BAB 19 - Kabur Bersama Molly ke ... Sialan ....

20 2 0
                                    

Entahlah .... Bisa-bisanya aku senang berada di gendongan Molly. Kesenangan ini seabsurd aku berdiri di hadapan tiang gantungan, tali dikalungkan ke leher, dan hati kecilku berkata, "Terima kasih, ya Tuhan."

Molly berlari tanpa henti selama lima menit pertama, tanpa memberi kesempatan aku turun dari punggungnya; udara menampar wajah dan rambutku sekencang-kencangnya. Kami menyeberangi jalan besar di lampu hijau dan hampir mati tergilas truk, dan kami menyusupi gang-gang kecil berbau pesing dan hampir mati dihajar para warga yang Molly serempet; aroma sampo bayi tercampur keringat pada kepalanya, dan keringat pada punggungnya meresap ke baju bagian dada serta perutku. Molly pasti akan tetap berlari kalau aku tak menarik rambutnya mendadak dan menjerit, "Stop!" lalu melompat turun dari gendongannya dan muntah di got di tepi jalan.

Sungguh janin itu tak bisa diajak bersenang-senang. Atau sungguh janin itu tak bisa melihatku senang sedikit saja.

Molly memijat-mijat belakang leherku, dan muntahan terakhir meluncur dari kerongkonganku yang mulai terasa pahit. Muntahanku hanyut pelan, pelan sekali, sampah-sampah plastik di got menghambat perjalanan muntahan; kendaraan-kendaraan di belakangku kompak menggeram berisik, berisik sekali, lampu merah di perempatan itu membuat geraman mereka bertahan di belakangku lama, lama sekali. Dan, aroma asap kendaraan-kendaraan: tercium sejelas jika aku menempelkan hidung ke mulut knalpot.

"Sudah aman?" tanya Molly. "Kau boleh kembali ke kapal. Pulau selanjutnya sudah terlihat!"

"Tidak. Kita berjalan saja .... Aku baik-baik saja, sungguh." Aku menyeka mata dan hidungku yang basah. "Oh, hei! Aku terlalu menempelkan dadaku ke punggungmu, kan?!"

***

Pemberhentian pertama kami adalah toko kayu dengan serbuk-serbuk kayu beterbangan seperti lalat. Tenggorokanku seperti tersumbat bulu-bulu berbau pernis dan janin itu hendak melontarkan muntahanku lagi, jadi aku duduk di bangku di halaman parkir toko dan Molly masuk sendiri. Sesaat kemudian ia keluar dengan dua batang bambu sepanjang tubuhnya sendiri—dan aku baru ingat bahwa kami akan bermain layangan: aku ingin menghimpit lehernya dengan kedua bambu—kenapa ia tak membeli saja layangan yang sudah jadi?

"Kau tahu kenapa pilot tak pernah bahagia?" balas Molly. "Itu karena mereka tak membuat pesawat mereka sendiri."

Aku tak mau memprotes—kami pergi dari toko ini pun aku lumayan senang: serbuk-serbuk kayu seperti bola-bola kecil berduri dalam hidungku. Kami lanjut berjalan di trotoar, dan sejak mata orang-orang yang kami lewati menancap ke kami, aku agak menjaga jarak di belakang Molly—yang mengapit kedua bambu pada ketiak kanan—sekitar seratus sentimeter dari ujung kedua bambunya. Kami berhenti sebentar di kios koran, Molly meminta koran edisi kemarin—ya, meminta—dan kami lanjut berjalan lagi. Tepat ketika napasku mulai habis, dan rahimku mulai akan meletus, Molly berhenti di depan portal Hotel Paramonia.

"Kita bermain di atap hotel ini ...?" tanyaku, tersengal-sengal dan mendongak: cahaya menyilaukan terpantul pada jendela-jendela hotel, hingga atap gedung itu tak terlihat.

"Tidak. Terlalu banyak orang dewasa di atas sana. Mereka hanya berjemur dan berenang dan mereka membosankan. Mereka tak layak mendapat bocoran cara bersenang-senang selain berjemur dan berenang."

Molly berjalan-berjongkok melewati portal khusus mobil. Si Satpam tampak sangat ingin menjotosnya, tapi ia tak punya hak melakukan itu, jadi ia diam tanpa menaikkan portal, tapi bodoh amat—kami tetap lewat. Ford hitam dan Mercedes merah dan Lamborghini putih refleks berhenti di belokan menuju portal, sebab tampaknya Molly tak berniat berhenti berjalan, dan tak terlalu peduli jika bambunya menghajar kaca mobil. Dan, begitu kami menaiki tangga berkeramik marun menuju lobi, yang berkilau dan membuatku hampir terpeleset, tiba-tiba ....

Icy Molly & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang