Harusnya Molly pergi tidak sebentar—asumsiku begitu—dan harusnya aku bisa mencari pil aborsiku dengan santai di kamarnya. Tapi, di tepi layar laptonya yang terbuka, tertempel sticky note dengan tulisan:
SILAKAN PAKAI LAPTOPKU, DAVINA.
ITU BUKAN KEJAHATAN DI PLANET X-42.
Aku jadi merasa wajah Molly terpampang di setiap sisi dinding dengan mata membelalak, dan jika aku berada di kamar ini lebih lama ketimbang batas waktu sempit yang entah seberapa sempit, sepasang mata di wajah itu akan menyala merah dan terdengar bunyi teet, teet, teet! Setan alas, aku sangat bersemangat membakar kamarnya.
Instingku pertama-tama membawaku menghadap rak buku. Aku menurunkan kesemua buku ke lantai, sampai debu memenuhi ujung jari-jariku, tetapi plastik obatku tak tampak di rak tersebut. Aku mengembalikan buku demi buku pada tempatnya, sembari mengibas-ngibaskannya, barangkali plastik obat terselip di halaman salah satu buku, dan yang kudapati hanya debu membuatku bersin.
Lalu aku telungkup di hadapan ranjang, tanganku menjulur dan meraba-raba lantai kolong, dan aku hanya menarik gumpalan debu.
Aku memeriksa bagian-bagian lainnya, termasuk kesemua saku pakaian dalam lemarinya yang serapi isi-isian tong sampah, sebelum akhirnya aku beralih pada tumpukan pakaian kotornya di sudut kamar, alhasil aroma keringat Molly memeluk tubuhku dan rasanya akan tetap begitu dalam waktu yang lama.
Aku jadi merasa terlalu tolol.
Aku duduk di kasur, punggungku lengket oleh keringat, panas kamar meruapkan aroma Molly ke mana-mana, dan aku menyalakan pendingin ruangan.
Baterai ponselku setipis pasokan air di puncak musim panas Afrika, dan aku tidak membawa kabel pengisi daya, dan aku tak menemukan kabel semacam itu di kamar ini. Bodoh Amat. Aku langsung menghubungi si Musang. Sekarang si Musang memasang nada tunggu Nina Bobo yang membuatku ingin menyulut kumisnya. Tatapanku jatuh pada ikon orang menggantung diri di kalender Molly, di tanggal dua puluh satu, sampai Nina Bobo hampir berakhir, dan akhirnya si Musang menjawab panggilan.
"Sore ini kita bertemu di McDonald's yang kemarin," kataku. "Aku butuh pil itu lagi."
"Pilmu sudah habis, eh?"
"Itu tidak penting. Sore ini kita bertemu di McDonald's yang kemarin."
"Oh, aku tahu. Tadi pagi kau menangis dan membuang seluruh pil itu ke kloset, dan detik ini kau menyesal."
"Tolol."
Si Musang membersihkan kerongkongan sejenak. "Aku sudah tak menjual pil itu."
Aku menjatuhkan kepala ke samping ke bantal Molly. "Hah! Sore ini kita bertemu di McDonald's—aku akan mentraktirmu Happy Meal yang banyak dan kau akan membawa pil itu."
"Kupikir kau tidak perlu pil itu lagi, Davina .... Sore ini kita bertemu di McDonald's, dan aku akan mengantarmu ke meja operasi."
"Aku tidak—"
"Dan gratis."
Dan gratis .... Dan gratis ....
Tidak mungkin ada sesuatu yang gratis tanpa sebab di zaman sekarang. Pak Thomas memberiku pakaian-pakaian almarhum istrinya secara gratis sebab, mungkin, ia sedang memproyeksikan aku sebagai pengganti istrinya—atau lebih menjijikkan ketimbang itu. Molly pun menyewakan kamarnya secara gratis padaku sebab ia, pasti, ingin sok menjadi pahlawan bagiku—atau sesuatu yang lebih membuatku ingin menyepak rahangnya. Dan si Musang tentu tidak sekonyong-konyong memberiku harga gratis, hanya karena memandangku sebagai gadis miskin dan sekarat di pinggir jalan yang butuh makanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Icy Molly & I
ChickLitDavina hamil di luar pernikahan, dan kabur dari rumah setelah sang ayah menghajarnya. Ia ingin melakukan aborsi secepat-cepatnya, selagi usia kandungannya muda. Di rumah indekos tempat tinggal barunya, Davina bertemu Molly yang membuatnya jatuh cint...