BAB 21 - Dua Puluh Empat Jam Terakhir Bersama Molly, 1

23 2 0
                                    

Molly berhasil membantu layangku terbang mandiri: tanpa dipegang olehku maupun Molly. Saat Molly melingkarkan tangannya padaku dari belakang—aku tak mau menyebutnya memeluk—aku refleks menyikut rusuknya, sekeras-kerasnya, mungkin sampai rusuk-rusuk itu patah dan merobek paru-parunya, dan aku memekik, "Jangan menyentuhku, Bajingan!"

"Maaf ..." balasnya, persis anak anjing yang bersedih dan bisa bicara.

Lalu aku memuncratkan segala tetek-bengek soal "perizinan untuk menyentuh tubuh", hingga ludahku terciprat berkali-kali; sesekali Molly terpejam dan mengucek matanya, pasti ada ludah tertembak ke sana. Ketika itu aku pasti tak sadar: layangan dan benangku kulepas: pasti angin kencang membawanya lari sebab, ketika selesai memarahi Molly, aku tak melihat layanganku di mana pun.

"Ia pasti pilot yang mandiri," komentar Molly.

Molly menatapku dan aku berusaha tak bereaksi pada leluconnya. Tatapannya seolah berkata, Satu detik tawamu menambah satu tahun usiaku. Akhirnya Molly berbalik dan kembali pada layangannya, ia berdiri di tepi atap gedung seolah tak peduli jika sewaktu-waktu ada yang iseng mendorongnya. Ia menatap layangannya di langit tanpa memayungi mata, tak peduli cahaya matahari dapat mencongkel matanya; dengung benang layangan seperti pasukan serangga berebut memasuki lubang telingaku; aku pening dan mual.

Aku kembali ke ruang dalam gedung dan duduk di anak tangga teratas lantai ini. Panas matahari tak berkurang, seolah hantu yang terus menempel pada ubun-ubunku. Cahaya menyorot dari ambang pintu—tanpa daun pintu—seperti luka tusuk yang mengoyak dinding rahim, membuat rahim tak lagi sepenuhnya ruang yang gelap. Tiba-tiba aku merasa tak ingin lahir sama sekali ....

Tubuh siluet Molly tiba-tiba muncul di ambang pintu. Ia mengajakku pulang, tanpa layangannya; ia tak menggendongku turun sebagaimana janjinya; samar-samar dari halaman gedung kulihat layangan Molly masih mengudara: kecil dan hitam: seperti bintang—atau siluet sesosok janin.

Dan ini adalah dua puluh empat jam terakhirku bersama Molly.

***

Sampai sekarang pun aku masih meraba-raba, kenapa hari itu harus menjadi hari terakhirku bersama Molly. Memang terjadi hal besar di hari itu, tapi mestinya tak cukup besar untuk membuatnya pergi. Atau mungkin itu hanya tak seberapa besar bagiku, tapi terlalu besar baginya? Mungkin tidak ada yang terasa terlalu besar bagi wanita sepertiku, sebab perut yang semakin hari semakin besar mengganggu pikiranku akan hal-hal besar di luar tubuhku.

Di tengah perjalanan menuju Hotel Paramonia, tepat ketika kami serempak menyembunyikan hidung di balik kerah baju dan memejam, sebab truk pengangkut entah apa lewat di samping kami dan awan hitam memakan seisi jalan, Molly mengatakan sesuatu dan aku membalas, "Hah?" sebab pekik mesin truk dan klakson seribu kendaraan memadat dalam kupingku.

Setelah situasi agak hening, setelah awan hitam mulai merayap ke atap-atap dan lebih tinggi lagi, Molly mengulang kalimatnya, "Aku tak bisa kembali ke hotel. Kau sendiri saja."

Aku tak langsung menjawab. Aku memerhatikan senyumnya ketika bicara begitu. Itu adalah senyum sesosok bocah—bocah yang tak sepenuhnya bocah. Maksudku, ia berusaha mengucapkan kalimat itu dengan dirinya yang kekanak-kanakan, tapi kepingan-kepingan jiwa dewasa mencabik-cabik wajah bocahnya. Ia mengucapkan kalimat itu dan ingin terdengar tak serius, sebab ada hal besar yang ia coba sembunyikan dariku. Setan alas.

"Setelah melarikanku ke hotel, kau meninggalkanku sendirian di hotel," sahutku, sengaja membuat diriku terkesan ambigu: antara bercanda atau serius: aku ingin membalas dendam pada caranya bicara barusan. "Kau pasti calon pemerkosa yang berbakat."

"Aku harus menemukan layanganmu, Davina!" Ia masih sama: entah diri kanak-kanak atau dewasanyakah yang bicara.

"Terserah."

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang