BAB 24 - Keputusan untuk Pergi, dan Sebuah Klimaks

28 2 0
                                    

Molly akan membunuhku. Minimal menghancurkan rahang bawahku. Inilah akhirnya: karma dari kaburnya aku; karma dari aku menjadi pelacur dan hamil dan jadi pelacur lagi. Tak lama lagi darah akan mengucur dari gusi koyakku. Pintu neraka terbuka tepat di bawah kursiku.

Dan seseorang meninju kepala Molly dari samping: si Sweter Kuning.

Seketika Molly tumbang, bunyi benturannya seakan ia memecah keramik dengan kepala.

Gusiku masih utuh ....

Air mata membobol kelopak mataku ....

"Lelaki yang baik, huh?" kata si Sweter Kuning. Ia benar-benar puas melihatku begini.

Aku berlari keluar dari kafe. Di lobi: entah aku harus ke elevator, kembali ke kamar, atau keluar dari sini—entah ke mana.

Setan alas.

Aku keluar.

Semoga Molly mati di sana.

***

Hanya ponselku di saku—sisanya tertinggal di kamar. Ponselku memanas sepanjang aku melangkah cepat di tepi jalan: ia memanggil-manggilku untuk menghidupkannya kembali—setelah kumatikan dari kemarin—ia memanggil-manggilku untuk menelepon siapa pun yang mungkin menolong: Vianna atau Pak Thomas—dengan kata lain: secara tak langsung menelepon ayah serta ibuku. Bajingan.

Langkah-langkah cepat di pinggir jalan dan cuaca panas di atas jalan dan bising kendaraan-kendaraan di tengah jalan: rasanya belakangan ini semua terlalu familiar bagiku. Langkahku pun melambat. Kuseka air mataku. Ha ha .... Situasi ini terlalu familiar. Ini hanya semacam olah raga pagi, plus berjemur di bawah matahari sebelum pukul sembilan, plus melatih telinga jika kelak bayiku terus menangis—itu pun kalau ia kubiarkan terlahir—rasanya ini tak buruk-buruk amat, situasi bajingan ini.

Aku berbelok ke sebuah minimarket dan duduk di emperannya. Lantai membakar bokongku dan aku hampir memekik, lantas aku tak tahu harus berbuat apa selain menyalakan ponselku. Mungkin aku hanya perlu menghubungi si Musang dan membiarkannya membantai janinku—terlepas dari horor yang kulihat dalam rumahnya—dan semua selesai, dan semua kembali seperti hampir semula. Hampir. Minimal janin ini gugur, dan dengan demikian, secara tak langsung, aku menampar Molly dengan keinginannya yang terlalu bombastis. Minimal janinku gugur kali ini bukan berkat keinginan Adam—aku datang pada janinku untuk meremukkan kepalanya sendiri.

Kuseka air mataku yang menetes lagi. Seseorang berjalan memasuki minimarket tanpa melepas pandangan dariku. Aku menggeser posisi duduk sejauh beberapa petak lantai, ke bawah bayangan papan nama minimarket. Dan kunyalakan ponselku. Tercatat belasan nomor tak dikenal menghubungi dan mengirimiku pesan. Semua pesan bertanya tentang di mana aku sekarang plus permintaan maaf padaku—dengan bagian awal: Ini Vianna. Wow. Berapa uang yang ia habiskan untuk membeli belasan kartu operator baru?

Oh, tidak semuanya dari Vianna. Setelah kuperhatikan lebih detail, sebagian kecil berasal dari nomor baru Pak Thomas. Duda yang malang.

Aku menghubungi si Musang.

"Kau sedang pendarahan atau depresi atau keduanya," sambutnya begitu menjawab panggilan; tidak ada halo atau semacamnya dan aku ingin membakar kumisnya.

"Lebih pada yang kedua, he he ...."

"Bagus. Setidaknya kau masih bisa tertawa kecil." Terdengar ia meregangkan leher sejenak. "Kirimkan aku lokasimu, dan dalam beberapa menit akan kuletakkan kau di meja operasi. Tentu kau tidak kabur jauh, bukan? Gadis hamil-depresif tidak mungkin kabur jauh."

***

Barang sepuluh menit kemudian si Musang tiba dengan motornya. Berbeda dengan motor yang ia kendarai ketika menjemputku untuk pertama kalinya: kali ini motornya terlihat baru, persis motor-motor favorit para remaja berandal kaya dalam sinetron. Entah berapa banyak janin yang mati dan bertransformasi menjadi motor sekeren itu. Si Musang tak memakai helm dan memarkir motornya tepat menghadap aku yang duduk di lantai emperan, seolah bersiap menggilas-membelah tubuhku. Ia pun turun dari motornya, sebelum memasuki minimarket tanpa menyapaku. Setan alas, ia ingin bermain-main sebagai pembuka.

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang