingin tiba-tiba selangkanganku jebol dan janinku tergeletak di pinggir jalan.

Aneh: aku merasa hidupku aman bersama Molly—bagaimanapun tak ada yang betul-betul aman bagi perempuan hamil di luar nikah. Si Musang sudah tahu alamat indekosku, dan ia pasti akan memberi tahu Adam. Mungkin suatu hari mereka akan mendatangiku di kamar dan menyeretku ke ruang operasi. Mungkin suatu hari tersebut tak lain hari ini juga. Maka, begitu duduk di jok belakang taksi, dengan lengan Molly yang agak lembap menyentuh lenganku, aku menghubungi Pak Thomas. Untung saja ia bilang, "Tak ada siapa pun yang mencarimu."

Oh, mungkin Adam memang tak berniat mencariku lagi. Ia, kan, pengecut. Ia bahkan menyuruh si Musang seorang yang menjemputku; ia pasti tak akan menunjukkan diri padaku semisal operasi itu berjalan lancar.

Seharusnya tidak ada yang kukhawatirkan ....

Terlebih, selanjutnya Pak Thomas berkata, "Si Sweter Kuning juga sudah pergi." Seharusnya aku bisa tidur siang nyenyak begitu sampai di rumah indekos.

***

Setelah Molly membayar, aku menyuruhnya turun dari taksi dan masuk ke kamarnya duluan. Aku tak mau orang-orang menyangka aku pergi berenang dengannya, apalagi ia masih mengenakan pakaian renang, yang membuat sebelah lengan bajuku basah. Sehabis menghitung sampai tiga puluh di dalam hati, aku pun turun dari taksi, Pak Thomas menawariku makan sore dari arah dapur, aku menggeleng dan segera mengurung diri dalam kamarku.

Dari kamar Molly terdengar Swan Lake dari Tchaikovsky; aku mengenal komposisi ini dari film-film animasi. Aroma persis toilet menyeruak dari tubuhku ketika aku menanggalkan pakaian; aku terlalu malas untuk turun dan mandi, setidaknya keringatku sudah dikeringkan pendingin ruangan di taksi, dan aku mengenakan pakaian istri Pak Thomas. Dan seperti yang kubilang sebelumnya: tak ada yang betul-betul aman bagi perempuan hamil di luar nikah: tahu-tahu ponselku berdering singkat, ada pesan masuk, berbunyi, Aku sudah di depan—dikirim oleh Adam!

Hah, ia tak sepengecut yang kukira. Minimal ia sudah berani berhenti memblokir kontakku. Tapi sekaranglah giliranku untuk memblokir kontaknya. Aku hanya ingin tidur siang sebentar, bermimpi buruk pun tak masalah—yang penting aku bisa tidur—dan aku tak butuh ia menghampiriku!

Tapi pasti ia tetaplah pengecut. Aku tidak akan membalas pesannya dan dalam kurang dari sejam ia akan pergi dari depan indekos. Aku hanya perlu tidur siang sejenak dan ia akan pergi lagi dari hidupku. Pendingin ruangan mulai membekukanku, aku berbaring dan bersembunyi di balik selimut. Aku memejam.

Aku memejam dan sekadar memejam tak semudah yang kukira. Lebih dari lima lelaki mengepung dan menunduk memperhatikanku dari jarak terlalu dekat—aku membuka mata dan mereka semua menghilang tanpa jejak. Mereka segera muncul lagi saat aku memejam dan, bodoh amat, aku hanya perlu memejam dan segera tertidur.

Aku akan segera tertidur—kalau bukan karena terdengarnya teriakan marah dari lantai bawah. Teriakan itu begitu kukenal; teriakan itu seperti macan yang berlari cepat menaiki tangga dan di detik selanjutnya sudah menerkam leherku.

Ponselku berbunyi: Pak Thomas menelepon.

"Davina ... kapan kau pulang?" tanyanya. Dari suaranya, ia berusaha keras untuk tetap tenang. Tapi getaran pada suara itu tak mungkin berbohong. "Aku menelepon karena, sepertinya, pendingin ruangan di kamarmu lupa kau matikan. Sekarang aku sedang di depan pintu kamarmu dan terdengar ... ngung ... ngung ... seperti itu. Kau mesti lupa mematikan pendingin ruangan."

Aku membuka gorden di samping pintu: tak ada Pak Thomas di sana. Tentu saja ia berbohong.

"Eee ... bukankah kau memegang kunci cadangan kamarku?" jawabku. "Aku tidak akan pulang hari ini. Besok, mungkin. Atau lusa. Kau boleh masuk ke kamarku."

Seseorang berbisik pada Pak Thomas, memerintahkan sesuatu. Pasti Pak Thomas meneleponku dengan mode loud speaker, dan seseorang itu mendengarkan percakapan kami.

"Sebetulnya, Davina ... aku kehilangan kunci cadangan kamarmu. Itu kenapa aku menghubungimu .... Kau benar-benar tak bisa pulang hari ini?"

"Maaf, Pak ... tidak bisa."

"Baik ... terima kasih."

Panggilan diputus.

Perasaanku tak enak. Aku mematikan pendingin ruangan. Adam mungkin tak sepengecut itu—Pak Thomas kedengarannya terdesak. Mungkin ia tak akan langsung pergi. Semoga Pak Thomas benar-benar kehilangan kunci cadangan kamarku. Aku keluar dan berdiri di depan pintu kamarku, kutajamkan pendengaranku dan hanya kutangkap kendaraan-kendaraan berlewatan di depan indekos, yang membuat suara dari lantai bawah semakin samar. Swan Lake diputar dari awal kembali. Molly menyiulkan komposisi tersebut. Dan kendaraan berat melintas cepat di luar, menggetarkan jendela koridor. Tahu-tahu terdengar langkah lebih dari seseorang menaiki tangga.

Setan alas.

Aku segera mengunci kamarku dari luar. Aku segera mendesiskan, "Molly! Molly!" seraya memutar-mutar knop pintu kamarnya yang terkunci. Aku bisa melihat ujung kepala Pak Thomas dan Adam mulai muncul dari tangga. Aku akan habis. Aku akan habis. Dan begitu Molly membuka pintu kamarnya sedikit, aku menerjang masuk—dan lelaki itu melempariku tatapan bertanya-tanya, aku hanya balas mendesis, "Kunci pintunya!" dan ia menurut tanpa bertanya. Ia menutup dan mengunci pintu dengan gerakan santai.

Sesaat kemudian, dari koridor terdengar kunci pintu kamarku dibuka. Aku terjatuh-terduduk seolah tubuhku selemas selimut.

"Lihat, ia benar-benar pergi," kata Pak Thomas.

"Aku akan menunggu di dalam," balas Adam.

"Kau bisa menunggu di ruang depan, Nak," kata Pak Thomas lagi.

"Kau tak ingin melihat jendela-jendela pecah, tentu saja."

"Kau bisa menunggu di ruang depan—ataupun pulang," sahut seseorang yang lain. "Aku yang akan menunggu di dalam. Tentu saja boleh, Pak Thomas?"

Sesaat hening. Entah Pak Thomas mengangguk atau menggeleng. Lalu terdengar langkah dua orang mengarah ke tangga. Dan pintu kamarku ditutup seseorang. Dan seseorang yang sama terdengar menjatuhkan bokongnya ke kasurku. Dan aku lebih lemas ketimbang selimut: aku tergeletak di lantai—seluruh oksigen dalam tubuhku menguap ke langit-langit.

"Davina ...?" bisik Molly. Ia berjongkok di sampingku.

Aku tak membalas. Aku hanya ingin mencairkan tubuhku dan terserap ke lantai.

Terdengar tit! dan pendingin ruangan di kamarku berdengung. Molly pun menoleh ke dinding pemisah kamar kami, lantas tatapannya turun ke lubang rahasia yang tertutup tumpukan pakaian kotor.

"Siapa itu ...?" bisiknya lagi.

Aku menggeleng. Aku hanya sanggup menggeleng.

Adam bajingan. Aku benci dirinya yang pengecut, tapi kini aku juga benci ketika ia mulai tak lagi pengecut. Aku ingin meninju wajahnya bertubi-tubi, aku ingin melihat gigi-geligi bertanggalan dari sela bibirnya.

"Davina ... kau boleh tidur di sini kalau mau ...." bisik Molly.

Ia membantuku berdiri, dan seolah melangkah dengan dua batang lidi rapuh aku dirangkul ke kasur. Molly menyelimutiku—tapi kamar ini masih terlalu dingin. Dunia terlalu dingin. Aku hanya ingin tidur siang, tapi dunia ingin membunuhku dalam sebongkah es.

Seseorang di kamarku itu, seseorang yang di depan kamarku berbicara terakhir ... suara itu: suara ayahku.

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang