Di tengah pingsanku, aku memimpikan adegan di depan pintu kamarku sesaat sebelum aku pingsan. Namun di dalam mimpi pandanganku tak pecah, dan rasa sakit tak sehebat itu, dan aku menoleh ke arah Molly ketika ia bertanya, "Kau butuh bantuan ...?" dan setan alas, ia tampan sekali kalau bicara secara wajar.
He he he ....
***
Waktu terbangun perutku tak sakit lagi, hanya sedikit kesemutan; di kepalaku seperti ada helm yang ketat dan terus mengetat; udara dingin merembes ke balik selimut. Ada yang basah di antara kedua kakiku. Aku menyibak selimut, dan terlihat seprai bergambar Spongebob ternoda merah, seperti terkenal ompol darah.
Sial ... seprai di kamarku harusnya putih polos dan bukan bergambar Spongebob ....
Aku terduduk. Aku menarik-embuskan napas sestabil mungkin. Aku mengedip-ngedipkan mata cepat, menyatukan pandangan yang pecah.
Oke, tenang, Davina.
Aku memfokuskan pandangan pada sesuatu yang rupanya rak buku, tingginya hampir menyentuh langit-langit seperti dalam kamarku—di rumah—dan aku mengenal beberapa buku di sana berdasar punggungnya: sebaris serial Harry Potter yang lengkap.
Di sekujur tembok terpasang stiker dinding bermotif batu bata merah muda, dengan pola persegi-persegi panjang bertekstur menonjol; aku seperti berada dalam satu kamar murah di The Grand Budapest Hotel.
Pakaian-pakaian teronggok di lantai sudut, aroma keringat seperti tangan hantu raksasa yang menyeruak dari titik tersebut. Di samping kasur berdiri meja belajar dengan perpaduan warna putih dan merah muda, di atasnya duduklah tasku dan laptop yang mengalunkan komposisi musik instrumental, yang memberi kesan kekanak-kanakan dan komikal.
Ini jelas bukan kamarku!
Saat aku hendak menjejakkan kaki ke lantai, aku malah menjejakkan kaki ke sesuatu yang tak rata. Sesuatu yang keras dan seperti tabung. Itu kaki seseorang yang menjulur dari kolong ranjang—dan aku menjerit! Sontak ada yang membentur ranjang begitu keras dari bawah, dan aku secepatnya menaikkan kaki ke kasur, seakan seribu laba-laba berkerumun di lantai. Seseorang itu segera merayap keluar dari kolong ranjang: Molly!
Demi setan dan segala monster di sudut tergelap neraka, aku di kamar Molly!
Molly meletakkan satu telunjuk di depan bibir dan aku refleks menutup mulut. Lalu Molly menghentikan musik dari laptopnya dan ia memejam. Ia memasukkan telunjuk dan jari tengah ke telinga, membuka kedua jari tersebut, seolah-olah hendak melebarkan bukaan lubang telinga untuk mendengar gosip di kejauhan.
Molly mengembuskan napas lega dan mengelus-elus kepalanya yang tadi terbentur di kolong. "Untung saja Pak Thomas tak naik dan mengamuk di depan kamarku. Kau pernah melihat Pak Thomas mengamuk? Taring-taringnya akan memanjang dan ia akan mengoyak lehermu. Kau tahu, ia pernah hampir merobek leherku."
Bajingan, lelaki itu kembali aneh.
"Apa yang kau lakukan di kolong ranjang, eh?" tanyaku. "Dan kenapa aku ada di kamarmu?!"
"Orang-orang Cina di akhir abad ke-14 biasa tidur di kolong ranjang. Itu kenapa negara mereka besar sekarang. Dan soal kenapa kau bisa ada di sini ... entahlah, aku benar-benar bingung siang tadi. Kalau membawamu ke kamarmu, artinya aku harus memasuki kamarmu tanpa izin, dan itu dianggap kejahatan kelas berat di planet X-42. Jadi, aku membawamu ke kamarku—Hei, sepraiku terkena darah!"
Aku cepat-cepat berdiri, bingung sebentar, dan melepas seprainya: darahku sudah merembes ke kulit kasur. Kemudian aku meraba sedikit selangkanganku: darah sudah agak mengering.
"Setidaknya, mengotori tempat tidur tetangga bukan kejahatan berat di planet X-42," kata Molly.
"Aku akan membawa sepraimu ke penatu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Icy Molly & I
ChickLitDavina hamil di luar pernikahan, dan kabur dari rumah setelah sang ayah menghajarnya. Ia ingin melakukan aborsi secepat-cepatnya, selagi usia kandungannya muda. Di rumah indekos tempat tinggal barunya, Davina bertemu Molly yang membuatnya jatuh cint...