BAB 6 - Bencana-Bencana Setelah Ciuman yang Membuang Harga Diriku ke Selokan

31 2 0
                                    

Ciuman yang tak diinginkan itu membuatku tak bisa tidur. Bibirku sekarang mati rasa, seolah dagingnya membatu—dan kuharap Molly dapat kukutuk menjadi batu. Kelopak mataku pun sama: membatu—menolak untuk menutup, sampai akhirnya ventilasi keburu menyebar cahaya samar ke langit-langit kamarku, meremangkan sekujur kamarku.

Mungkin aku harus segera pergi dari indekos ini; orang-orang di sini pasti kini tak ada bedanya dengan Ayah: mereka menatapku sebagai pelacur yang hobi berkeliaran tengah malam sembari memamerkan isi celana kepada setiap lelaki yang lewat, dengan harga tertulis jelas pada dahiku: lima ribu Rupiah per jam. Setan alas.

Tidak, mungkin tak seratus persen seperti Ayah, para penghuni indekos di sini. Jika Ayah melihatku menjadi sandwich bersama Molly semalam, ia mesti langsung menyiagakan sabuk yang mengeluarkan bunyi petir saat menyambar tubuhku. Sedang Pak Thomas dan yang lainnya memilih untuk diam, mereka sontak menunduk saat aku bangun dari tubuh Molly, lalu Pak Thomas membisikkan sesuatu hingga mereka semua bubar, dan tubuhku terbakar dari dalam—tubuhku akan meledak!

Setelah para penghuni lain pergi, sesaat Pak Thomas menatapku, dan mengangguk singkat seakan berkata, Permisi, dan ia pergi dengan langkah cepat. Sepasang tungkaiku gemetar dan lemas. Aku ingin menginjak-injak wajah Molly—aku berusaha tak melihat wajah lelaki itu, aku terus menatap ujung kaki dengan napas tersangkut di tenggorokan. Tapi aku tak jadi menginjak wajahnya; aku cepat-cepat keluar dari kamarnya sebab tak ingin ada insiden lucu tambahan.

"Davina, kau meninggalkan sesuatu," kata Pak Thomas dari ujung tangga, saat aku akan membuka pintu kamarku. Aku baru sadar ia berada di sana. Entah kenapa ia berada di ujung tangga. Jika ia melangkah secara konsisten tadi, mestinya ia sudah sampai di lantai bawah. Mesti ia berhenti melangkah di ujung tangga, bingung antara harus turun atau kembali ke kamar Molly dan merajam kami.

Aku hanya menjawab, "Ya?" dan pria itu memberiku isyarat untuk menunggu, dan ia buru-buru turun, dan tak lama naik kembali membawa Happy Meal. Tampak jelas Pak Thomas berusaha keras bersikap biasa-biasa saja saat menyerahkan Happy Meal padaku; matanya lebih banyak terarah ke ujung kakinya, hanya sesekali terarah pada wajaku—ia pasti memandangku sebagai pelacur, sebagaimana orang-orang lain di indekos ini.

"Omong-omong," lanjut Pak Thomas, "kalau kau butuh, aku punya stok pembalut. Maksudku, itu stok punya istriku."

Aku baru teringat pada selangkangan celanaku yang kotor, celana yang masih kugunakan hingga sekarang. Aku mengucapkan terima kasih dan mengunci pintu, dan aku membungkus celana luar dan dalamku dalam kresek sebelum meletakkannya di tempat sampah. Beberapa detik kemudian Pak Thomas mengetuk pintu kamarku untuk membawakan sebungkus pembalut. Padahal intensi dari ucapan terima kasihku bukanlah persetujuan, tapi ya sudahlah. Aku memakai pembalut meski tak ada darah yang menetes—sekadar untuk berjaga-jaga siapa tahu beberapa jam ke depan rahimku bertingkah lagi gara-gara pil dari si Musang.

***

Aku bangkit dari kasur dan membuka laptopku, aku mencari lokasi indekos termurah melalui Google dan berencana pindah ke sana besok, dan di sanalah aku akan menggugurkan janinku. Dan menemukan indekos alternatif taklah sulit; lima belas kemudian aku telah mendapatkan kontak pemilik indekos lain, dan aku mengirim pesan WhatsApp padanya, dan bla-bla-bla, sampai akhirnya ia mengirim nomor rekening padaku. Ketika aku bilang akan mentransfer ongkos-sewa-sebulan sekarang juga lewat mobile banking, si Pemilik Indekos bilang aku akan mendapat diskon jika langsung membayar untuk tiga bulan, dan aku langsung saja membayar untuk tiga bulan. Toh, meski kandunganku sudah gugur dalam bulan ini, aku yakin tak akan kembali ke rumah sampai tiga bulan ke depan. Sampai tiga tahun ke depan juga begitu, barangkali.

Tabungan di rekeningku sontak begitu tipis. Aku lupa memperhitungkan ini, bodoh sekali. Seharusnya aku membayar untuk satu bulan saja. Kini jumlah tabunganku tak cukup untuk uang makan dalam sebulan, kecuali aku benar-benar berhemat; sedikit saja boros, aku akan terlempar ke pinggir jalan dan menjajakan selangkanganku. Tapi bodoh amat—yang penting aku keluar dari indekos ini sekarang juga.

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang