BAB 23 - Dua Puluh Empat Jam Terakhir Bersama Molly, 3

23 1 0
                                    

Paginya aku merasa seperti pelacur. Di balik selimut tubuhku telanjang. Udara dingin menyusup ke balik selimut, membuat bebulu romaku berdiri. Dan, tidak ada perasaan yang bisa disembunyikan setelah bercinta; ada perasaan yang lebih buruk ketimbang perasaan menjadi pelacur:

Bercinta akan membuat pipimu membengkak dan penuh nanah, dan bengkak itu akan muncul dalam pandanganmu setelah kau bangun dari tidur yang panjang, tidur setelah percintaanmu yang sinting semalam. Bengkak itu: menghalangi separuh pandanganmu. Kau pikir daging yang membangkak itu muncul tiba-tiba? Tidak, ia sudah ada di sana sedari awal, dalam tubuhmu; kini ia hanya bertumbuh setelah usai percintaanmu—dan sebelum bertumbuh, ialah yang mendorongmu untuk bercinta.

Molly sedang menulis sesuatu di selembar kertas ketika aku terbangun. Ia berlutut di lantai dan menulis di atas nakas di samping kasur; gerak tangannya cepat dan aku langsung curiga: ia menulis surat perpisahan dan berniat kabur sebelum aku terbangun.

Setan alas. Setiap lelaki adalah Adam.

Aku berdeham. Tapi Molly tak terkejut sama sekali. Dengan gerakan tenang ia melipat kertas itu, dan menyelipkannya ke saku, dan memungut pakaianku yang dari semalam terserak di lantai—sedang ia sudah lebih dulu berpakaian. "Sarapan?"

Itu sajakah pertanyaannya? Sarapan? Tidak terpikirkah ia untuk bertanya soal keadaanku, atau sekadar meminta maaf padaku—meski kami sama-sama memulai semalam?

Aku membelitkan selimut ke tubuh seperti gaun pengantin, dan menyambar pakaianku dari tangan Molly, dan pergi ke kamar mandi dengan ujung gaun mencakar lantai.

***

Aku sedang tak ingin makan, dan aku hanya memesan roti isi ham dan jus jeruk, dan aku merasa harus menghabiskannya, sebab bisa saja terjadi hal tak terduga hari ini yang membuatku tak bisa makan berjam-jam. Aku tak percaya hari ini akan berjalan biasa-biasa saja—terlebih, selama ada Molly. Terlebih, semalam kami memulai hal tak terduga tersebut.

Molly memakan lobster goreng dan jus stroberi, dan dua menu itu datang tanpa ia memesan apa pun (sang pelayan hanya menyerahkan daftar menu padaku; jelas ia tahu apa yang Molly inginkan setiap pagi). Ia menghancurkan cangkang lobster dengan gigi-geliginya, minyak mengalir dari bibir ke dagu, dan menetes serta meresap ke taplak meja merah muda: aku tak percaya semalam bercinta dengannya, lelaki yang tak tahu cara makan yang bersih, lelaki yang dalam perjalanan dari kamar menuju kafe ini terus berjalan mundur. Aku benar-benar pelacur yang tak pandai memilih pasangan. Aku ingin mengeluarkan mawar ungu itu dari vas di tengah meja, dan menggunakan vas untuk menghajar wajah Molly.

"Kembalikan obatku," kataku. Ia telah meminta izin memegang perutku; permintaan itu mesti bukan tanpa alasan; ia mesti benar-benar tahu bahwa aku hamil. Tidak ada alasan lagi untuk menyembunyikan tentang obat aborsiku.

Dan, setan alas, ia tetap makan seperti biasa. Pertanyaanku tak mengejutkannya pun sekadar membuatnya berhenti bergerak sejenak. Ia menyeruput dalam-dalam capit lobster, menimbulkan bunyi cicit tikus yang memuakkan, sebelum menjawab, "Tidak ada."

"Tidak ada. Hah. Satu lagi lelaki hendak mengambil alih tubuhku."

"Aku tidak mau kehilangan anakku lagi," balasnya.

Tunggu. Kehilangan anak? Anak siapa yang akan mati kalau kutenggak obat aborsi itu? Gila!

"Kita baru sekali bercinta, dan kau anggap janinku 'anak kita?'" Aku terbahak-bahak—Molly lanjut makan seperti biasa. "Kau benar-benar sinting. Persis kata kawanmu yang bersweter kuning itu."

Dan Molly berhenti bergerak. Ia berhenti bergerak di saat yang tak kuduga. Caranya menatapku seolah aku telah mengutuk dirinya plus tujuh keturunannya yang akan datang. Sial .... Aku benci tatapannya.

Molly menyeka minyak di bibir dengan lengannya, dan tatapannya tak lepas dariku. "Kau sempat bicara dengannya?"

Tak ada siapa pun di kafe ini selain kami berdua. Sekitar sepuluh baris meja memanjang sampai jendela, tapi tak satu meja lain pun terisi. Tiga mobil melintas di depan jendela dan cahaya di ruangan ini seperti berkedip tiga kali. Tak satu pun mobil menabrak jendela agar suasana tak terlalu sepi—aku butuh sedikit keramaian—aku butuh keramaian di hadapan tatapan lelaki ini!

"Kau sempat bicara dengannya?"

Sial .... Ia ingin membunuhku ...?

"Kau ingin membunuhku, eh?" kataku, menaikkan satu sudut bibirku—aku tak tahu menaikkan satu sudut bibir bisa seberat ini. "Ia memberitahuku semua tentang kau—kau tak akan suka itu, dan aku akan melupakannya kalau kau kembalikan obatku—sekarang."

Ekspresi Molly melunak. Ia kembali menggigit lobsternya. Seperti tidak terjadi percakapan apa pun barusan: ia makan seperti seorang bocah rakus, seperti aku tak ada di depannya—setan alas, ia ingin bermain-main denganku.

Pelayan meletakkan pesananku di meja, roti isi ham dan jus jeruk. Pelayan kembali ke pantri, yang bagian dalamnya terlihat dari sini karena dindingnya berbingkai persegi panjang, seukuran papan tulis di kelas, tanpa jendela; pelayan itu dan kawan-kawannya menyulut rokok.

Aku ingin menyumpal kerongkongan Molly dengan roti dan menggampar ubun-ubunnya dengan gelas jus. Ia tak bisa bermain-main denganku setelah semalam tidur di atas perutku, setelah semalam bercinta denganku.

"Kau tahu, semua lelaki sama saja," ucapku. "Semua lelaki ingin mengatur tubuhku. Ada yang ingin membuatku menggugurkan kandungan; ada yang ingin membuatku mempertahankan kandungan; seolah aku dan rahimku terpisah—dan aku hanya berharap mereka, para lelaki itu, tergelincir ke neraka."

Molly tak merespons. Ia mematahkan cangkang lobster yang telah diretakkannya dengan geraham menjadi dua; minyak dari dalam cangkang menetes serta meresap ke taplak meja.

Sepasang geraham raksasa menghimpit kepalaku dari kiri dan kanan.

"Tapi Molly, seburuk-buruknya lelaki yang ingin mengatur tubuhku ...," lanjutku, sembari mencabik-cabik tepian rotiku, "adalah ia yang ingin mengatur tubuhku, untuk menebus perasaan berdosanya, karena gagal menjadi ayah yang baik."

Mendadak Molly mencengkram rahang bawahku. Jempolnya menekan daguku; telunjuk dan jari tengahnya memasuki mulutku, menekan lidahku. Ia antara ingin menarik-lepas rahang bawahku, atau sekadar meremukkannya. Matanya merah, urat-urat berebut keluar dari kulit wajahnya. Gigi-gigi bawahku ngilu. Lidahku akan terkoyak ujung telunjuk dan jari tengahnya yang berminyak. Para pelayan di pantri mulai memerhatikan kami, tapi tak seorang pun yang datang kemari.

"Hati-hati, Bajingan ...." ucapnya, separuh mendesis.

Air mataku membuat wajahnya kabur.

Ia akan membunuhku, lelaki yang semalam bercinta denganku ....

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang