Aku keluar dari kamar karena ingin sarapan di warung seberang indekos dan, ketika aku sampai di lantai satu, Pak Thomas memanggilku dari dapur, wajahnya hampir tertutup uap dari wajan. Ia mengajakku sarapan, berhubung katanya sepuluh menit lagi masakannya matang. Aku akan merasa berdosa jika menggeleng, sebab semalam ia memberiku pakaian istrinya; semestinya aku merasa tak enak hati, karena kini sekali lagi aku merepotkannya. Tapi aroma kari ayamnya tidak buruk, sungguh, dan aku tak keberatan untuk duduk di meja makan sembari menghirupnya lebih dalam, lebih lama. Atau mungkin bukan aku yang sebenarnya menikmati aroma tersebut, melainkan iblis kecil dalam rahimku.
Ketika beberapa penghuni lain melewati ruang makan, tetapi Pak Thomas tak menawari mereka sarapan, seketika kerongkonganku tersekat. Ini mulai menakutkan, kalau kupikir-pikir. Pertama, istri Pak Thomas sudah meninggal—ini baru sekadar asumsiku. Kedua, ia memberiku seluruh pakaian istrinya. Ketiga, ia mengajak hanya aku seorang untuk sarapan. Aku pernah membaca berita tentang seorang gadis yang tinggal di sebuah indekos, lalu tak sanggup membayar sewa kamarnya, lalu terpaksa bermalam di kamar pemilik indekos—dan tentu ia tak bermalam dengan bahagia di sana.
Tunggu. Tapi aku belum menyatakan tidak mampu membayar sewa kamar.
Tapi mungkin ajakan sarapan ini semacam "investasi jangka panjang". Entah akan ia tarik bulan depan, atau beberapa bulan lagi saat aku benar-benar tak mampu membayar kamar. Dan kelak, setiap aku bermalam di kamarnya, aku diharuskan mengenakan pakaian istrinya, dan ia akan memanggilku dengan nama istrinya, dan ... setan alas. Muntahan menghentak kerongkonganku.
"Anggap saja ini bentuk ucapan selamat datang kembali," kata Pak Thomas, seraya meletakkan semangkuk kari ayam dan sepiring nasi di hadapanku. Wajahku mulai menghangat terkena uap, tapi kini aroma lezat itu lesap—barangkali kecurigaanku pada Pak Thomas melahap aroma tersebut.
Tak lama kemudian ia duduk di seberangku. Tapi tak ada kari ayam maupun nasi di hadapannya. Kalau ia tak hendak sarapan, buat apa ia duduk di seberangku? Apa ini semacam fetish melihat seorang wanita makan?
"Kau tidak sarapan?" tanyaku.
"Kau boleh sarapan duluan."
"Baik ...."
Dan aku mulai mengoyak paha ayam di piringku dengan mata garpu. Cairan kemerahan di dalam daging mengalir ke nasi. Pada suapan pertama, aku langsung memberinya nilai 90/100. Akan menjadi 100/100 andai saja Pak Thomas tak diam-diam memandangiku, sembari berpura-pura mengorek kotoran yang terselip di kuku jari tengah dengan kuku jempolnya. Tingkahnya persis mantan pacar pertamaku menjelang menyatakan cintanya di kantin SMA. Persis juga dengan tingkah Adam menjelang mengajakku bermalam, ketika kami duduk di bar, setengah mabuk, dalam rangka merayakan kembalinya hubungan kami—berkat aku yang termakan bujukan Vianna. Aku ingin mencolok mata Pak Thomas dengan tulang paha ayam.
"Seratus per seratus dariku," kataku.
"Sungguh?" Pak Thomas menatapku lekat. Aku benci tatapannya. Persis tatapan Adam ketika akhirnya aku ....
Ah, bukan. Sama sekali bukan persis tatapan itu. Melainkan persis tatapan bocah yang pertama kali memasak, dan orang tuanya memberi nilai seratus per seratus setelah mencicipi suapan pertama.
Tapi aku juga benci tatapan semacam itu ... entah kenapa.
Lalu ia berdiri dengan antusias, sampai lemak di kedua pipinya terayun, dan ia mengambil nasi serta kari ayam untuk dirinya sendiri. Ia pun kembali duduk dan mulai sarapan dengan kecepatan mencengangkan.
Saat itulah, tiba-tiba, pintu kamar mandi dapur terbuka. Molly keluar dengan rambut basah yang hampir menggapai matanya. Dari ujung poni, air menetes-netes ke baju bagian dadanya. Dan ia membuang muka dariku saat tatapan kami bertemu. Ia pun melewatiku dengan cepat, aroma sabun dan samponya mengambang ke depan hidungku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Icy Molly & I
ChickLitDavina hamil di luar pernikahan, dan kabur dari rumah setelah sang ayah menghajarnya. Ia ingin melakukan aborsi secepat-cepatnya, selagi usia kandungannya muda. Di rumah indekos tempat tinggal barunya, Davina bertemu Molly yang membuatnya jatuh cint...